Langit sudah gelap pekat ketika Dika mengunci pintu kantor. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Setelah lembur menyelesaikan laporan, ia bergegas menuju motor yang terparkir di depan gedung. Rutenya pulang memang harus melewati sebuah kuburan tua yang sudah lama terbengkalai.
Meski sudah sering melewati jalan itu, malam ini suasananya berbeda. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur. Lampu jalan beberapa titik padam, membuat jalur itu semakin suram dan sepi.
Dika menghidupkan motor dan mulai melaju perlahan. Di kejauhan, bayangan pepohonan yang menjulang tampak seperti sosok gelap yang mengintip. Ia mencoba mengusir rasa takut dengan membayangkan betapa dekatnya ia dengan rumah.
Namun, saat motor melewati gerbang kuburan, ia tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang mengikuti di belakangnya. Dika menoleh ke cermin spion, tapi hanya gelap dan ranting pohon yang bergerak tertiup angin.
“Ah, cuma imajinasiku saja,” gumamnya sambil mempercepat laju motor.
Tapi suara itu semakin jelas. Langkah-langkah berat yang tak beraturan, seperti seseorang yang terseok-seok berjalan. Detak jantung Dika semakin cepat. Ia mengarahkan lampu motornya ke sisi jalan, dan di antara bayangan nisan, tampak sosok seorang wanita berambut panjang, mengenakan pakaian putih lusuh, berdiri menatapnya dengan mata kosong.
Dika terkesiap, hampir kehilangan kendali motor. Ia menoleh ke belakang, sosok itu menghilang tanpa suara. Napasnya terengah-engah, ia mencoba menenangkan diri.
Tidak jauh dari sana, sebuah suara bisikan lembut mengalun, “Tolong... jangan tinggalkan aku...”
Dika yang sudah gemetar, langsung tancap gas, berusaha meninggalkan kuburan itu secepat mungkin. Setibanya di rumah, ia menutup pintu dengan gemetar dan menyalakan semua lampu.
Malam itu, Dika tahu satu hal pasti: kuburan tua itu tidak pernah benar-benar kosong.