Edwin adalah pria tampan, santun dan kharismatik. Edwin juga seorang asisten dosen yang mengajar mata kuliah Arsitektur di kampusnya.
Setelah lulus kuliah, Edwin menerima tawaran pak Amri untuk menjadi asistennya dengan syarat dia diijinkan bekerja di luar profesi itu nanti. Rupanya Edwin ingin bisa mengamalkan ilmu yang didapatnya selama menempuh pendidikan di kampus itu.
Tentu saja pak Amri tak keberatan sama sekali. Toh tugasnya dilakukan sore hingga malam hari karena dia mengajar mahasiswa yang kuliah sambil bekerja.
Selama empat tahun menjadi asisten pak Amri, selama itu pula Edwin menjalani hidupnya dengan monoton. Bagaimana tidak. Di kampus Edwin hanya berkutat dengan buku dan jadwal mengajar tanpa sekali pun 'melihat' sekelilingnya. Padahal banyak mahasiswi yang tertarik padanya. Tak hanya mahasiswi teknik, tapi juga mahasiswi jurusan lain. Bahkan beberapa mahasiswi ada yang nekat mendekatinya dengan cara mengirim hadiah kecil. Sayangnya Edwin menyikapi semuanya dengan datar. Sikap kaku Edwin itu membuat para mahasiswi kecewa lalu perlahan menjauh darinya.
Namun di tahun kelima ada sesuatu yang membuat Edwin bangun dari 'tidur' panjangnya.
Sesuatu itu adalah seorang mahasiswi tomboy yang juga angkatan teranyar di kampus. Mahasiswi itu bernama Kirana.
Saat pertama kali tatapan matanya bertemu dengan tatapan Kirana yang duduk diantara mahasiswa baru di kelas Arsitektur, Edwin merasa ada sesuatu yang berbeda. Detak jantungnya yang awalnya biasa saja mendadak berpacu lebih cepat. Aliran darahnya yang semula normalpun ikut tak karuan. Wajahnya pun terasa memanas hanya karena melihat Kirana tersenyum pada rekan mahasiswa yang menyapanya.
Penampilan perdana Kirana sebagai mahasiswi terlihat simpel dan cenderung sama dengan mahasiswa lainnya. Gadis itu mengenakan kemeja longgar, celana panjang denim warna biru, sepatu kets dan tas yang terbuat dari anyaman sabut kelapa. Rambut hitamnya yang sebahu dibiarkan tergerai lepas tanpa aksesori apa pun. Ditambah kacamata minus yang bertengger di wajahnya, membuat Kirana terlihat manis dan menyenangkan di mata Edwin.
Edwin terus memendam rasa suka pada Kirana selama dua tahun. Sayangnya dalam kurun waktu itu hubungannya dengan Kirana tak berubah sama sekali. Mereka tetap berstatus sebagai dosen dan mahasiswa. Bukan karena Edwin tak berusaha 'menyerang' Kirana, tapi dia merasa gadis itu terlalu menjaga jarak hingga sulit didekati.
Edwin juga bertanya-tanya mengapa Kirana tak seagresif mahasiswi lain saat bertemu dengannya. Kirana terlihat datar, cuek dan tampak tak peduli meskipun tatapan mereka seringkali berbenturan. Belakangan Edwin akhirnya tahu apa yang melatarbelakangi sikap Kirana padanya.
Rupanya Kirana adalah lulusan sekolah teknik yang terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang mayoritas adalah pria. Karena terlalu sering menghadapi sikap seperti yang Edwin tunjukkan padanya, maka Kirana menganggapnya angin lalu.
Menurut Edwin, Kirana juga gadis yang cerdas. Edwin hampir tak pernah melihat Kirana kesulitan menyelesaikan tugas yang diberikan pak Amri. Jika mahasiswa lain akan menemuinya untuk bertanya, maka tidak dengan Kirana. Gadis itu terlihat santai karena sudah mendapatkan jawaban dari rekan seniornya. Itu juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa Edwin sulit mendekati Kirana.
Komunikasi Edwin dan Kirana pun akhirnya terjadi meski hanya dalam durasi beberapa menit saja.
"Hari ini kita akan membahas tugas yang diberikan pak Amri. Dipersilakan kepada rekan-rekan jika ingin mempresentasikan karyanya di depan kelas. Hitung-hitung ini sebagai ajang latihan. Karena suatu saat kalian pasti diminta menjelaskan karya yang kalian buat. Oh iya, satu lagi. Akan ada point tambahan untuk mahasiswa yang mempresentasikan karyanya dan yang berani mengajukan pertanyaan seputar gambar yang ditampilkan," kata Edwin sambil menarik kursi.
"Gimana kalo karya yang kami buat masih salah dan jauh dari kata sempurna Pak?" tanya salah seorang mahasiswa.
"Ga masalah, namanya juga belajar. Saat kalian maju, artinya kalian juga siap menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh rekan lainnya. Bagaimana cara kalian menyelesaikan masalah juga menjadi perhatian saya nanti," sahut Edwin.
Kelas pun ramai dengan suara yang saling bersahutan. Tak lama kemudian tiga orang mahasiswa maju ke depan sambil membawa tugas masing-masing berupa gambar arsitektur.
Presentasi regu pertama berjalan lancar. Semua mahasiswa tampak antusias membahas gambar yang ditampilkan oleh rekan mereka. Sebagian besar berusaha menyerang dengan cara mencari-cari kesalahan agar bisa mendapatkan point.
Setelah regu pertama selesai mempresentasikan karyanya, selanjutnya giliran regu kedua. Edwin dibuat terkejut karena Kirana ada di dalamnya. Dari tiga mahasiswi teknik Arsitektur di kelas itu hanya Kirana lah yang berani maju mempresentasikan karyanya.
Bisa ditebak apa yang terjadi saat Kirana mempresentasikan karyanya tersebut. Durasi sepuluh menit yang diberikan kepada tiap orang jadi 'molor' saat Kirana yang berdiri di depan. Semua mahasiswa berebut bertanya. Ada yang hanya iseng tapi ada beberapa orang yang berniat ingin 'menjatuhkannya'. Nampaknya mereka menganggap wanita tak akan bisa setara dengan pria dan jauh di lubuk hatinya Edwin tak setuju dengan pendapat itu.
Di luar dugaan, ternyata Kirana bisa menepis semua anggapan miring itu. Jika awalnya semua orang mengira Kirana hanya akan berdiri malu-malu di depan kelas, mereka justru dibuat terkagum-kagum dengan penampilan Kirana. Edwin pun tak menyangka Kirana mampu memberi jawaban lugas yang membungkam pertanyaan menjebak yang dilontarkan rekan-rekannya termasuk pertanyaan darinya sebagai dosen pengajar.
Salah satu kalimat yang membuat Edwin kagum adalah saat Kirana mengakui kesalahannya dan meminta rekan-rekannya tak meniru kesalahannya itu.
"Sebelumnya saya juga ingin mengingatkan agar rekan sekalian tidak meniru kesalahan yang saya buat. Salah satunya membuat lantai kamar mandi lebih tinggi dari lantai utama. Awalnya saya ingin berkreasi, tapi ternyata pak Oman bilang itu salah. Selain harus mempertimbangkan hukum gravitasi, lantai kamar mandi yang lebih tinggi bisa berakibat fatal karena bisa bikin rumah kebanjiran," kata Kirana dengan mimik wajah lucu.
Tentu saja ucapan Kirana disambut tawa rekan-rekannya termasuk Edwin. Sebagian memuji sebagian lain mengatakan Kirana curang karena lebih dulu mengetahui kelemahan karyanya.
Semua orang tahu, pak Oman yang dimaksud Kirana adalah teman sekelas mereka yang saat itu duduk di kursi depan. Kirana memang memanggil Oman dan rekan sekelas yang seusia Oman dengan sebutan 'pak'. Selain sebagai bentuk penghormatan, usia mereka memang layak menjadi paman Kirana. Dan kini Oman yang sedang menjadi bahan pembicaraan nampak tertawa sambil mengacungkan jempolnya pertanda dia sangat bangga pada kemampuan Kirana.
Tak hanya berhenti di situ, Kirana juga kembali mengakui kesalahan yang dibuatnya. Kemiringan atap rumah yang dia buat terlalu tajam dan tidak cocok diterapkan di negara tropis seperti Indonesia.
Lagi-lagi pengakuan Kirana itu membuat kelas heboh.
"Wah, ga asyik nih. Masa Lo tau semua kekurangan gambar Lo. Terus gimana kita mau dapet point kalo ga bisa nanya apa-apa," protes salah seorang rekan Kirana.
Kirana hanya tersenyum mendengar pertanyaan rekannya itu.
Akhirnya Edwin menghentikann sesi tanya jawab mengingat waktu yang digunakan Kirana untuk mempresentasikan karyanya jauh lebih banyak dibanding mahasiswa lain.
Tapi saat Kirana dipersilakan kembali ke tempat duduknya, rekan-rekannya justru protes dan memintanya tetap berada di depan kelas untuk melanjutkan presentasi.
"Jangan disuruh duduk dulu Pak. Biar Kirana ngelanjutin lagi," pinta para mahasiswa.
"Ga bisa, saya harus adil. Satu orang mendapat kesempatan sepuluh menit tapi Kirana sudah hampir setengah jam. Ga enak sama yang lain yang belum maju mempresentasikan karyanya," sahut Edwin.
"Oh gapapa Pak. Kami bisa nunggu kok. Kalo waktunya ga cukup, kami juga mau kalo disuruh nyusul Minggu depan. Soalnya kalo Kirana yang maju dan jelasin lebih seru Pak!" kata salah seorang mahasiswa dengan lantang.
"Betul Pak!" sahut yang lain.
Edwin menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dalam hati dia juga membenarkan kalimat itu. Tapi dia harus adil dan tetap meminta Kirana duduk setelah memberinya nilai.
"Bagus Kirana. Cara kamu menjelaskan dan menyelesaikan masalah sangat baik. Santai, ga tegang, tapi pesannya sampe," puji Edwin.
"Makasih Pak," kata Kirana dengan wajah berbinar.
"Sama-sama ...," sahut Edwin sambil tersenyum.
Kirana pun kembali ke tempat duduknya dengan puas. Edwin tak bisa menahan tawa saat melihat gadis itu menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya. Apalagi Kirana bertingkah bak pahlawan yang menang di Medan perang.
"Ga nyangka dia bisa dapet perhatian sebesar ini. Selama ngajar, baru kali ini aku liat mahasiswi teknik disupport segini hebohnya sama semua temen sekelasnya. Biasanya kan cewek kaya dia ditaro di urutan belakang dan selalu dianggep ga bisa dan ga ngerti apa-apa. Ternyata bukan cuma aku yang nganggep dia istimewa," batin Edwin sambil tersenyum tipis.
Sejak saat itu Edwin dan Kirana mulai sering berkomunikasi walau hanya membahas seputar mata kuliah. Rasa kagum yang Edwin miliki perlahan berkembang menjadi rasa cinta dan dia tak lagi kuasa menampik rasa itu. Meski begitu Edwin mampu menyembunyikan perasaannya dengan apik hingga Kirana tak menyadari atau justru pura-pura tak tahu.
Tanpa Edwin sadari, diantara teman sekelas Kirana ada yang mengamati gerak-geriknya dengan cermat. Pria bernama Musri itu tahu Edwin menyukai Kirana dan berniat membantunya.
"Na, Lo kan jomblo nih. Mau ga kalo gue jodohin sama temen gue?" tanya Musri suatu sore.
"Apaan sih Pak. Bercandanya ga lucu tau," sahut Kirana sambil melengos.
"Gue serius Na. Ada yang naksir sama Lo tapi malu kayanya. Lo juga kenal kok sama dia," bisik Musri.
"Masa sih. Emang siapa Pak?" tanya Kirana.
"Pak Edwin, si asdos itu lho," sahut Musri.
Tentu saja jawaban Musri mengejutkan Kirana. Dia tak percaya asisten dosen yang pendiam itu tertarik padanya.
"Ga usah ngibul deh Pak. Mana mungkin sih pak Edwin suka sama saya. Dia kan ... " ucapan Kirana terputus karena Edwin yang berdiri di belakangnya tiba-tiba memotong ucapannya.
"Emang saya kenapa?. Saya juga laki-laki normal Kirana. Wajar kan kalo saya tertarik sama lawan jenis khususnya kamu," kata Edwin.
Kirana pun terkejut lalu segera menoleh ke belakang. Dia melihat Edwin berdiri tegak dengan tatapan yang teduh. Untuk sesaat Kirana nampak tertegun bingung.
Musri mengulum senyum menyaksikan kedua insan muda di hadapannya berdiri gugup dan salah tingkah.
"Ehm, kalo gitu gue tinggal dulu ya Na. Silakan Pak Edwin ...," kata Musri sambil menjauh dari Edwin dan Kirana.
Kirana yang panik berusaha mengejar Musri tapi gagal karena Edwin lebih dulu menggenggam tangannya.
"Makasih Pak Musri!" kata Edwin lantang.
Musri pun menjauh sambil melambaikan tangan sedang Kirana terlihat bingung.
"Tolong lepasin tangan saya Pak," pinta Kirana lirih.
"Ga akan," sahut Edwin cepat.
"Ayo lah, jangan begini dong. Ga enak kan diliat orang nanti," kata Kirana sambil berusaha menarik tangannya.
"Ga enak?. Emangnya kita ngapain, kita kan cuma ngobrol Kirana," sahut Edwin sambil menatap Kirana dengan lembut.
"Kalo mau ngobrol ga usah pegang tangan kan bisa. Udah buruan lepasin deh," pinta Kirana gusar.
Bukannya menuruti permintaan Kirana, Edwin justru tersenyum dan itu membuat Kirana kesal.
"Kok malah senyum-senyum sih. Lepasin atau ... " lagi-lagi ucapan Kirana terputus karena Edwin memotong cepat.
"Saya suka sama kamu Kirana. Oh bukan, mungkin ini lebih dari suka. Saya cinta sama kamu dan ingin kamu jadi pasangan saya selamanya," kata Edwin tiba-tiba.
Kirana yang semula meronta itu pun terdiam mendengar pengakuan Edwin. Gadis manis itu kemudian mengamati wajah pria di hadapannya beberapa saat seolah ingin memastikan apa yang didengarnya tadi bukan ilusi.
"Kayanya ada yang salah nih, salah alamat tepatnya. Sadar Pak, saya Kirana bukan Miranda," kata Kirana sambil menghentak tangannya dengan keras hingga genggaman Edwin pun terlepas.
"Saya sadar kok. Lagian kenapa kamu nyebut Miranda sih Na?" tanya Edwin tak mengerti.
"Ck, Pak Edwin nih pura-pura ga tau atau lagi ngetes saya?. Semua orang di kampus nyebut Miranda sama pak Edwin tuh pasangan serasi. Ngapain sekarang mendadak Pak Edwin nembak saya?. Gimana perasaan Miranda kalo tau apa yang Pak Edwin lakukan?!" tanya Kirana gusar.
"Apa urusannya perasaan Miranda sama saya?. Kan saya sama dia ga punya hubungan apa-apa," kata Edwin.
"Tapi semua orang taunya pak Edwin sama Miranda ... " Kirana sengaja menggantung ucapannya karena bingung.
"Orang emang bilang saya pasangannya Miranda, tapi saya ga merasa begitu kok. Saya single, ga punya pacar atau istri. Sekarang aja saya lagi berjuang buat dapetin pasangan. Saya aja belum tau cewek di depan saya ini mau nerima atau ga," kata Edwin sambil menatap Kirana lekat.
Wajah Kirana sontak merona mendengar ucapan sang dosen. Tentu saja Edwin makin gemas dibuatnya.
"Gimana, saya diterima ga Na?" tanya Edwin kemudian.
"Bapak serius atau main-main nih?" tanya Kirana.
"Serius lah. Hal penting begini ga bisa dibuat main-main. Saya bukan orang yang gampang jatuh cinta, buktinya udah hampir lima tahun ngajar di kampus yang katanya banyak cewek cantik, tapi saya tetep aja jomblo. Bukan karena sombong atau pemilih, tapi emang belum ketemu yang cocok aja. Nah, pas ketemu sama kamu, saya merasa cocok, banyak hal di diri kamu yang bikin saya berharap banyak. Saya yakin bersama kamu pasti segalanya akan lebih baik. Mungkin ini yang disebut cinta dan saya ingin menyempurnakan anugrah ini ke jenjang yang lebih serius Na. Makanya saya sampein niat saya sama kamu daripada keduluan sama yang lain," kata Edwin sungguh-sungguh.
"Jenjang yang lebih serius tuh maksudnya apa Pak?" tanya Kirana.
"Menikah Kirana. Saya mau nikah sama kamu," sahut Edwin.
"A-apa?. Tapi saya belum mau nikah Pak. Saya masih mau lanjut kuliah, kerja, punya uang, puasin jalan-jalan, baru mikir nikah," kata Kirana gusar.
Edwin pun tertawa mendengar ucapan Kirana.
"Kalo kamu masih belum mau nikah dalam waktu dekat, saya ngerti dan bisa nunggu kok. Yang penting kamu janji sama saya, bahwa yang bakal jadi imam kamu di masa depan adalah saya. Gimana Kirana, kamu setuju kan?" tanya Edwin penuh harap.
"I-ini mendadak banget. Bisa ga Bapak kasih saya waktu untuk mikir sebentar?" tanya Kirana.
"Apa lagi yang bikin kamu ragu Kirana. Apa sikap saya sama kamu selama ini belum jelas?" tanya Edwin sambil meraih telapak tangan Kirana lalu menggenggamnya erat.
Kirana menatap Edwin sejenak lalu tersenyum. Perasaan ragu yang sempat menyelimuti hatinya pun sirna.
"Ok, saya bersedia jadi pasangan Pak Edwin," kata Kirana kemudian.
"Dan siap kalo saya ajak menikah?" tanya Edwin dengan antusias.
"Mungkin iya mungkin ga. Sekarang kita jalanin dulu hubungan ini sejujur dan senormal mungkin. Kalo kita berjodoh, toh kita bakal menikah juga nanti," sahut Kirana diplomatis.
Edwin pun tersenyum lebar mendengar jawaban Kirana. Dia bahagia karena Kirana menerima cintanya. Dalam hati dia berjanji akan membuktikan dirinya adalah yang terbaik untuk Kirana kelak.
=====
Hari-hari sejak Edwin dan Kirana mengikrarkan diri sebagai sepasang kekasih pun berjalan manis. Tak ada hal besar yang membuat keduanya ribut. Edwin yang dewasa dan Kirana yang ga neko-neko membuat keduanya hampir tak pernah terlibat pertengkaran serius.
Meski telah menjadi sepasang kekasih, keduanya memilih menutup rapat kisah mereka dari semua orang. Hanya Musri yang tahu bagaimana status mereka sesungguhnya.
Dan tepat ketika Kirana diwisuda dan dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan, dia mendapat hadiah kejutan dari Edwin.
Setelah wisuda, orangtua Kirana langsung membawa Kirana ke rumah makan untuk merayakan keberhasilannya. Ternyata di sana ada Edwin, kedua orangtuanya dan kedua keluarga yang telah menunggu. Menyaksikan kedua keluarga berkumpul membuat Kirana terharu dan menitikkan air mata.
Apalagi saat Edwin mendekatinya sambil tersenyum dengan menyerahkan sebuah hadiah kecil.
"Ini apa Mas?" tanya Kirana penasaran.
"Daripada penasaran mending dibuka aja Na," kata semua orang.
Kirana mengangguk lalu bergegas membuka hadiah pemberian sang kekasih. Betapa terkejutnya Kirana saat mengetahui kotak kecil itu berisi cincin dan sebuah surat.
Dengan tangan gemetar Kirana membuka surat lalu membacanya perlahan. Setelahnya dia mendongakkan wajahnya agar bisa menatap Edwin.
"Mas ...," panggil Kirana lirih.
"Ini bukti keseriusan aku sama kamu Na. Selama ini aku udah tepatin janjiku untuk sabar nunggu kamu selesai kuliah, biarin kamu kerja dan jalan-jalan kemana pun tanpa aku. Jadi sekarang, giliran kamu yang nepati janji kamu. Aku harap kita segera menikah dan jadi pasangan halal selamanya. Apa kamu siap Na?" tanya Edwin penuh harap.
"Iya Mas, aku siap!" sahut Kirana cepat.
Tentu saja jawaban Kirana membuat semua orang tertawa. Kirana yang menyadari aksinya pun tersipu malu. Tapi Edwin segera memeluknya seolah ingin melindungi sang kekasih dari rasa tak nyaman.
"Makasih Mas," bisik Kirana.
"Sama-sama Sayang," sahut Edwin sambil tersenyum tulus.
Kirana pun ikut tersenyum sambil membenamkan diri di dalam pelukan sang kekasih. Jauh di lubuk hatinya Kirana percaya hidupnya bersama Edwin akan baik-baik saja dan dia siap menghabiskan sisa usianya bersama pria itu.
"Udahan dulu pelukannya. Sekarang makan dulu yuk, lapar nih!" kata mama Kirana.
Ucapan mama Kirana disambut tawa semua orang. Edwin dan Kirana pun segera mengurai pelukan lalu duduk berdampingan di kursi yang telah disediakan.
Bagi Edwin, makan bersama keluarga sore itu terasa lebih hangat karena ada janji dan harapan yang sedang dirajut bersama. Bayangan pesta pernikahan yang sakral dan elegan pun melintas di kepalanya dan itu membuatnya tersenyum.
=== TAMAT ===