Pagi yang cerah.
Bagas tiba di kantor lebih awal dari biasanya dan itu membuatnya bahagia. Bagaimana tidak. Bagas hampir setiap hari terlambat masuk kantor. Meski tak lebih dari sepuluh menit, tapi itu membuatnya tak enak hati pada karyawan lain.
Sebenarnya tak ada masalah jika Bagas terlambat hingga satu jam. Tak akan ada yang berani menegurnya atau bahkan memotong gajinya karena perusahaan itu milik keluarga Bagas dan sang direktur utama adalah paman kandungnya.
Saat pintu lift akan tertutup, terdengar seseorang memanggil Bagas.
"Tolong tahan pintunya Gas!" pinta seorang gadis dengan lantang.
Bagas refleks menekan tombol agar pintu lift yang hampir tertutup itu kembali terbuka. Gadis yang ternyata adalah Elvira itu pun bergegas masuk ke dalam lift.
"Thanks ya Gas," kata Elvira .
"Sama-sama. Tumben telat Vir?" tanya Bagas sambil mengamati Elvira dari atas kepala hingga ujung kaki.
"Gue pindah kost karena kost yang lama mau direnovasi. Kost sekarang emang lebih murah sih, tapi sayangnya jauh dari kantor dan jalannya macet," sahut Elvira.
"Kalo tau jauh, harusnya Lo berangkat lebih awal Vir," kata Bagas.
"Udah kok. Tiap hari gue berangkat lebih awal, tapi endingnya gue tetep aja terlambat," keluh Elvira.
Bagas pun tersenyum tipis mendengar jawaban Elvira.
"Eh, gue duluan ya Gas," pamit Elvira tiba-tiba.
Bagas pun terkejut lalu mengangguk saat melihat pintu lift terbuka.
"Ok," sahut Bagas sambil melangkah keluar lift.
Kemudian Bagas dan Elvira berpisah di depan pintu lift. Elvira kearah kiri sedangkan Bagas kearah kanan.
Tapi sebelum Elvira benar-benar menjauh, Bagas pun menoleh ke belakang. Dia ingat divisi tempat Elvira bekerja ada di samping divisinya dan itu artinya Elvira searah dengannya. Tapi kenapa Elvira justru menempuh jalan yang lebih jauh?.
Bagas pun berhenti lalu menatap punggung Elvira yang kian menjauh itu sekali lagi. Sedetik kemudian dia tersadar akan sesuatu. Ya, saat berada di dalam lift tadi, tak sekalipun Elvira menatapnya bahkan saat sedang bicara dengannya. Bukan kah itu aneh?.
Bagas pun menghela nafas panjang karena tak mengerti mengapa Elvira bersikap seperti itu.
Sementara itu Elvira justru mempercepat langkahnya seolah takut Bagas akan mengejarnya. Setelah merasa aman, Elvira pun memperlambat langkahnya sambil menggelengkan kepala. Bukan karena pusing tapi karena dia sedang berusaha menata hati dan pikirannya.
"Pagi yang menyebalkan," gumam Elvira sambil mengepalkan tangan.
Bukan tanpa alasan Elvira berpikir seperti itu.
Dulu, Bagas dan Elvira sangat dekat. Kedekatan mereka sangat intens hingga rekan-rekan masing-masing divisi mengira mereka sepasang kekasih. Di depan semua orang Bagas tak pernah menyangkal dan cenderung membiarkan semuanya hingga membuat Elvira salah paham.
Elvira mengira Bagas membiarkan rumor itu beredar karena pria itu memang menyukainya, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Bagas tak pernah menyukai Elvira layaknya teman apalagi mencintainya layaknya pria kepada wanita. Bagas mendekati Elvira karena tahu hanya gadis itu yang bisa membantunya.
Sayangnya Elvira mengetahui semuanya dengan cara yang tak patut.
Kala itu Bagas sedang di loby perusahaan bersama sahabatnya. Keduanya terpaksa duduk di sana sambil menunggu hujan reda, padahal jam pulang kantor sudah lewat setengah jam yang lalu.
"Tumben sendirian. Elviranya mana Gas?" tanya Baim.
"Ga tau," sahut Bagas.
"Kok ga tau. Mustahil kan pacaran tapi ga saling ngabarin," kata Baim.
"Ish, apaan sih Lo. Siapa juga yang pacaran sama cewek kaya gitu," sahut Bagas.
"Kaya gitu gimana maksudnya Gas?" tanya Baim tak mengerti.
"Emang Lo ga bisa liat gimana Elvira, penampilannya, sikapnya?" tanya Bagas.
"Emang kenapa penampilan sama sikapnya Elvira?" tanya Baim.
"Kampungan, ga rapi, cenderung bar-bar," sahut Bagas cepat.
"Yah, wajar lah. Elvira kan orang lapangan. Pasti harus nyesuain diri sama lingkungan. Cara berpakaian dia menurut gue sih pas-pas aja dan ok kok, cocok lah sama aktifitasnya yang bolak-balik kantor dan lapangan. Sikapnya yang ga menye-menye juga bagus, jadi cowok-cowok ga bisa sembarangan sama dia. Kebayang kan gimana jadinya kalo orang model Sisil yang ditaro di lapangan. Pasti bakal nangis dan minta resign. Lagian Elvira itu manis, pinter dan supel. Apalagi sih yang kurang?" tanya Baim.
"Kurang cantik dan ga berkelas. Itu masalahnya. Jujur kalo buat temenan, dia emang ok. Tapi kalo lebih, ntar dulu deh. Apalagi sampe dikenalin ke keluarga. Duh, kayanya ga lah ya. Gue ga bisa bayangin kalo om gue yang direktur utama perusahaan ini tau gue deket sama cewek model Elvira. Mungkin dia ga akan ikut campur tapi gue yang malu Im," sahut Bagas.
"Kenapa harus malu?" tanya Baim.
"Lo pikir aja sendiri. Masa harus gue jelasin juga Im," sahut Bagas sambil tertawa sumbang.
"Jahat Lo Gas. Kalo ga suka, harusnya ga usah ngasih harapan. Kasian kan Elvira," kata Baim.
"Gue ga ngasih harapan. Dianya aja yang kepedean. Harusnya dia ngaca. Mana mungkin cowok kaya gue naksir sama dia. Selama ini gue deketin dia ya karena dia pinter dan bisa bantuin gue nyelesain kerjaan gue. Seandainya dia ga bisa apa-apa, belum tentu juga gue deketin dia. Iya kan," sahut Bagas tanpa rasa bersalah.
"Ck. Terserah Lo aja deh. Saran gue sih, jangan mainin perasaan cewek. Ntar kena batunya baru rasa Lo," kata Baim.
"Kena batunya gimana maksud Lo Im?" tanya Bagas tak mengerti.
"Sekarang dia suka sama Lo, Lo tolak. Tapi suatu saat tau-tau kebalik gimana?. Lo yang cinta mati sama dia, eh dianya yang nolak. Itu kan yang disebut kena batunya," sahut Baim.
"Gue ga bakalan kaya gitu Im. Cewek yang lebih cakep banyak, lebih pinter dan ga malu-maluin juga ada. Masa gue harus berbalik ngejar dia sih. Mustahil banget," sahut Bagas dengan jumawa.
"Terserah Lo deh. Eh, hujannya udah reda tuh, ayo kalo mau bareng," ajak Baim sambil mengenakan jaketnya.
Bagas pun mengangguk lalu segera bangkit dari duduknya. Setelahnya dia mengikuti Baim menuju tempat parkir.
Tanpa Bagas dan Baim sadari, percakapan mereka didengar langsung oleh Elvira.
Awalnya gadis itu bermaksud menyapa Bagas saat keluar dari lift. Tapi Elvira urung melakukannya karena mendengar namanya disebut beberapa kali oleh Bagas dan Baim. Karena penasaran, Elvira pun sembunyi di balik dinding yang ada di belakang sofa yang diduduki Bagas dan Baim.
Tubuh Elvira pun membeku saat mendengar ucapan Bagas. Kedua matanya nampak berkaca-kaca. Dia tak menyangka, pria yang belakangan mulai menempati sudut terindah di hatinya ternyata tega mempermainkan perasaannya.
Setelah Bagas dan Baim berlalu, Elvira pun keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah yang basah oleh air mata.
Sesaat kemudian Elvira menghapus air matanya lalu berlari keluar menembus gerimis. Di saat bersamaan Baim yang berada di tempat parkir pun melihatnya. Baim menoleh kearah Bagas karena penasaran bagaimana pria itu merespon kehadiran Elvira.
"Elvira tuh Gas," kata Baim kemudian.
"Biarin aja," sahut Bagas cepat.
"Ga mau nyapa dulu?" tanya Baim.
"Ga perlu. Buruan cabut yuk," ajak Bagas tak sabar.
"Ok. Ngomong-ngomong dia denger apa yang kita obrolin tadi ga ya?" tanya Baim sambil mulai melajukan motornya.
"Kayanya ga. Kita kan di parkiran udah hampir tujuh menit sedangkan Elvira baru aja keluar," sahut Bagas.
Baim pun menghela nafas lega mendengar ucapan Bagas.
Lagi-lagi perbincangan Bagas dan Baim didengar oleh Elvira. Gadis itu nampak tersenyum getir seolah sedang menyesali kebodohannya.
=====
Sejak hari itu sikap Elvira pun berubah. Dia mulai menjaga jarak dari Bagas. Tentu Bagas tak menyadari itu karena kebetulan Elvira memang jarang ke kantor kecuali ada urusan mendesak.
Sebagai supervisor divisi pemasaran, Elvira sangat sibuk. Selain bertugas mengawasi rekan-rekannya yang memasarkan produk-produk perusahaan, Elvira juga membuat laporan keuangan yang kemudian diserahkan ke manager keuangan seminggu sekali.
Saat ke kantor biasanya Elvira akan menyempatkan diri menemui Bagas, bahkan makan siang dengannya, tapi kini tidak lagi. Elvira justru sengaja mencari jalan lain agar tak melintas di depan ruangan tempat Bagas bekerja.
Hingga akhirnya Bagas mulai menyadari Elvira tak pernah lagi menemuinya. Bagas yang merasa 'kehilangan' pun mencoba mencari informasi. Betapa terkejutnya dia saat mengetahui Elvira kini sudah tak bertugas di lapangan tapi justru bekerja di kantor.
"Oh ya, sejak kapan?" tanya Bagas.
"Sejak dua bulan yang lalu. Cuma sesekali aja ke lapangan itu pun kalo disuruh sama atasan. Ya kaya sekarang ini. Dia lagi keluar sama pak Budi. Katanya sih mau ngecek kinerja karyawan di lapangan," sahut rekan Elvira sambil menatap Bagas lekat.
Bagas pun mengangguk dan berlalu setelah mengucapkan terima kasih.
Sore harinya Bagas berpapasan dengan Elvira yang saat itu sedang berjalan bersama rekan-rekannya. Bagas pun menghentikan langkahnya karena yakin Elvira akan menyapa dan berbincang dengannya. Tapi perkiraan Bagas meleset. Elvira hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis kearahnya, tanpa menyebut namanya atau berhenti untuk berbincang dengannya seperti biasa.
Karena penasaran Bagas pun memanggil Elvira.
"Elvira!" panggil Bagas lantang.
Elvira berhenti lalu menoleh dan bertanya.
"Iya, kenapa Gas?" tanya Elvira.
"Gue mau ke kafe. Lo mau ikut ga?" tanya Bagas.
"Sorry ga bisa, Gas. Gue harus langsung pulang karena ada famili yang dateng dari Jogja dan pengen ketemu sama gue," sahut Elvira.
"Kalo besok?" tanya Bagas.
"Maaf, ga bisa juga," sahut Elvira sambil melanjutkan langkahnya.
Bagas menatap kepergian Elvira dengan tatapan nanar. Dia tak percaya Elvira menolak ajakannya. Saat itu lah Bagas sadar ada sesuatu yang terjadi. Tapi egonya membuatnya jumawa. Dia tetap yakin Elvira akan kembali mengejarnya seperti sebelumnya.
=====
Hari-hari selanjutnya Bagas merasa Elvira kian menjauh darinya. Selain jarang menyapa, Elvira juga langsung menghindar saat dia berusaha mendekat. Bahkan Elvira lebih memilih pergi daripada berada di ruangan yang sama dengan Bagas.
Sikap Elvira membuat Bagas bingung dan panik. Bahkan kini Bagas terang-terangan mengejar Elvira.
Hari itu semua karyawan sibuk mempersiapkan pesta ulang tahun perusahaan yang akan digelar besok. Setiap ruangan dihias secantik mungkin karena pimpinan perusahaan berjanji akan memberi hadiah pada ruangan yang memiliki penampilan terbaik di hari ulang tahun perusahaan. Bagas dan rekannya juga sibuk menghias ruangan mereka.
Namun di sela kesibukannya Bagas menyempatkan diri melirik ke ruangan dimana Elvira berada. Saat melihat Elvira keluar sambil membawa dus berisi pernak pernik untuk menghias panggung, Bagas pun menghadangnya.
"Sini gue bantuin Vir," kata Bagas sambil mengulurkan tangannya.
"Eh, ga usah Gas. Gue bisa kok," sahut Elvira.
"Tapi itu berat Vir," kata Bagas.
"Ga lah. Gue kan orang lapangan, udah biasa kerja kotor dan berat. Barang segini mah enteng buat gue," sahut Elvira sambil berlalu.
Bagas tersentak mendengar jawaban Elvira. Dia merasa Elvira sedang menyindirnya. Karena penasaran Bagas pun mengikuti Elvira hingga ke loby dimana panggung pementasan dibuat.
"Sebentar Vir. Maksud Lo apa ngomong begitu?" tanya Bagas.
Elvira yang tak menyangka Bagas mengikutinya pun terkejut.
"Lo ngapain ke sini?. Bukannya Lo lagi ngerapiin ruangan ya?" tanya Elvira.
Alih-alih menjawab pertanyaan Elvira, Bagas justru mencekal pergelangan tangan Elvira sambil bertanya.
"Kenapa Vir?" tanya Bagas.
"Apanya yang kenapa?" tanya Elvira.
"Kenapa Lo jauhin gue. Apa salah gue sama Lo?" tanya Bagas tak sabar.
"Gue ga jauhin Lo Gas," sahut Elvira sambil menepis tangan Bagas.
"Tapi sikap Lo ... " ucapan Bagas terputus karena Elvira memotong cepat.
"Sikap gue ke Lo sama aja kaya sikap gue ke temen-temen yang lain. Ga beda. Terus masalahnya dimana?" tanya Elvira sambil menatap Bagas lekat.
Entah mengapa jawaban Elvira membuat sudut hati Bagas berdenyut sakit. Dia merasa tak terima 'disamakan' dengan teman Elvira yang lain. Padahal sebelumnya dia yakin punya tempat istimewa di hati Elvira.
Lamunan Bagas pun buyar karena suara sound sistem yang menggema. Dia kesal karena Elvira tak ada di hadapannya lagi. Saat menoleh, dia melihat gadis itu sedang berbincang akrab dengan Haikal.
Karena tak nyaman melihat kedekatan Elvira dan Haikal, Bagas pun kembali ke ruangannya sambil menelan rasa kecewa.
=====
Ulang tahun perusahaan.
Semua karyawan pun tampil memukau hari itu. Mereka mengenakan pakaian terbaik untuk menarik perhatian pimpinan perusahaan. Lagi-lagi itu karena pimpinan perusahaan berjanji memberikan hadiah kepada karyawan dengan busana terbaik.
Bagas dan Baim berdiri di sudut loby. Dari sana mereka bisa mengamati semua orang yang datang dengan leluasa.
"Keren-keren ya Gas," kata Baim.
"Iya," sahut Bagas datar.
"Kok lesu gitu. Harusnya Lo seneng, kan udah dapet hadiah dari Sisil dan Nafisa tadi," kata Baim.
"Ck, hadiah coklat doang mah ga penting buat gue," sahut Bagas.
"Terus mau Lo apa, berlian?" goda Baim.
"Gue mau gelar karyawan terbaik Im. Itu penting banget. Gue mau buktiin sama keluarga gue kalo gue bisa dapetin gelar itu karena gue kerja sungguh-sungguh dan bukan karena keponakan Dirut," sahut Bagas.
"Oh gitu. Kalo orang yang di sana penting ga buat Lo?" tanya Baim sambil melirik kearah Elvira yang baru saja memasuki loby bersama Haikal dan beberapa rekannya.
Bagas pun menoleh dan tertegun melihat penampilan Elvira. Dia tak menyangka gadis itu bisa tampil memukau.
Elvira mengenakan kebaya brokat lengan pendek warna fucia, lengkap dengan jarik batik lilit bermotif dengan warna campuran hitam dan pink. Rambut sebahunya digerai begitu saja dan hanya diberi jepit rambut kecil berwarna keperakan sebagai pemanis.
Sepanjang acara berlangsung, Bagas terus mengamati Elvira. Rasa cemburu hinggap di hatinya tiap kali melihat Elvira didekati para pria. Sejumput penyesalan hadir di hatinya kala teringat dirinya pernah menepis perhatian Elvira dulu.
Baim yang melihat Bagas terpesona dengan penampilan Elvira pun tak kuasa menahan tawa.
"Gimana Gas. Kalo kaya gini, dia masih malu-maluin ga?" tanya Baim setengah berbisik.
Bagas tersentak lalu menatap Baim lekat.
Belum sempat dia menjawab pertanyaan Baim, suara MC terdengar memanggil Elvira dengan lantang.
Semua orang, termasuk Bagas, menoleh dan melihat kearah panggung. Mereka terkejut melihat Elvira baru saja menyabet gelar sebagai karyawan teladan. Dia mendapat medali, trophy penghargaan dan uang tunai sebesar dua puluh lima juta rupiah.
Sebuah gelar impian yang jadi impian semua karyawan termasuk Bagas kini telah berada di genggaman Elvira. Dia pun melambaikan tangan saat tepuk tangan dan sorak sorai karyawan mengiringi langkahnya menuju meja podium.
"Makasih semuanya. Makasih team saya yang solid, makasih pak Budi, pimpinan saya yang tegas kadang galak, juga rekan-rekan semua yang mendukung saya. Saya ga akan bisa begini kalo bukan karena support kalian. Dan untuk mereka yang selama ini meremehkan dan membenci saya, lihat lah. Saya udah di sini, terus kalian di mana?" gurau Elvira sambil memperlihatkan medali dan trophy di tangannya.
Pidato singkat Elvira tak hanya disambut gemuruh tawa dan tepuk tangan tapi juga berhasil menyadarkan Bagas. Dia menatap Elvira dari kejauhan. Melihat gadis itu tertawa bahagia saat para karyawan memberinya ucapan selamat.
"Ga ikut ngasih selamat sama Elvira Gas?" tanya Baim.
"Gue malu Im," sahut Bagas lirih.
"Bagus deh kalo Lo masih punya malu," kata Baim sambil berlalu.
Bagas menghela nafas panjang lalu meninggalkan loby diam-diam. Dia memilih sembunyi di taman.
Saat sedang asyik merokok, lagi-lagi Bagas menyaksikan sesuatu yang membuat hatinya teriris. Di taman itu dia melihat Elvira menitikkan air mata haru saat Haikal melamarnya. Detik itu lah Bagas akhirnya tahu bahwa Haikal telah menjadi kekasih Elvira sebulan ini dan mereka berencana menikah dalam waktu dekat.
Untuk kesekian kalinya Bagas menyesal karena terlambat menyadari perasaannya untuk Elvira. Dia yakin permintaan maafnya akan sia-sia karena Elvira telah menjatuhkan pilihan pada pria lain.
Bagas pun bangkit tanpa suara lalu pergi meninggalkan taman. Dia pergi dengan membawa penyesalan karena cinta yang tak sempat diungkapkan.
=====
Bagas berdiri gamang di tengah aula tempat dimana resepsi pernikahan Elvira dan Haikal digelar.
Karena tak kuasa menahan rasa nyeri di hatinya melihat kebahagiaan Elvira dan Haikal, Bagas pun memilih duduk di sudut ruangan. Dari sana dia bisa leluasa menatap Elvira yang terlihat sumringah menyambut para tamu yang datang memberi ucapan selamat dan doa.
Sesekali Bagas menyentuh dadanya agar detak jantungnya yang berpacu karena marah dan cemburu itu bisa kembali stabil.
"Ternyata gue salah. Elvira bahkan udah memenuhi semua keinginan gue sebelum gue sadar apa yang gue cari. Maafin gue Vir. Gue jahat karena mengabaikan perasaan tulus Lo waktu itu. Gue terlalu sombong untuk mengakui kalo gue juga sayang sama Lo," batin Bagas gusar.
Lamunan Bagas buyar saat Baim datang dan menepuk bahunya. Dengan bangga Baim memperkenalkan kekasihnya yang bertubuh gempal itu kepada Bagas.
"Kenapa Gas, apa ada yang aneh sama Erni. Atau gue ga cocok ya sama dia?" tanya Baim saat sang kekasih pamit untuk ke toilet.
"Kenapa Lo ngomong gitu?" tanya Bagas tak mengerti .
"Oh, sorry. Gue kirain Lo lagi menilai Erni. Kan selama ini Lo selalu menilai orang dari luarnya aja," sahut Baim santai.
Jawaban Baim membuat wajah Bagas merah padam karena malu. Dia pun membuang pandangannya kearah lain untuk menghindari tatapan Baim.
"Gue cuma mau bilang, biar Erni gemuk, buat gue dia sempurna. Selain cantik, dia juga baik banget, sopan dan ga neko-neko. Yang paling penting, bersamanya gue tenang dan happy. Gue ga peduli penilaian orang karena mereka ga tau apa yang gue rasain. Dan asal Lo tau, sejak sama dia hidup gue jadi terarah. Orang tua gue bahkan ga sabar ngeliat gue nikah sama dia," sahut Baim tenang namun berhasil membuat Bagas terkejut.
"Nikah, kapan?" tanya Bagas.
"Tunggu aja, nanti pasti gue kabarin," sahut Baim sambil berlalu.
Bagas melepas kepergian Baim dengan rasa gundah. Dia masih tak percaya Baim akan menikahi Erni.
Dari kejauhan Bagas melihat Baim menghampiri Erni, merangkul pundaknya lalu mengecup keningnya dengan lembut. Erni pun membalasnya dengan senyum manis dan pelukan erat di lengan Baim.
Pemandangan itu mau tak mau membuat Bagas sadar bahwa penampilan fisik bukan lah segalanya. Kebahagiaan dan rasa nyaman adalah hal penting dalam sebuah hubungan. Dia pernah memiliki itu saat bersama Elvira. Tapi sayang dia terlalu sombong untuk mengakuinya.
Tak lama kemudian Bagas pun bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan aula itu tanpa menoleh lagi.
=== TAMAT ===