Babak 1: Demam di Depok
Demam menggigit tulang, membuatku terkulai lemas di kamar kontrakan mungil di Depok, 4 Oktober 2021. Udara pengap, berbau obat basi, minuman ringan kemasan yang hampir habis, dan kertas-kertas laporan sekolah dasar yang berserakan—cerminan kekacauan batinku. Aku, seorang guru di sekolah ternama Depok, berjuang keras untuk Handy, anakku yang hampir berusia tiga tahun dan menderita bronkitis akut. Bayangan wajahnya yang pucat, napasnya yang tersengal-sengal disertai suara siulan kecil di setiap hembusan napas, menghantui tidurku. Sejak berpisah dengan mantan suami tahun 2020, aku menjadi single parent. Empat koma empat juta rupiah dari mantan suamiku, walau rutin, tak cukup untuk pengobatan dan susu impor khusus bronkitis Handy yang mahal. Kesepian mencekik. Lalu, pesan dari Budi: [Dina, ada waktu ketemu malam ini?].
Budi, kenalan Tantan, tempatku berkeluh kesah. Keraguan menggigit, tapi kelemahanku menang. Aku beralasan demam karena vaksin Covid-19, namun ajakan menginapnya menggoda. Aku butuh seseorang, pelarian dari beban ini.
[Aku sudah siap], ketikku, ragu.
[Oke, aku tunggu di lapangan merpati], balasnya singkat.
Motor Mio tua Budi kusam, seperti dirinya yang lelah. Senyumnya dipaksakan, menutupi kelelahan dan sesuatu yang gelap. Aroma aneh menyengat hidungku—campuran manis parfum murahan, keringat asam, dan sesuatu yang seperti amis darah—membuatku mual. Aroma itu, pertanda bahaya yang tak kusadari. Kulitku merinding saat tangannya yang lengket dan berminyak—seperti lapisan oli—melingkar di tanganku sepanjang perjalanan. Sentuhannya menimbulkan rasa jijik. Namun, kata-katanya—manis dan menenangkan—menghilangkan rasa was-was sesaat. Pengakuan cintanya, yang terucap begitu lancar, membuatku luluh, walau firasat buruk menggerogotiku.
Babak 2: Kegelapan di Bogor
Di Bogor, rumah Budi, ingatanku menjadi gelap. Saat sadar, aku terbaring lemah di kamar Mimi, adik Budi. Mimi merawatku dengan baik, memberiku teh hangat dan sup ayam. Kebaikannya yang tulus, sebelum akhirnya sirna. Budi, dengan wajah tak berdosa, meminjam seratus ribu rupiah—uangku—untuk token listrik. Aroma bahaya itu kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Atas nama cinta, aku mengabaikannya.
Pagi itu, aku mengajar di Depok, lelah membayangi. Aku harus bekerja keras, karena empat koma empat juta rupiah dari mantan suamiku saja tidak cukup untuk biaya hidup Handy dan pengobatannya. Pulang, kontrakan berantakan. Barang-barangku berserakan, buku-buku pelajaran berserakan di lantai, bau apek memenuhi ruangan. Setelah merapikannya, aku menelepon Budi, menagih uang. Jawabannya menusuk: "Katanya kamu pacarku, berarti calon istriku, uangmu ya uangku juga, Gendut, Sayang."
Kata-kata "Sayang" yang seharusnya manis, kini terasa seperti tamparan. Aku hanya perantauan, aku juga butuh makan. Uangku menipis, tetapi aku tak mampu melawannya. Dua hari kemudian, kami tak berkomunikasi. Aku sibuk mengajar, Budi sibuk dengan bisnis jual beli HP bekasnya yang katanya membutuhkan kerja keras—kerja keras yang ternyata hanya kedok.
Babak 3: Ancaman dan Pengkhianatan
Kerinduan membuncah, namun Budi kembali menghubungiku. Kamar gelap, berantakan, seperti jiwanya. Bau rokok dan keringat memenuhi ruangan sempit itu. Ia membahas "sharing modal" untuk usahanya, namun tatapannya menyimpan ancaman.
“Aku butuh sekitar sepuluh juta,” katanya, suara serak. “Aku kehabisan modal. Aku harus ke Kalimantan.” Ia menekankan hubungan jarak jauh sulit dipertahankan, menunjukkan sifat egoisnya. Ia bisa saja mendapatkan wanita yang lebih cantik. Ini adalah ancaman terselubung.
“Terus gimana?” tanyaku, bergetar.
Ia meraih tanganku, tatapannya berubah, lebih lembut, namun tetap menyimpan ancaman. “Kamu punya apa? Barang berharga yang bisa dijual?” Suaranya seperti bisikan ular yang menenangkan mangsanya sebelum menerkam. Sentuhannya masih sama, lengket dan berminyak.
Kalung berliontin dan cincin polos pemberian keluargaku—kenang-kenangan berharga—melingkar di leherku. Ia memintaku melepasnya dengan lembut. Rasa kehilangan dan pengkhianatan menghantamku. Aku tak berdaya.
Di Pasar Parung yang ramai, suara tawar-menawar pedagang bercampur dengan hiruk pikuk kendaraan, kalung dan cincin itu terjual dengan cepat. Bau rempah-rempah dan asap kendaraan memenuhi hidungku. Aku terpaku, tak berdaya di tengah lautan manusia yang tak peduli. Aku merasa seperti boneka yang ditarik-tarik benangnya oleh Budi.
Babak 4: Penyesalan dan Harapan Baru di Purworejo
Kontrakan di Depok terasa sempit dan pengap. Aku memeluk diri sendiri. Pesan singkat memberitahu Handy sakit. Aku merasa bersalah. Bayangan wajah Handy yang pucat, napasnya yang tersengal, menghantuiku. Aku ingin mengadu pada Mas Abi, kakakku di Cibinong, tetapi rasa takut dimarahi membuatku terpaku.
Setengah gajiku kukirim untuk Handy, sisanya hanya cukup untuk membayar kontrakan. Untuk makan, aku berhutang.
Tiga hari kemudian, Budi menghubungi. Ia memintaku datang ke Bogor. Kamar gelap. Ia mondar-mandir, wajahnya kusut.
“Motorku rusak, Dina,” katanya lirih, mencoba memainkan peran korban.
Aku mencoba berpikir positif. Namun, perkataannya mengejutkanku: "Uang hasil jual perhiasan sudah habis untuk berobat ibuku dan kemarin Mbak Yeni pinjam uang sejuta untuk keperluan mendesak." Kebohongan yang terungkap.
Aku duduk di tepi ranjang, menarik kedua lututku ke dada. Wajahku pucat pasi. Aku menjelaskan tentang gajiku yang kecil, hutangku, dan penyakit Handy. Budi seperti tak peduli, matanya menunjukkan ketamakan.
“Tapi aku butuh uang sekarang juga!” Suaranya meninggi. “Kamu harus bantu aku! Kamu pilih bantu aku, atau aku akan ke Kalimantan!”
Air mata menggenang. Aku menunduk, tak berdaya. Ini mimpi buruk yang tak berujung. Pertengkaran hebat menandai berakhirnya hubungan. Aku pergi. Mbak Yeni menolongku, mendengarkan ceritaku. Ia marah, Budi berbohong. Mbak Yeni tak pernah meminjam uang padanya. Mimi-lah yang menanggung semua biaya pengobatan ibunya. Dari Mbak Yeni, aku mendengar Mimi sering mengeluh tentang Budi. Ia adalah seorang lelaki pemalas, tak berguna, dan sering membuatnya kesal. Mbak Yeni membongkar sifat Budi yang suka berjudi online dan jarang mandi. Aku memblokir nomornya.
Aku menelepon Mas Abi. Ia datang, menyarankanku pulang ke Purworejo. Aku meminta maaf.
“Sudahlah. Mas Abi tidak marah, asal kamu tidak mengulanginya lagi,” ucap Mas Abi. “Mas akan membantumu membayar hutang pada temanmu. Sebaiknya, besok kamu resign dan pulang ke Purworejo. Bukalah usaha di sana, dan jadilah Ibu yang baik untuk Handy.”
Purworejo. Aku membuka usaha “Jual dan Beli Perhiasan”. Kehidupanku di sini lebih baik, bisnisku berkembang, Handy sehat. Namun, bayang-bayang Budi masih menghantui. Pesan-pesan berdatangan dari nomor barunya. Dia kecewa karena nomor lamanya kublokir. Dia akan menikah dengan wanita lain. Aku berpura-pura tegar, fokus pada Handy. Namun, luka di hatiku masih terasa. Aku merasa bersalah karena telah meninggalkan Handy untuk waktu yang lama.
Babak 5: Penyembuhan di Bali
8 Agustus 2024. Bali. Angin laut menerpa wajahku, mencoba menerbangkan sisa-sisa luka. Hari ini, aku tiba di Bali, meninggalkan Handy di Purworejo—rasa bersalah itu masih ada. Ayah menawarkan kesempatan mengelola bisnis sewa kontrakannya. Selama aku di Bali, Ayah mengurus bisnis perhiasanku di Purworejo yang membaik. Penghasilan toko perhiasan cukup untuk memenuhi kebutuhan Handy, namun tak cukup untuk mengobati rasa bersalahku. Untuk mengusir kesendirianku, aku menghabiskan waktu di Pantai Kuta, menerbangkan layang-layang. Angin laut yang asin menerpa kulitku, pasir putih lembut di bawah kakiku. Aku menikmati hangatnya sinar matahari sore dan suara debur ombak yang menenangkan.
Di Pantai Kuta, angin kencang hampir menerbangkan layang-layangku. Layang-layangku tersangkut dengan layang-layang Minjun yang indah, berwarna-warni. Senyumnya ramah saat membantu melepaskan simpulnya. Ia berbicara Indonesia fasih, mengejutkan karena ia pria Korea. Percakapan kami mengalir, dari layang-layang, Bali, hingga tentang diri kami. Aku bercerita tentang Handy, kesendirianku, beban sebagai single parent. Ia mendengarkan dengan sabar dan empati. Percakapan kami berlanjut berjam-jam, intensitasnya meningkat setiap hari. Kami sering bertemu di pantai, percakapan kami semakin dalam. Ia selalu menanyakan kabar Handy, membantuku video call, mengirim uang, dan memenuhi kebutuhan Handy. Tatapan matanya yang hangat dan tulus membuatku merasa aman. Kebaikannya membuatku nyaman dan aman.
Dua bulan kemudian, di bawah senja Pantai Kuta, dengan debur ombak sebagai saksi bisu, ia menyatakan cintanya. Aku menerimanya. Ia menawarkan bukan hanya cinta, tapi juga keluarga dan masa depan yang cerah untukku dan Handy. Ia segera mengurus dokumen dan tiket pesawat untuk Handy dan aku, agar kami bisa segera bersatu.
Suatu sore, Minjun berkata, “Aku tahu kamu masih merasa bersalah meninggalkan Handy. Tapi lihatlah, kita akan segera bersatu kembali. Aku sudah siap untuk menjadi ayah bagi Handy. Kita akan membuat keluarga yang bahagia di sini.” Ia memelukku, hangatnya tubuhnya menenangkan jiwaku.
Kata-katanya menghapus rasa bersalahku. Ia menunjukkan komitmennya bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata.
Sebuah pesan singkat dari Budi: Rindu. Hampa.
Aku membalas: [Aku sudah move on, Budi. Aku bahagia dengan Minjun dan Handy.]
Budi membalas panjang lebar, menyesali perbuatannya, mengatakan betapa menyesal telah menyakitiku. Namun kata-katanya tak mampu menggoyahkanku. Di Bali, bersama Minjun dan Handy, aku menemukan kedamaian dan harapan baru untuk masa depan. Senyum Handy yang ceria saat bermain di pasir putih Kuta adalah penyembuhan sejati.