Rani berdiri di depan cermin toilet sekolah, menatap wajahnya yang pucat. Rambutnya sedikit berantakan, hasil dari dorongan keras yang baru saja ia terima di lorong. Tawa mengejek tadi masih terngiang di telinganya itu suara Nina dan gengnya, yang sejak awal tahun ajaran menjadikan Rani target.
"Dasar kutu buku! Jalan aja ngelamun!" Nina menyeringai waktu itu, seolah kesalahan itu milik Rani sepenuhnya.
Rani tahu, kalau dia membalas, masalah akan makin besar. Ibunya pernah berkata, "Hati-hati, jangan cari ribut di sekolah." Tapi ada batas untuk diam. Dan hari ini, batas itu runtuh.
Sepulang sekolah, Rani duduk di kamarnya, membuka laptop. Ia bukan tipe yang melawan dengan fisik tapi pikirannya tajam. Ia ingat Nina pernah memamerkan akun media sosial pribadinya di kelas. Foto-foto pesta, video saat bolos les, bahkan komentar-komentar kasar yang ia tulis ke orang lain.
Bukan untuk menyebar aib, pikir Rani, tapi untuk menunjukkan pada orang-orang siapa Nina sebenarnya.
Keesokan paginya, Rani datang lebih awal. Ia mencetak beberapa foto dan tangkapan layar yang memperlihatkan Nina sedang merokok di toilet umum yang jelas-jelas melanggar aturan sekolah. Kertas-kertas itu ia masukkan ke dalam amplop tak bernama dan menyelipkannya ke kotak surat ruang guru.
Saat bel istirahat berbunyi, kehebohan pun pecah. Nina dipanggil ke ruang BK. Bisik-bisik mulai menyebar, tatapan siswa beralih dari Rani ke Nina. Untuk pertama kalinya, geng itu bubar dengan wajah panik.
Rani hanya duduk di pojok kelas, membaca buku seperti biasa. Tapi kali ini, tidak ada yang berani menyentuh atau mengejeknya. Nina tak kembali ke kelas hari itu, dan kabar yang beredar mengatakan ia diskors selama seminggu.
Di dalam hati, Rani tidak merasa bersalah. Bukan karena ia ingin menghancurkan, tapi karena ia ingin bertahan. Kadang, menghadapi intimidasi bukan soal kekerasan fisik tapi tentang membalikkan permainan di papan yang sama.