Yn berjalan di koridor, pikirannya melayang ke kejadian kemarin di toilet. Sentuhan bibir Draco, tatapan matanya yang kelabu, dan keheningan setelahnya, semua terputar kembali bagai film di kepalanya. Ia tidak bisa menahan senyum tipis di wajahnya. Perasaan itu aneh, campur aduk antara kebahagiaan dan kecemasan. Tanpa sadar, jari-jemarinya mengelus lehernya, tepat di atas luka goresan yang sudah ada. Ia terlalu larut dalam lamunannya, hingga kukunya tak sengaja menggores kulitnya lagi, menambah luka baru di samping luka yang sudah ada.
"Yn!"
Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan melihat Profesor McGonagall berdiri di depan ruang kelas Transfigurasi, menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kau terlambat."
Wajah Yn langsung memerah. Ia melihat jam di dinding. Benar, ia sudah terlambat lima belas menit. "Maaf, Profesor," gumamnya. "Aku..."
"Aku tidak butuh alasan," potong Profesor McGonagall. "Kau melewatkan bagian penting dari materi hari ini. Sebagai hukuman, setelah kelas, kau harus tinggal dan membantuku membersihkan semua ketel di ruang bawah tanah."
Yn hanya bisa mengangguk pasrah. Hukuman itu cukup berat, tapi ia pantas mendapatkannya. Ia masuk ke kelas, merasakan tatapan dari teman-teman sekelasnya. Ia menunduk, berjalan ke bangku kosong di belakang, dan mengeluarkan buku catatannya. Pikirannya masih kacau, tapi ia berusaha untuk fokus. Namun, pandangannya terus-menerus tertuju pada jendela, membayangkan Draco dan goresan di lehernya.
Pelajaran Transfigurasi berakhir, dan Yn dengan lesu mengikuti Profesor McGonagall menuruni tangga ke ruang bawah tanah. Udara di sana lembap dan dingin, dipenuhi dengan bau karat dan debu. Di sudut ruangan, tumpukan ketel-ketel tua dan kotor menanti.
"Aku akan menyiapkan beberapa ramuan pembersih," kata Profesor McGonagall sambil menunjuk tumpukan ketel. "Kau bisa mulai dari ketel-ketel kecil itu."
Yn mengangguk, lalu mulai mengambil salah satu ketel. Tiba-tiba, rasa sakit yang menusuk menjalar dari lehernya. Luka-luka goresan yang ia buat sendiri terasa panas, perih, dan berdenyut-denyut. Rasanya seperti ada sesuatu yang membakar kulitnya dari dalam. Yn meringis pelan, tangannya tanpa sadar menyentuh lehernya. Sentuhan itu justru memperparah rasa sakitnya.
Yn mencoba mengabaikannya, namun rasa sakit itu semakin hebat, menyebar ke seluruh tubuhnya. Pandangannya mulai buram, kepalanya terasa pening. Ia mencoba berpegangan pada dinding, tapi cengkeramannya lemah.
"Profesor..." panggilnya lirih.
Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, semuanya menjadi gelap. Tubuhnya ambruk, dan ketel yang ia pegang terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan suara berisik.
Profesor McGonagall yang sedang mengambil bahan-bahan di lemari penyimpanan, langsung menoleh. "Yn?" panggilnya. Ia melihat Yn tergeletak di lantai, pingsan. Dengan panik, ia bergegas mendekati muridnya.
"Astaga, Yn!" serunya. Ia berlutut di samping Yn, lalu menyentuh keningnya. Suhunya normal. Namun, saat ia melihat leher Yn, matanya melebar. Luka goresan itu mengeluarkan cahaya kebiruan yang redup, dan terasa panas saat disentuh.
"Apa-apaan ini..." gumam Profesor McGonagall. "Luka ini... ini bukan luka biasa. Aku harus membawanya ke Madam Pomfrey."
Dengan sihir, ia mengangkat tubuh Yn, lalu bergegas membawanya keluar dari ruang bawah tanah, menuju sayap rumah sakit, hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kebingungan.
Yn perlahan membuka matanya. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat. Ia mencoba berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya remang-emang di ruangan itu. Saat pandangannya mulai jelas, ia melihat beberapa orang mengelilinginya.
Ada Cedric, Luna, dan Madam Pomfrey yang berdiri di samping ranjangnya. Lalu, di sudut ruangan, ia melihat Harry, Ron, dan Hermione. Mereka semua tampak khawatir.
"Yn, syukurlah kau sudah sadar," kata Madam Pomfrey, suaranya lembut.
Hermione melangkah maju. "Yn, kami menemukanmu pingsan di ruang bawah tanah. Lukamu... itu bukan luka biasa."
Ron menambahkan, "Kami sudah memberi tahu Profesor McGonagall, dan dia membawa kami ke sini."
Luna, dengan mata besarnya yang penuh perhatian, menimpali, "Lukanya seperti menelan cahaya, Yn. Semakin kau mencoba menyembunyikannya, semakin sakit jadinya."
Cedric mengambil sebuah cermin kecil dari meja samping ranjang dan memberikannya kepada Yn. "Lihatlah, Yn. Kau harus tahu apa yang terjadi."
Yn ragu, namun akhirnya ia mengambil cermin itu. Ia melihat pantulan dirinya, dan seketika ia menjerit. Di lehernya, kulitnya terkelupas, penuh luka goresan yang terlihat mengerikan, dan berkerut. Rasanya seperti kulitnya terbakar dari dalam. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri.
Hermione mendekat, tangannya menyentuh bahu Yn dengan hati-hati. "Jangan menangis, Yn. Kami akan membantumu. Aku janji, aku akan mencari obat penyembuhnya."
Malam pun tiba. Setelah semua orang pergi, Yn masih terisak pelan, tenggelam dalam kesedihan. Madam Pomfrey memberinya ramuan tidur, dan tak lama kemudian, Yn tertidur lelap.
Tepat saat tengah malam, pintu sayap rumah sakit terbuka pelan. Sebuah sosok tinggi dengan rambut pirang memasuki ruangan. Itu adalah Draco Malfoy. Ia berjalan ke ranjang Yn, menatap leher Yn yang ditutupi perban. Wajahnya terlihat pucat dan dipenuhi penyesalan.
Ia mengeluarkan selembar perkamen dari saku jubahnya. Dengan hati-hati, ia meletakkan lembaran itu di telapak tangan Yn yang terkepal. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan pergi, menghilang ke dalam kegelapan.
Pagi harinya, saat Yn terbangun, ia menemukan perkamen itu di tangannya. Ia membukanya, dan membaca tulisan tangan yang familiar. Itu adalah mantra penyembuhan, ditulis dengan tinta hitam pekat.
"Sihir adalah penyembuh, bukan goresan. Cinta sejati adalah penyembuh, dan kenangan yang terukir adalah obatnya. Ucapkan 'Aeternum Felix' (Kebahagiaan Abadi) dengan kenangan bahagia yang nyata. Hanya dengan begitu luka itu akan sembuh."
Yn membaca tulisan itu berulang-ulang. Ia tahu siapa yang memberikannya. Hanya ada satu orang yang tahu tentang lukanya dan kenangan bahagia mereka. Air mata Yn kembali mengalir, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa haru.
Yn menatap perkamen itu, jemarinya membelai tulisan tangan Draco. Ia tahu mantra itu hanya akan berhasil jika ia benar-benar menemukan kenangan bahagia yang nyata. Dan hanya ada satu kenangan yang selalu muncul di benaknya: masa kecilnya bersama Draco.
Ia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan mulai mengucapkan mantra itu. "Aeternum Felix..."
Seketika, memorinya membawa Yn kembali ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Draco berlari-larian di halaman Manor Malfoy. Tawa mereka pecah saat Draco tak sengaja terjatuh ke kolam ikan. Yn dengan cepat meraih tangannya, membantu Draco bangkit, lalu mereka berdua tertawa bersama, basah kuyup di bawah sinar matahari. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu hangat.
Hari-hari berikutnya, Yn terus mengulang mantra itu. Setiap kali, ia memanggil memori-memori kecil bersama Draco: saat mereka berbagi permen di bawah pohon rindang, saat Draco membacakan cerita peri untuknya, atau saat mereka diam-diam melarikan diri dari pengasuh mereka hanya untuk melihat-lihat bunga mawar di taman.
Perlahan tapi pasti, keajaiban terjadi. Luka di lehernya mulai memudar. Rasa perih dan panas menghilang, digantikan oleh sensasi dingin yang menenangkan. Kulitnya yang tadinya mengerut dan terkelupas, kini kembali halus. Hingga pada akhirnya, setelah beberapa minggu, luka-luka itu sepenuhnya sembuh. Lehernya bersih, tanpa bekas sedikit pun.
Yn menatap pantulan dirinya di cermin, air mata haru menetes. Ia bisa kembali percaya diri pada dirinya sendiri.
Suatu sore, Yn sedang berjalan sendirian di pinggir Danau Hitam. Angin berhembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambutnya. Ia duduk di sebuah bangku kayu, memandang air danau yang tenang.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. "Kau di sini."
Yn menoleh, dan melihat Draco berdiri tidak jauh darinya. Ekspresinya sulit ditebak, namun matanya yang kelabu memancarkan sesuatu yang lebih lembut dari biasanya.
"Lukamu sudah sembuh," kata Draco, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
Yn mengangguk, tersenyum tipis. "Terima kasih," bisiknya. "Terima kasih untuk mantranya."
Draco tidak menjawab. Ia hanya berjalan dan duduk di samping Yn. Mereka berdua diam, memandangi danau. Tidak ada percakapan, tidak ada sentuhan. Hanya keheningan yang nyaman.
Meskipun singkat, momen itu terasa seperti selamanya bagi Yn. Ini adalah kencan mereka, kencan yang tak terduga, kencan yang tak terucap. Dan bagi Yn, momen itu terasa lebih indah dan berarti daripada ribuan kata-kata.
Meskipun Draco pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Yn tahu, ia sudah menyampaikan perasaannya. Dan kenangan indah itu akan selalu ia simpan, jauh di dalam hatinya, sebagai Patronus yang tidak pernah ia duga akan ia miliki.