Rani selalu dikenal sebagai karyawan paling sabar di kantornya. Sabar menghadapi deadline, sabar dengan klien yang berubah-ubah, bahkan sabar dengan Lina, atasan yang suka mengambil ide orang lain lalu mengaku itu karyanya sendiri.
Selama dua tahun, Rani diam. Bukan karena tidak tahu caranya melawan, tapi karena ia menunggu saat yang tepat. Ia tahu, Lina haus pengakuan dan setiap orang yang haus pengakuan akan menelan apa saja demi mendapatkannya.
Kesempatan datang saat perusahaan mengumumkan kompetisi internal: setiap divisi diminta membuat proposal inovasi, dan pemenangnya akan mendapat penghargaan langsung dari CEO. Hadiah tambahannya: promosi jabatan.
Rani menyusun rencana. Ia membuat proposal luar biasa detail, tapi sengaja meninggalkan beberapa bagian “kosong” yang seolah belum selesai. Bagian itu berisi data krusial yang hanya ia tahu cara mengolahnya.
Benar saja, suatu sore Lina datang pura-pura ramah.
“Ran, proposalmu bagus. Tapi, biar lebih cepat, aku yang serahkan ke manajemen ya. Kamu kan sibuk.”
Rani tersenyum. “Oh, tentu, Bu. Terima kasih.”
Seminggu kemudian, proposal itu dipresentasikan oleh Lina di depan jajaran direksi. Semua berjalan mulus… sampai sesi tanya jawab.
CEO menatap Lina, “Data penutupnya mana? Bagian ini kosong. Tanpa itu, ide ini tidak punya dasar kuat.”
Lina terdiam, tersenyum kaku, lalu mulai berputar-putar menjawab. Direksi mulai berbisik.
Saat itulah Rani angkat tangan dari kursi belakang.
“Mohon izin, Pak. Kebetulan saya yang mengerjakan data itu. Kalau diizinkan, saya bisa menjelaskan.”
Rani maju ke depan, membuka slide tambahan yang sudah ia siapkan diam-diam. Data itu jelas, terperinci, dan langsung memukau ruangan.
CEO mengangguk puas. “Kenapa tidak dari awal Anda yang presentasi?”
Rani hanya tersenyum tipis. “Saya pikir setiap ide pantas disampaikan oleh orang yang benar-benar memahaminya.”
Tepuk tangan memenuhi ruangan. Lina duduk kaku, matanya kosong.
Seminggu kemudian, pengumuman keluar: pemenang kompetisi adalah Rani, sekaligus promosi ke posisi yang… kebetulan satu tingkat di atas Lina.
Di hari pertamanya duduk di meja baru, Rani membawakan Lina secangkir kopi.
“Terima kasih sudah membantu, Bu,” ucapnya ringan.
Lina menatapnya lama, lalu hanya mengangguk pelan.
Rani kembali ke mejanya dengan langkah tenang. Tidak ada teriakan, tidak ada balas dendam kasar. Hanya kepuasan sederhana: melihat kebenaran berdiri sendiri, tanpa perlu ia dorong terlalu keras.