Jarum jam masih menunjuk angka tiga dini hari saat aku melihatmu menangis, meratapi tubuh wanita yang bersimbah darah di pergelangan tangannya. Kau berulang kali meneriakkan namanya, sambil terus mengguncang tubuh yang tak berdaya itu.
Mungkin, kau pun sebenarnya tahu dia sudah tiada. Wajahnya yang pucat, mata yang menutup rapat, pun tak adanya denyut nadi di tangan lain yang masih bersinggungan dengan pisau, harusnya kau paham bahwa nyawa tak lagi bersemayam di tubuh wanita itu. Namun, mungkin kau belum bisa menerima kenyataan. Ya, mungkin memang berat. Beberapa jam lalu dia masih memelukmu, tersenyum padamu, bahkan sempat merayumu, tetapi kini pergi begitu saja.
"Amara! Amara!"
Lagi, kau berteriak, memanggil seseorang yang tak mungkin menyahut atau sekadar menatapmu. Kulihat air matamu terus menetes, membasahi pipi, dagu, leher, dan ada juga yang berjatuhan membasahi jasad wanita yang sedang kau pangku.
"Ayah, Ibu kenapa?"
Aku mengalihkan pandangan pada suara itu, suara bocah kecil yang sering kau panggil Hana. Terlalu fokus padamu, aku sampai tak tahu sejak kapan bocah itu terbangun. Mungkin saat mendengarmu menangis, mendengarmu berteriak, atau mungkin nalurinya sendiri yang membuat dia terbangun. Mungkin, dia ada firasat bahwa orang terdekatnya pergi ke pangkuan Tuhan.
Cukup lama, aku tak mendengar kau memberikan jawaban pada bocah itu. Mungkin, menurutmu tak perlu. Bukankah keadaan sudah cukup untuk menjelaskan semuanya, kan?
Aku pun diam, tak berusaha menenangkan kau dan dia, juga tak berusaha melontarkan alasan dan mencari pembelaan. Tidak! Untuk saat ini aku tak butuh dianggap benar oleh siapapun, termasuk kau. Bahkan, seandainya satu dunia menyalahkan, aku juga tak peduli. Yang kubutuhkan sekarang hanya kesendirian dan Tuhan.
Seperti menonton drama, aku duduk diam di sudut kamar, melihat kau dan bocah itu saling memeluk, saling menangis, pun saling menjerit. Sampai kemudian, beberapa orang berdatangan dan bertanya apa gerangan yang terjadi.
Lantas aku berpaling. Aku enggan menatap banyak sudut mata yang berkaca-kaca karena kepergian wanita itu. Hey, apa kalian tak paham kalau kematian itu adalah yang terbaik baginya? Ahh, kalian semua sangat berlebihan. Apalagi bisik-bisik itu, sangat bising. Ada yang bersimpati, ada yang mencaci. Ah, sudahlah. Terserah kalian mau bicara apa. Kalian pikir aku peduli? Tidak sama sekali. Aku lebih baik menutup telinga dan menikmati kedamaian ini.
Kini, entah sudah berapa jam berlalu. Jasad itu sudah dimandikan dan dipindahkan ke luar. Kutatap dari balik jendela, matahari sudah menampakkan sinarnya. Udara pun tak sedingin tadi, malah sekarang sudah hangat.
Orang-orang makin banyak berkerumun, tangis samar-samar bisa kudengar dari sudut kamar ini. Di antara banyak suara, tangismu yang terdengar paling jelas. Mungkin, kehilangan wanita itu sangat menyakitkan bagimu. Karena sepanjang mengenal dirimu, aku jarang melihatmu menangis. Jika air mata itu sudah jatuh, berarti luka yang kau rasakan sangat menyakitkan.
Ya, maaf. Jika apa yang kuperbuat membuatmu terluka dan sakit, aku sendiri nekat melakukan itu karena tak kuat lagi menahan beban yang terus menekan. Aku sudah lelah.
Aku tak sempat lagi menengok jam saat orang-orang itu mulai mengantar jenazah ke pemakaman. Kau dan bocah kecilmu ikut serta, aku pun ikut dengan perasaan enggan. Dengan mengenakan gaun tidur panjang, aku ikut melangkah bersama mereka. Entah perasaanku saja atau memang benar adanya, sepertinya banyak yang menatap ke arahku. Entah karena bajuku yang dianggap tidak sopan atau ... mereka ingin menyalahkanku atas kejadian ini. Entahlah, terserah mereka, suka-suka mereka. Mau beranggapan apa, sama sekali tak penting bagiku.
Sepanjang perjalanan ke makam, perhatianku hanya tertuju padamu, yang rupanya masih menangis. Apa aku kejam jika menganggapmu berlebihan?
"Ahh!" Aku menarik napas panjang. Sejatinya, aku pun tak begitu paham apa yang kau rasakan saat ini.
Lagi-lagi seperti menonton drama, aku diam di bawah kemboja, duduk memeluk lutut sambil menatap orang-orang yang melakukan pemakaman. Sampai jenazah itu berubah menjadi gundukan tanah dengan taburan kelopak mawar segar, sampai orang-orang berlalu pergi dan menyisakan kau bersama bocah kecil itu saja, aku masih diam di tempat ini.
Barulah setelah kau meraung sambil memeluk papan nisan, aku beranjak dan duduk di depanmu.
"Jangan berlebihan, ini yang terbaik untuk dia. Kamu nggak tahu aja kalau dia sudah lama menginginkan ini. Udahlah, cepat pulang sana! Yakin deh, perasaan sakitmu itu nggak lama. Esok atau lusa pasti udah terbiasa. Tanpa dia, dunia tetap berjalan, kan?" ucapku sambil menatapmu.
Namun, kau hanya diam. Hanya sekilas menatap kosong ke arahku, selebihnya kau kembali memeluk papan nisan itu.
"Aku tahu kamu masih mencintaiku, dan kamu pasti tahu aku masih mencintaimu. Dan ... ada Hana di antara cinta kita. Tapi, kenapa harus begini?" Entah kau tujukan pada siapa kalimat itu; padaku, padanya, atau pada angin yang tak henti menerpa dahan-dahan kemboja.
Kali ini, aku juga tak berniat menyahut. Aku ikut diam dan memandangimu, sambil mengingat-ingat kenangan kita selama ini. Cukup manis, ahh atau mungkin sangat manis. Akan tetapi, itu belum cukup untuk menahanku agar tak melakukan ini.
"Percayalah, esok atau lusa kau akan terbiasa." Setelah beberapa saat diam, akhirnya aku bicara, sambil memejam. Rasanya cukup damai, memejam dan menikmati kesendirian, menyambut embusan angin yang seolah-olah ingin memelukku.
Tak lama kemudian, aku membuka mata. Bukan lagi area pemakaman dengan pohon-pohon kemboja yang kulihat, melainkan kamar yang beberapa tahun ini menjadi tempat tidurku. Bukan pula tangis dan tatapan kehilangan yang ada di wajahmu saat ini, melainkan kedamaian dalam lelap. Mungkin, kau sedang bermimpi indah. Ya, seharusnya begitu. Kau tidur sambil memeluk bocah kecil kesayanganmu, sudah cukup untuk mengantarmu pada mimpi indah, kan?
Lantas, aku menghela napas panjang yang serasa berat. Lalu kutatap sekali lagi wajahmu dan wajah bocah itu, sebelum akhirnya ... aku menatap pisau yang ada di genggaman. Dalam beberapa saat, pisau di tangan kanan dan pergelangan tangan kiri menjadi dua objek yang kutatap secara bergantian. Sampai kemudian, bibirku menyunggingkan senyum, senyum damai yang sudah kurindukan dalam beberapa waktu terakhir.
"Ahh."
Aku sedikit meringis saat merasakan sakit di kulit. Namun, itu tak seberapa, masih tak sebanding dengan sakit dalam hati yang kupendam sejak bertahun-tahun yang lalu.
Seperti dejavu, aku melihat lagi jasad wanita yang bersimbah darah di pergelangan tangannya. Lantas aku bangkit dan menatapmu, juga menatap bocah yang ada dalam dekapanmu. Aku pun tersenyum.
"Aku mencintaimu dan aku percaya kamu juga mencintaiku. Aku juga menyayanginya dan aku yakin dia juga menyayangiku. Tapi, hidup bukan hanya tentang kamu dan dia. Bukan tentang kita berdua atau kita bertiga. Maaf kalau aku terlalu lemah dan rapuh melawan pikiran sesatku, maaf juga kalau aku egois dan memaksamu mengambil peranku sebagai ibu. Aku juga minta maaf karena tak meninggalkan alasan yang jelas. Percayalah, bukan hanya denganmu aku diam. Kepada semuanya aku tak pernah membuka siapa dan bagaimana aku, cukup aku dan Tuhan yang benar-benar memahami diriku. Ahh, atau mungkin hanya Tuhan, entahlah. Aku pun tak yakin kalau aku sendiri benar-benar memahami diriku. Sudahlah, sudah cukup panjang aku bicara. Satu saja pesanku, kelak tak perlu memikirkan aku. Jalani hidupmu sebagaimana mestinya, bahkan kau mencari cinta lain pun tak apa. Kenangan kita sampai malam ini sudah cukup untuk kubawa pergi."
Usai berkata demikian, aku langsung keluar kamar, meninggalkan kau dan dia yang masih lelap dalam tidur. Aku bahkan langsung keluar rumah dan pergi. Aku tak mau lagi melihat tangis kehilangan darimu, apalagi tangis kehilangan dari bocah itu. Membayangkan saja menyakitkan, apalagi benar-benar melihatnya secara langsung. Pasti lebih sakit.
Apa aku menyesal telah melakukan semua ini? Entahlah. Sepertinya aku memang tak memahami dengan benar siapa diriku. Detik ini, rasa sesal itu ada, rasa damai pun ada. Beban-beban di pundak itu seolah hilang begitu saja. Namun tak kupungkiri, bayang-bayang tangis kehilangan itu juga menjadi beban baru bagiku. Andai aku tak melakukan ini, mungkin kau dan bocah itu masih bisa tersenyum, mungkin kita masih bisa bersama-sama melangkah menghadapi dunia.
Akan tetapi, sekarang semua sudah usai, sudah terlambat untuk disesali atau diperbaiki. Namun, benarkah aku menyesal? Aku pun tak tahu pasti aku menyesal atau tidak. Namun jika bertanya soal menyesal, mungkin aku lebih menyesal mengapa dulu tidak menjadi janin yang gugur.
TAMAT