Namaku Aluna. Aku seorang mahasiswa psikologi tingkat akhir. Ironis, bukan? Belajar tentang pikiran manusia, tapi tak mampu memahami pikiranku sendiri.
Semuanya bermula saat aku mengambil mata kuliah “Psikopatologi Klinis.” Dosen kami, Bu Ratri, terkenal dingin dan tajam. Tapi ada satu hal yang membuatku tertarik: dia selalu bicara tentang “ruang batin yang terkunci.”
“Setiap orang punya ruangan tanpa jendela dalam pikirannya,” katanya di kelas. “Tempat kita menyimpan hal-hal yang tak ingin kita lihat. Tapi hati-hati... kadang ruangan itu terbuka sendiri.”
Aku tertawa waktu itu. Tapi sekarang, aku tak bisa berhenti memikirkan kalimat itu.
Aku mulai mengalami hal-hal aneh. Buku-buku di rakku berpindah tempat. Ponselku menyimpan rekaman suara yang tak pernah aku buat.
“Aluna... kamu harus bicara denganku.”
Suara itu... mirip suaraku. Tapi bukan aku.
Aku bertanya pada teman sekamarku, Sari. “Kamu pernah dengar aku bicara sendiri?”
Dia mengangguk ragu. “Kadang malam-malam kamu ngomong sendiri. Tapi aku pikir kamu mimpi.”
Aku mulai mencatat semuanya. Jam berapa aku tidur, bangun, bicara. Tapi semakin aku mencatat, semakin kacau semuanya.
Suatu malam, aku menemukan catatan di bawah bantal. Tulisan tangan yang mirip milikku.
“Jangan percaya Sari. Dia memata-matai kamu.”
Aku panik. Aku konfrontasi Sari.
“Kamu nulis ini?” tanyaku sambil menunjukkan kertas.
Dia menatapku takut. “Aluna... kamu yang nulis itu. Aku lihat kamu nulisnya jam tiga pagi.”
Aku tak ingat.
Aku pergi ke Bu Ratri. “Bu, saya... saya merasa ada yang salah dengan saya.”
Dia menatapku lama. “Kamu sudah mulai membuka ruangan itu.”
“Apa maksudnya?”
“Ruangan tanpa jendela. Kamu mulai melihat isi di dalamnya.”
Aku gemetar. “Saya takut, Bu.”
Dia tersenyum tipis. “Takut itu wajar. Tapi kamu harus terus masuk. Jangan berhenti di ambang pintu.”
Aku mulai terapi. Tapi setiap kali aku bicara, psikologku hanya mencatat tanpa banyak bicara. Suatu hari, aku melihat catatan di mejanya saat dia ke toilet.
“Pasien menunjukkan gejala disosiasi. Kemungkinan besar memiliki alter ego.”
Alter ego?
Aku pulang dengan kepala berputar. Di kamar, aku menemukan cermin kecil dengan tulisan di atasnya:
“Aku bukan kamu. Tapi aku ada karena kamu.”
Aku mulai bicara dengan bayanganku sendiri. Di cermin, aku melihat versi diriku yang tersenyum saat aku menangis.
“Aku cuma mau bantu kamu,” katanya.
“Siapa kamu?”
“Aku bagian dari kamu yang kamu buang. Aku yang tahu cara bertahan.”
Suatu hari, aku bangun di ruangan putih. Dinding empuk. Tak ada jendela.
Seorang pria berseragam putih masuk. “Selamat pagi, Aluna.”
“Di mana aku?”
“Kamu di pusat rehabilitasi jiwa. Kamu sudah di sini selama dua tahun.”
Aku tertawa. “Itu tidak mungkin. Aku mahasiswa. Aku tinggal sama Sari.”
Dia menatapku lama. “Sari tidak ada, Aluna. Dia bagian dari delusimu. Kamu mengalami gangguan identitas disosiatif. Kamu menciptakan Sari, Bu Ratri, bahkan kampusmu.”
Aku membeku.
“Dan kamu menulis semua cerita ini sendiri. Termasuk surat-surat, rekaman, dan cermin itu.”
Sekarang, aku duduk di ruangan tanpa jendela. Menulis cerita ini. Mungkin kamu pikir ini fiksi. Tapi bagaimana kalau kamu juga punya ruangan itu... dan belum sadar?