Di rumah tua di pinggiran kota, dapur selalu menjadi pusat segalanya. Bukan sekadar tempat memasak, tapi ruang berkumpul, berbagi cerita, dan membungkus cinta dalam bentuk aroma.
Bagi Damar, bahasa cinta Ibu adalah ayam opor hidangan yang selalu menunggu setiap kali ia pulang dari luar kota.
Waktu kecil, Damar sering duduk di bangku kayu dekat kompor, memperhatikan Ibu mengulek bumbu dengan tangan cekatan.
“Masak itu harus sabar, Mar,” kata Ibu sambil mengaduk santan. “Kalau terburu-buru, rasanya nggak akan nyampe ke hati orang yang makan.”
Anak kecil itu hanya mengangguk, belum mengerti, tapi diam-diam menghafal gerak tangan Ibu.
Namun, setahun terakhir, dapur itu sunyi. Ibu jatuh sakit, kakinya lemah, dan tak lagi sanggup berdiri lama. Panci besar, wajan kesayangan, dan ulekan batu hanya terdiam di sudut.
Damar, yang sibuk dengan pekerjaannya di kota, jarang pulang. Telepon-telepon singkat sering diakhiri dengan janji, “Nanti kalau sudah longgar, aku pulang.”
Namun waktu selalu punya alasan untuk tidak longgar.
Sampai suatu sore, telepon dari adiknya memutus ritme harinya.
Suaranya parau, hampir bergetar.
“Mas, Ibu makin lemah. Kalau mau pulang, sekarang.”
Damar langsung mengambil cuti darurat. Perjalanan pulang yang biasanya terasa dua jam, kali ini seperti lima. Jalanan macet, hujan turun, dan pikirannya dipenuhi rasa bersalah yang menumpuk.
Setibanya di rumah, ia melihat Ibu terbaring di ruang tengah, tubuhnya mengecil tapi senyumnya tetap sama.
“Mas Damar… sudah makan?” suara Ibu pelan, tapi matanya berusaha berbinar.
“Belum, Bu,” jawabnya sambil duduk di samping.
Ibu menoleh ke adiknya. “Tolong ambilkan… yang di dapur.”
Tak lama, adiknya keluar membawa sebuah rantang tua warna hijau, catnya sudah terkelupas di tepi. Saat dibuka, aroma ayam opor menyeruak, begitu familiar, menusuk sampai ke hati.
Damar menatap tak percaya. “Bu, ini… Ibu yang masak?”
Ibu mengangguk lemah. “Iya… sedikit saja. Ibu mau masak sekali lagi, buat kamu.”
Sendok terasa berat di tangan Damar. Setiap suapan membuat tenggorokannya kencang, bukan karena bumbunya, tapi karena ia sadar ini mungkin terakhir kalinya ia merasakan masakan Ibu.
Di sela makan, Ibu berbisik, “Kamu sibuk, Ibu ngerti. Tapi jangan sampai rumah ini jadi asing buat kamu, Mar.”
Malam itu, Damar tidur di kamar lamanya. Hujan mengetuk atap seng, membuatnya ingat masa kecil suara hujan yang dulu ia dengar sambil menunggu Ibu memanggil makan malam.
Paginya, ketukan di pintu membangunkannya. Adiknya berdiri dengan mata sembab.
“Mas… Ibu sudah pergi.”
Waktu seperti berhenti. Damar berjalan ke ruang tengah, menatap wajah Ibu yang kini tenang. Tidak ada lagi sakit, tidak ada lagi lelah.
Matanya lalu tertuju ke dapur. Di atas meja, rantang itu masih ada, dengan sisa ayam opor di dalamnya.
Aroma yang semalam menghangatkan hatinya kini terasa perih.
Ia duduk sendirian di dapur, mengambil sendok, dan makan perlahan walau rasanya tak lagi sama. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa dikembalikan oleh bumbu atau resep.
Sejak hari itu, Damar memutuskan pulang setiap bulan. Dapur kembali hidup, tapi kini ia yang berdiri di depan kompor.
Tangan kasarnya belajar mengulek bumbu dengan sabar, mengaduk santan perlahan, seperti yang diajarkan Ibu dulu.
Ayam opor menjadi menu wajib. Bukan hanya untuk mengenang, tapi sebagai janji bahwa cinta keluarga tidak berhenti di meja makan ia diwariskan.
Kadang, saat mengaduk panci, Damar merasa aroma itu kembali, seolah Ibu berdiri di sampingnya. Dan ia tahu, bingkisan terakhir dari dapur itu akan selalu bersamanya… bukan di lidah, tapi di hati.