Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Mungkin dari pagi itu, saat aku mengetuk pintu kamar Raka dan tidak mendapat jawaban. Kupikir ia masih tidur, seperti biasa. Anak itu memang pendiam, sering mengurung diri. Tapi aku tidak pernah berpikir... bahwa pagi itu akan berbeda.
Saat aku membuka pintu, kamar itu kosong. Hanya ada surat di meja. Aku membacanya setengah, lalu berhenti. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena aku takut. Atau mungkin karena aku terlalu sibuk menyangkal.
“Untuk siapa pun yang akhirnya membaca ini…”
Kalimat itu menghantui aku sekarang. Aku adalah “siapa pun” itu. Tapi aku tidak membaca sampai akhir. Aku meletakkannya, lalu pergi ke warung seperti biasa. Kupikir Raka hanya ngambek. Anak remaja memang begitu, kan?
Beberapa jam kemudian, telepon dari polisi datang. Mereka menemukan Raka di taman kota. Sudah tidak bernyawa. Tubuhnya basah kuyup, duduk di bangku, seperti menunggu seseorang yang tidak pernah datang.
Aku tidak bisa bernapas saat itu. Dunia seperti berhenti.
Pemakaman itu sepi. Hanya aku, Naya, dan dua guru. Tidak ada teman. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata-kata penghiburan. Hanya sunyi yang menusuk.
Aku berdiri di depan makamnya, menatap batu nisan yang baru dipasang.
“Maaf, Nak,” bisikku. “Maaf karena Ibu tidak pernah mendengar.”
Malam itu, aku membaca suratnya sampai habis. Kata demi kata seperti pisau yang mengiris pelan.
“Aku pernah mencoba. Tapi tidak ada yang mendengar. Aku tidak masalah dengan perundungan di sekolah, tetapi setidaknya aku ingin merasakan kehangatan keluarga.”
Aku menangis. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun. Bukan karena kehilangan, tapi karena rasa bersalah yang tidak bisa dihapus.
Aku ingat malam-malam saat Raka mengetuk pintu kamarku, bilang ingin bicara. Aku selalu bilang, “Besok aja.” Aku pikir itu cukup. Aku pikir ia akan mengerti.
Ternyata tidak.
Sejak perceraian lima tahun lalu,itu mengubah segalanya. Menjadi ibu tunggal begitu berat, apalagi dengan pekerjaan yang menumpuk.
Aku memang orang tua yang buruk, bagaimana aku tidak mengerti kondisi anakku sendiri?
Aku mulai membuka album foto lama. Wajah kecil Raka tersenyum di sana. Di ulang tahun ke-7, saat ia meniup lilin dengan mata berbinar. Di hari pertama sekolah, saat ia memelukku erat karena takut.
Kapan terakhir kali aku memeluknya?
Aku tidak ingat.
Naya masuk ke kamar, duduk di sampingku.
“Bu... aku juga salah, ya?”
Aku mengangguk pelan.
“Kita semua salah.”
“Tapi kenapa kita nggak tahu?”
“Karena kita sibuk. Karena kita pikir dia kuat. Karena kita nggak pernah bertanya.”
Beberapa hari kemudian, surat Raka viral. Orang-orang menulis komentar penuh empati. Tapi aku tidak peduli. Mereka tidak mengenalnya. Mereka tidak tahu bahwa anak itu pernah duduk di meja makan sendirian, menunggu aku pulang. Mereka tidak tahu bahwa ia pernah berdiri di depan pintu kamarku, berharap aku membuka.
Mereka tidak tahu bahwa aku adalah alasan kenapa ia merasa tidak penting.
Sekarang, aku sering duduk di kamarnya. Menyalakan lampu kecil, menatap dinding kosong. Kadang aku bicara sendiri, seolah ia masih di sana.
“Raka, Ibu dengar sekarang.”
Tapi suara itu hanya bergema di ruang kosong.
Aku mulai menulis. Bukan untuk viral. Tapi untuk mengingat. Untuk menebus. Untuk anak yang pernah ada, pernah mencoba, dan akhirnya menyerah karena tidak ada yang mendengar.
Dan setiap malam, sebelum tidur, aku membaca ulang surat itu.
“Aku harap kalian tahu: aku pernah ada.”
Ya, Nak. Kamu pernah ada. Dan Ibu akan memastikan dunia tahu.