Hujan turun sejak pagi. Air menetes pelan dari ujung genteng rumah tua itu, menciptakan irama sendu yang menyatu dengan detak jam dinding di ruang tengah. Dara duduk di tepi ranjang, memandangi koper cokelat yang belum ia buka sejak kembali dari Bandung tiga hari lalu. Kamar itu masih sama—tirai renda berwarna gading, lemari kayu dengan gagang yang sudah longgar, dan bau khas rumah: campuran kayu lapuk, kapur barus, dan sedikit aroma tanah basah yang menyusup lewat celah jendela.
Ia menarik napas panjang. Di luar, suara Ibu terdengar dari ruang tamu.
Ibu: “Kenapa kamu pulang?”
Datar. Dingin. Seperti hujan yang tak pernah benar-benar berhenti.
Dara: “Aku cuma… kangen rumah.”
Ia melangkah pelan ke ruang tamu. Lantai keramik dingin menyentuh telapak kakinya, mengingatkan bahwa rumah ini bukan lagi tempat yang hangat. Ibu duduk di sofa rotan, melipat baju dengan gerakan mekanis. Di belakangnya, foto keluarga tergantung miring—Ayah tersenyum di sana, memeluk Dara kecil yang dulu tak pernah jauh dari pelukannya.
Ibu: “Rumah ini bukan tempat pelarian, Dara. Kamu pergi tanpa pamit, sekarang pulang tanpa penjelasan.”
Dara: “Aku pamit, Bu. Waktu itu Ayah masih ada…”
Ibu:(menatap tajam) “Jangan bawa-bawa Ayah! Kamu pergi waktu Ayah sakit. Kamu bahkan nggak datang waktu dia koma. Kamu tahu nggak, dia manggil namamu terus?”
Dara menunduk. Air matanya jatuh, membasahi lantai yang dingin. Tapi ia tak menyeka. Biarlah. Biarlah Ibu lihat bahwa ia menyesal. Bahwa ia tak pernah berniat meninggalkan Ayah begitu saja.
Dara:“Aku nggak tahu Ayah separah itu. Waktu itu aku lagi ujian akhir…”
Ibu:(tertawa sinis) “Ujian? Kamu pikir Ayah peduli soal nilai kamu? Dia cuma pengen anaknya ada di sampingnya. Tapi kamu sibuk ngejar mimpi yang bahkan nggak jelas.”
Dara:"Aku pengen Ayah bangga…”
Ibu: “Bangga sama anak yang ninggalin dia waktu dia butuh? Kamu tahu nggak, malam sebelum Ayah masuk ICU, dia nanya kamu pulang kapan. Tapi kamu nggak jawab.”
Dara memandangi taplak meja yang masih sama seperti dulu—bordiran bunga mawar buatan Ayah, benangnya sudah mulai lepas. Ia ingat Ayah bilang, “Rumah itu bukan soal dinding, tapi soal siapa yang ada di dalamnya.” Sekarang, dinding itu masih berdiri, tapi orang-orang di dalamnya sudah berubah.
Dara:(menangis) “Aku nyesel, Bu. Aku nyesel banget…”
Ibu:(berdiri, membawa baju-baju yang sudah dilipat) “Nyesel nggak bisa ngubah apa-apa. Kalau kamu cuma numpang tidur, silakan. Tapi jangan harap kami bisa lupa semuanya.”
Malam itu, Dara duduk di teras. Hujan sudah reda, tapi dinginnya masih menusuk. Lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan bayangan yang bergerak pelan. Ia membuka ponsel, menatap layar kosong. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Tak ada kabar dari Raka.
Dimas: “Masih nunggu dia?”
Adik laki-lakinya muncul dari balik pintu, membawa jaket.
Dara: “Aku nggak tahu dia kenapa…”
Dimas: (duduk di sampingnya) “Dia pergi, Kak. Udah lama. Aku lihat dia sama cewek lain waktu aku ke Bandung.”
Dara:(menoleh cepat) “Kamu yakin itu dia?”
Dimas: “Yakin. Dia bahkan nggak kelihatan kaget lihat aku. Cuma senyum, lalu jalan.”
Dara: (terdiam, suara pelan) “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
Dimas: “Karena kamu nggak akan percaya. Kamu selalu bela dia. Bahkan waktu Ayah larang kamu pacaran sama dia, kamu tetap pergi.”
Dara: “Aku pikir dia beda…”
Dimas: “Kamu bukan cuma kehilangan dia, Kak. Kamu kehilangan kami juga. Kamu pergi waktu kami butuh kamu. Sekarang kamu balik, tapi kami udah belajar hidup tanpa kamu.”
Dara:(menangis) “Aku cuma pengen diperbaiki… pengen diperbaiki semuanya…”
Dimas:(berdiri, suara pelan tapi tegas) “Nggak semua yang rusak bisa diperbaiki, Kak. Kadang kita cuma bisa belajar hidup dengan luka itu.”
Dara menatap langit. Tak ada bintang. Hanya awan kelabu yang menggantung. Seperti hatinya.
Esoknya, Dara memutuskan pergi. Ia menulis surat, meletakkannya di meja makan, di bawah taplak bordir yang mulai usang.
“Maaf aku datang tanpa membawa penjelasan. Maaf aku pergi tanpa membawa pengertian. Aku nggak minta dimaafkan, aku cuma minta dikenang sebagai seseorang yang pernah mencoba. Terima kasih sudah pernah jadi rumah. Aku akan belajar jadi seseorang yang pantas pulang.”
Saat ia menarik koper dan melangkah keluar, suara Ibu terdengar dari dapur.
Ibu: “Kamu mau ke mana?”
Dara:(berhenti sejenak) “Aku nggak tahu. Tapi aku nggak mau jadi beban di sini.”
Ibu:(diam, lalu berkata pelan) “Kalau kamu benar-benar pengen berubah, jangan lari lagi.”
Dara:(menoleh, air mata mengalir) “Aku nggak lari, Bu. Aku cuma nggak tahu harus mulai dari mana.”
Ibu: (menatapnya lama) “Mulai dari minta maaf. Bukan lewat surat. Tapi lewat waktu. Lewat usaha. Lewat sabar.”
Dara: (mengangguk pelan) “Kalau kalian masih mau nerima aku…”
Ibu: “Kami nggak pernah tutup pintu. Tapi kamu yang harus belajar masuk dengan cara yang benar.”
Dara menatap Ibu. Untuk pertama kalinya, ada sedikit hangat di mata itu. Ia menaruh kopernya di sudut pintu. Ia belum pergi. Tapi ia tahu, perjalanan pulang yang sesungguhnya baru saja dimulai.