(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Yn Maddalane, seorang gadis Ravenclaw, memandangi pantulan dirinya di jendela ruang rekreasi. Tatapannya kosong, dipenuhi kegelisahan. Ia adalah gadis mandiri dan cerdas, namun juga pemalu. Ia tahu keluarganya punya masa lalu yang kelam dengan keluarga Malfoy. Sebuah perjodohan masa kecil yang berakhir tragis, memisahkan dua keluarga bangsawan. Ia tidak pernah bisa melupakan sosok Draco Malfoy, sahabat kecilnya yang kini menjaga jarak darinya.
Yn memiliki sebuah rahasia. Ia tidak memiliki Patronus. Kenangan bahagia yang kuat, yang seharusnya menjadi sumber kekuatan untuk mantra tersebut, baginya terasa bagai fatamorgana. Setiap kali mencoba, bayangan Draco selalu muncul di benaknya, namun tak pernah cukup kuat untuk memicu mantra.
Ia sedang menyalin tugasnya saat Cedric dan Luna Lovegood datang menghampirinya. "Kau baik-baik saja, Yn?" tanya Cedric lembut, merasakan aura sedih dari Yn.
Yn tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Cedric. Hanya sedikit lelah," jawabnya sambil membereskan bukunya.
Luna, dengan mata besarnya yang melamun, berkata, "Aku tahu kau sedang memikirkan orang yang tidak ingin berdekatan denganmu, bukan?" Ia tidak pernah gagal membuat Yn terkejut dengan kepekaannya.
Yn menoleh ke arah Luna, "Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Luna."
Di sisi lain, di perpustakaan, Draco Malfoy duduk di bangku terpencil, berusaha fokus pada bukunya. Namun, konsentrasinya terganggu saat mendengar suara tawa dari arah Harry Potter, Ron Weasley, dan Hermione Granger. Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan mereka.
"Dia sudah pasti Pelahap Maut," bisik Hermione. "Ayah dan ibunya adalah pengikut Voldemort."
"Aku setuju," tambah Ron. "Patronusnya pasti tidak ada, mana mungkin dia bisa menciptakan kenangan bahagia?"
Tawa Ron meledak, menembus kesunyian perpustakaan.
Hati Draco terasa sakit. Ia tidak memiliki Patronus, dan ia tahu alasannya. Bukan karena ia jahat, melainkan karena ia tidak bisa menemukan kebahagiaan sejati. Draco mengepalkan tangannya, merasa marah dan sedih. Ia bangkit, meninggalkan buku-bukunya, dan bergegas pergi.
Yn, yang sedang berjalan di lorong, melihat Draco melewati dirinya dengan tergesa-gesa. Wajahnya yang biasanya sombong kini terlihat keruh dan terluka. Yn merasakan gelombang rasa sakit di dadanya. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Ia pun mengikutinya.
Yn menemukan Draco di toilet, menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan kosong. "Draco?" panggil Yn pelan.
Draco menoleh, matanya yang kelabu bertemu dengan mata Yn. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri mematung.
"Aku tahu kau mendengar mereka," kata Yn lembut, mendekat. "Aku juga tidak punya Patronus, kau tahu? Itu tidak berarti kita jahat."
Kata-kata Yn seakan menjadi mantra, meruntuhkan dinding yang telah Draco bangun. Draco melangkah mendekat, perlahan, hingga ia berdiri di hadapan Yn. Tanpa diduga, ia menunduk dan menyatukan bibir mereka. Ciuman itu singkat, namun sarat akan emosi yang terpendam.
Ketika mereka berpisah, baik Yn maupun Draco tidak mengatakan apa-apa. Keduanya hanya terdiam, terperangkap dalam momen singkat itu.
"Jangan pernah membicarakan ini," kata Draco pada akhirnya, suaranya parau. Ia berbalik dan pergi, membiarkan Yn berdiri sendiri, hatinya dipenuhi perasaan yang campur aduk.
Yn tahu, meskipun ada jarak dan kebencian dari keluarga mereka, ikatan di antara mereka tidak pernah benar-benar putus. Dan dalam keheningan toilet yang dingin, ia menyadari bahwa kenangan kebahagiaan yang selama ini ia cari mungkin saja baru saja tercipta.
Draco Malfoy berjalan terhuyung, bahunya yang lelah dipapah oleh Crabbe dan Goyle. Wajahnya lebam, dan sudut bibirnya robek. Perkelahiannya dengan Harry Potter tadi pagi meninggalkan bekas yang cukup menyakitkan. Ia kesal, marah, dan merasa malu. Ia sudah berusaha untuk menghindar, namun Harry memancingnya, dan ia tidak bisa menahan diri.
Saat mereka berbelok di koridor yang sepi, sebuah suara memanggilnya. "Draco, tunggu!"
Draco mengenali suara itu, dan hatinya terasa berdebar aneh. Itu adalah suara Yn Maddalane. Ia berbalik, dan melihat Yn berdiri di sana, tangannya memegang sebuah botol kecil dan kain putih.
"Untuk apa kau di sini?" tanya Draco ketus. "Pergilah."
"Tidak," jawab Yn dengan tegas. "Aku ingin mengobati lukamu."
"Aku tidak butuh bantuanmu," bantah Draco sambil mencoba menjauh. "Aku bukan anak kecil."
Namun Yn tidak menyerah. Ia melangkah maju, tangannya memegang bahu Draco dengan lembut, namun penuh kekuatan. "Diamlah, Draco. Jangan bertingkah konyol."
Crabbe dan Goyle hanya bisa saling berpandangan. Mereka tahu bahwa menghadapi Yn tidak akan mudah, gadis itu memiliki keberanian yang luar biasa. Mereka memilih untuk menunggu, berdiri di samping Draco.
Yn membuka botol kecil itu, cairan bening di dalamnya menguarkan aroma herbal yang menenangkan. Ia menuangkan sedikit cairan itu ke kain putih, lalu dengan hati-hati mengusapkannya ke luka di sudut bibir Draco. Draco meringis kesakitan, tapi tidak menolak. Ia hanya bisa menatap mata Yn yang penuh perhatian.
"Tadi pagi, di koridor, aku melihatmu bertengkar dengan Harry," bisik Yn, "Aku tahu kau tidak ingin melakukannya."
Draco hanya diam, merasakan sentuhan tangan Yn di wajahnya. Itu adalah sentuhan yang sama yang pernah ia rasakan saat mereka masih kecil, sentuhan yang membuatnya merasa aman.
Tiba-tiba, mata Draco tertuju pada leher Yn. Ada beberapa goresan merah di sana, tersembunyi di balik rambut cokelatnya yang terurai. Ia mengerutkan keningnya, dan rasa cemas tiba-tiba menyelimuti hatinya. "Apa itu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Yn menarik kerah jubahnya, mencoba menutupi goresan itu. "Bukan apa-apa. Hanya...kucing di koridor."
Draco tahu Yn berbohong. Goresan itu terlalu rapi untuk perbuatan kucing. Ia curiga, dan kecurigaannya membuatnya merasa gelisah. Namun, ia tidak melanjutkan pertanyaan. Ia tidak punya hak untuk bertanya.
Setelah selesai, Yn membereskan peralatannya, dan berdiri diam, menatap Draco. "Lain kali, jangan bertengkar lagi," katanya.
Draco tidak menjawab, hanya memandangi Yn. Ia ingin mengucapkan terima kasih, namun kata-kata itu seakan tercekat di tenggorokannya. Ia terlalu sombong, terlalu gengsi. Akhirnya, ia berbalik, dan berjalan pergi, ditemani Crabbe dan Goyle, meninggalkan Yn sendirian. Namun, kali ini, ia tidak merasakan marah, hanya perasaan campur aduk yang rumit. Dan di dalam hatinya, ia merasa berterima kasih pada Yn.