Langit sore itu memutih keabu-abuan, seperti menahan tangis yang tak jadi jatuh. Reza berdiri di depan sebuah bangunan tua bertingkat dua, yang catnya mengelupas dan kusennya tampak dimakan usia. Inilah kosan yang katanya paling murah dekat kampus. Namanya “Kosan Bu Mirna.” Tapi yang membuat bulu kuduk berdiri bukan namanya, melainkan suasananya—sepi, dingin, dan… terlalu sunyi bahkan untuk sebuah sore hari.
“Lo yakin, Za? Tempat ini... agak serem,” gumam Fahri, temannya, sambil memandang ke arah jendela lantai dua yang tampak seperti ada bayangan melintas.
“Yakin. Gua enggak bisa bayar kos yang lima ratus ribu ke atas. Di sini cuma tiga ratus. Dekat kampus, kamar pribadi, udah cukup.” Reza mencoba terdengar santai, meskipun jantungnya juga berdegup lebih cepat dari biasanya.
Pintu kayu besar itu berderit saat mereka dorong masuk. Bau lembap langsung menyergap. Di dalam, lorong panjang terbentang, dengan cahaya remang dari lampu neon yang seakan nyaris padam. Beberapa pintu kamar tertutup rapat. Tidak terdengar suara apa pun, seolah kosan itu tidak berpenghuni.
Tiba-tiba, muncul seorang wanita tua. Kulit wajahnya keriput, matanya cekung, dan rambutnya disanggul seadanya. Ia muncul begitu saja di ujung lorong.
“Kamar nomor tujuh. Pojok kanan atas. Jangan dibuka lemari yang di pojok. Sudah tua, bisa roboh,” katanya datar, lalu berbalik tanpa senyum sedikit pun.
“Bu Mirna, ya?” tanya Fahri.
“Sudah. Naik saja.”
Reza dan Fahri saling pandang sebelum akhirnya menaiki tangga kayu yang mengerang di setiap injakan. Lantai dua lebih dingin. Entah karena angin dari celah ventilasi, atau karena sesuatu yang tak terlihat. Kamar nomor tujuh ada di paling pojok kanan, seperti yang dikatakan Bu Mirna.
Kunci kamar tua itu berderit saat diputar. Saat pintu dibuka, aroma kayu lapuk dan kapur barus menyambut. Di dalam, terdapat satu ranjang besi dengan kasur tipis, meja kayu reot, dan lemari besar berwarna coklat tua yang mencolok berdiri di pojok ruangan. Lemari itu terlihat jauh lebih tua dari perabot lainnya. Ukirannya berdebu dan satu pintunya sedikit miring.
“Gila… ini mah lebih cocok disebut museum daripada kos-kosan,” gumam Fahri sambil menepuk-nepuk ranjang.
Reza tertawa kecil. “Enggak apa. Yang penting bisa tidur.”
Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Bagian belakang lemari tampak janggal. Dinding di sana tidak rata seperti bagian lainnya. Seolah... ada sesuatu di baliknya. Sebuah garis tipis terlihat memanjang vertikal, seperti celah pintu yang tersembunyi.
“Fah, lo lihat itu gak?” Reza menunjuk ke dinding.
Fahri mendekat, menyipitkan mata. “Kayak... ada sambungan pintu?”
Reza menarik lemari sedikit. Berat. Tapi cukup untuk membuat celah terbuka. Benar saja, di balik lemari itu ada sebuah pintu kecil, tingginya hanya sekitar satu meter, tanpa gagang, hanya lubang kunci berkarat.
“Serius lo, Za… jangan main-main sama yang begituan. Ini udah kayak plot film horor.” Fahri melangkah mundur.
“Tapi penasaran, bro. Mungkin ruang penyimpanan? Atau cuma pintu palsu?”
“Bu Mirna bilang jangan buka lemarinya. Bukan karena takut roboh, tapi mungkin karena dia tahu ini ada di baliknya.”
Reza menyentuh pintu kecil itu, mencoba membukanya, tapi terkunci. Kayunya tua dan rapuh, namun engselnya masih tampak kokoh. Ia menghela napas, lalu menutup kembali lemari itu.
“Ya sudahlah. Nanti aja kalau iseng,” katanya.
Fahri hanya menggeleng. “Kalau gua sih, mending pindah kos. Tapi lo yang bayar, lo yang tinggal. Gua pulang dulu, besok kuliah pagi.”
Setelah Fahri pergi, Reza duduk sendirian di ranjang. Sunyi. Jam di dinding menunjukkan pukul 17.43, tapi suasana seperti tengah malam. Ia mencoba menyalakan lampu meja, tapi tidak menyala. Akhirnya, ia mengambil powerbank dan menyalakan senter HP. Ia menatap lemari itu lagi, lebih lama kali ini.
“Apa sih, sebenarnya…?” gumamnya.
Malam mulai turun. Suara jangkrik samar terdengar dari luar jendela. Reza mencoba tidur lebih awal. Tapi sekitar pukul dua dini hari, ia terbangun oleh suara.
Ketuk... ketuk... ketuk...
Suara itu sangat pelan. Tapi cukup jelas. Dan berasal dari arah… lemari.
Ia duduk perlahan, menahan napas. Matanya menatap ke arah lemari tua. Tidak ada apa-apa. Tapi suara itu muncul lagi.
Ketuk... ketuk... ketuk...
Reza menyalakan senter dari HP-nya dan mengarahkan ke lemari. Tak ada gerakan. Tak ada yang aneh.
Tapi kemudian, sesuatu membuat darahnya membeku.
Lemari itu—pelan-pelan—bergerak sendiri, bergeser beberapa sentimeter, cukup untuk membuka sedikit celah ke arah dinding.
Dan dari celah itu…
sepasang mata menatap langsung ke arahnya.
Reza membeku.
Sinar dari ponselnya menyorot tepat ke celah di balik lemari, dan ia yakin… yakin sekali… sepasang mata mengintip dari sana. Mata itu tak berkedip, putihnya kekuningan, pupilnya kecil dan hitam pekat seperti lubang yang menelan cahaya.
Tubuh Reza menegang. Ia tak berani bergerak, apalagi bersuara. Hanya bisa menatap balik dengan jantung menghentak seperti drum perang.
Namun dalam sekejap... mata itu menghilang.
Lemari bergeser perlahan kembali ke tempat semula, sendirinya. Tak ada suara gesekan, seolah lantai dan kayu saling memahami bagaimana harus bergerak diam-diam.
Reza langsung melompat dari tempat tidur, menyalakan seluruh lampu kamar yang bisa ia jangkau. Lampu utama menyala samar, tapi cukup untuk membanjiri ruangan dengan cahaya kuning pucat. Ia menatap lemari itu lagi, napasnya tersengal.
“Gue... ngelindur?” bisiknya pada diri sendiri.
Tapi rasanya terlalu nyata. Terlalu dekat. Terlalu hidup.
Ia berjalan perlahan ke arah lemari. Setiap langkah terasa seperti ditarik dari dalam lumpur. Saat jarak tinggal dua langkah, ia meraih pegangan lemari dan menarik salah satu pintunya terbuka.
Pakaian tua milik penghuni sebelumnya tergantung rapi. Ada kemeja, selimut usang, bahkan sepasang sepatu kulit tua. Tapi tidak ada yang aneh.
Ia mendorong lemari ke samping. Berat sekali. Harus dengan segenap tenaga. Tapi akhirnya, celah pintu kecil di balik lemari itu terlihat lagi.
Reza menempelkan telinganya ke daun pintu kayu kecil itu. Hening.
Namun saat ia hendak menjauh…
Ketuk.
Sekali. Pelan. Dari balik pintu.
Reza mundur seketika, jantungnya seolah jatuh ke perut.
Ia tidak berteriak. Ia tidak lari. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu itu dan berkata pelan, “Siapa…?”
Tak ada jawaban.
Ia memutuskan satu hal—besok pagi, ia akan keluar dari kos ini. Tidak peduli semurah apa, tidak peduli seberapa dekat ke kampus, nyawanya tidak sebanding dengan tiga ratus ribu rupiah per bulan.
Dengan tangan gemetar, ia menutup pintu lemari dan menyeretnya kembali menutupi celah itu. Lalu ia mengambil jaket, menyalakan lampu, dan duduk bersandar di pojok kamar sambil menatap ke arah lemari tanpa berkedip, hingga matahari menyelinap dari celah jendela.
Pagi harinya, Reza mendatangi Bu Mirna. Wajah ibu kos itu seperti tak tidur semalaman. Matanya bengkak, dan ada lingkaran gelap di bawahnya. Tapi yang paling aneh adalah, ia sama sekali tidak terkejut saat Reza berkata:
“Bu, saya lihat sesuatu tadi malam… dari balik lemari…”
Bu Mirna hanya menatapnya dalam-dalam.
“Jangan buka lagi lemari itu,” katanya dingin. “Kalau kamu buka… kamu akan membuatnya tahu.”
“Membuat siapa tahu?”
“Dia... yang tinggal di lorong.”
Reza mengerutkan dahi. “Lorong? Maksud ibu... di balik dinding itu?”
Bu Mirna menunduk. “Sudah banyak yang melihatnya. Ada yang sempat kabur. Ada yang tidak. Tapi tidak pernah ada yang berhasil benar-benar pergi.”
Reza mundur satu langkah. “Bu, saya mau pindah. Hari ini juga. Saya bayar bulan ini penuh, tapi saya enggak bisa tinggal di sini.”
Tapi saat Reza berbalik hendak pergi, Bu Mirna berkata pelan.
“Sudah terlambat, Reza. Dia sudah lihat kamu.”
Reza meninggalkan kosan hari itu juga. Ia menginap di rumah Fahri untuk sementara. Malam pertama di rumah Fahri terasa aman. Tapi saat ia hendak tidur…
Ketuk... ketuk... ketuk...
Ia membuka mata. Suara itu… datang dari lemari pakaian kamar Fahri.
Ia menatap tajam ke sana. Tidak mungkin. Ini bukan lemari yang sama. Ini bukan kamar itu. Tapi suara ketukan itu... persis sama.
Fahri yang tidur di lantai hanya berguling dan bergumam, tidak sadar. Reza memaksa diri tidur, meyakinkan diri bahwa ini hanya sugesti.
Tapi malam berikutnya… suara itu kembali. Bukan dari lemari. Tapi dari bawah tempat tidur.
Dan malam berikutnya lagi... dari dalam kamar mandi.
Dia sadar.
Sesuatu telah mengikutinya.
Reza akhirnya kembali ke kos itu. Tepat satu minggu setelah ia pergi. Tapi kali ini, ia membawa satu tekad: ia harus membuka pintu itu. Menyelesaikan semuanya.
Ia membawa senter, kamera kecil, dan linggis. Ia tidak bilang pada siapa pun, bahkan Fahri. Dalam hati, ia tahu ini bisa saja jadi akhir segalanya.
Saat malam tiba dan kos mulai sepi, ia masuk ke kamar lamanya yang kosong. Lemari itu masih di sana, berdiri menantang seperti penjaga gerbang neraka.
Ia dorong dengan seluruh tenaga, dan akhirnya celah itu terbuka.
Pintu kecil kayu di baliknya menunggu.
Ia memasukkan linggis ke sela-sela, dan dengan satu hentakan… pintu itu terbuka.
Bau busuk langsung menyergap. Bukan hanya bau tanah, tapi bau daging membusuk. Bau darah kering dan air besi.
Reza menyalakan senter dan menyorot ke dalam.
Di balik pintu itu, terbentang lorong sempit—tinggi tak sampai dua meter, dindingnya dari batu basah, dan ujungnya tak terlihat.
Dan di sana, di tengah lorong...
Seseorang berdiri.
Tapi bukan orang biasa.
Tubuhnya kurus panjang. Tangannya menyentuh lantai, kakinya menekuk aneh ke belakang. Kepalanya… seperti terbalik. Dan matanya—ya, matanya—adalah mata yang sama yang mengintip dari balik lemari malam itu.
Makhluk itu membuka mulut, dan dari dalamnya keluar suara seperti ribuan suara manusia yang digabungkan.
“Kau sudah membuka jalannya, Reza...”
Makhluk itu berdiri di tengah lorong sempit, diam namun mengintimidasi. Tubuhnya seperti bukan milik manusia—sendi-sendi menekuk ke arah yang salah, dan kulitnya pucat berurat ungu. Kepalanya terbalik, mulutnya menganga lebar hingga rahangnya menyentuh dada. Dan dari dalam mulutnya, terdengar suara-suara… banyak suara.
“Reza…”
“Rezaaaa…”
“Buka pintunya…”
Suara-suara itu seperti suara anak-anak, wanita tua, pria dewasa—semua tumpang tindih, seperti disuarakan dari dalam gua yang sangat dalam.
Reza ingin berlari. Tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Kakinya berat, seolah telapak kakinya tertanam dalam lantai lorong yang basah. Cahaya dari senter bergetar karena tangannya gemetar hebat.
Makhluk itu mulai bergerak… merangkak ke arahnya dengan gerakan tak wajar. Tangannya yang panjang menyentuh dinding kiri dan kanan, cakarnya menyeret tubuhnya sendiri maju dengan bunyi gesekan basah.
Reza menjerit dan akhirnya bisa memutar badan. Ia lari secepat yang ia bisa, menyusuri lorong yang semakin dalam. Tapi lorong itu... tidak pernah berujung.
Ia menoleh ke belakang—makhluk itu masih mengejarnya, namun gerakannya melambat. Seolah tahu Reza akan tetap berada di lorong ini.
Ia menyorot senter ke dinding. Tak ada tanda-tanda jalan keluar. Dinding batu lembap memantulkan uap dingin dan aroma amis. Di satu sisi lorong, Reza melihat sesuatu: lukisan di dinding—bukan, lebih tepatnya... coretan.
Coretan wajah manusia. Banyak. Ratusan. Dan semuanya menangis.
Reza memandangi mereka dengan jantung berdegup keras. Setiap wajah tampak seperti digores dengan kuku. Dan satu wajah, di ujung kanan, mirip dirinya.
Wajah itu masih samar. Tapi memiliki hidung mancung, dagu yang khas, dan mata tajam… seperti dirinya. Di bawah wajah itu tertulis:
“Yang Terakhir.”
Reza mundur perlahan. Tangannya menempel di dinding tanpa sadar, dan ia menyentuh sesuatu yang lembut… hangat.
Saat ia menoleh, sebuah tangan mencuat dari dinding dan menggenggam tangannya.
“AAAAARGHHH!”
Ia meronta, tapi tangan itu kuat. Lalu dari dinding yang sama, muncul wajah—wajah seperti lilin yang mencair, matanya menatap penuh keputusasaan.
“Kembalikan jalannya… atau kau yang tinggal…”
Reza menarik tangannya dan berlari kembali, sampai akhirnya lorong itu bercabang.
Kiri… atau kanan?
Ia memilih kanan, tanpa berpikir. Semakin ia berjalan, lorong itu berubah bentuk. Lantai tak lagi basah, tapi mulai mengeras seperti beton. Bau berubah, dari bau darah menjadi seperti karbol… seperti... rumah sakit.
Lampu neon mulai bermunculan di langit-langit. Cahaya putih redup. Dan di ujung lorong, ada pintu logam dengan tanda palang merah. Di atasnya tertulis:
"Ruang Observasi 9-A"
Reza mendekat, mendorong pintu itu.
Ruangan itu terang. Sangat terang. Dan di tengah-tengahnya... ada sebuah ranjang rumah sakit. Di atasnya terbaring seseorang dengan wajah ditutupi masker oksigen. Alat-alat monitor berdetak, dan garis denyut jantung bergerak pelan.
Reza melangkah maju. Wajah pasien itu samar karena masker.
Tapi saat Reza mendekat, monitor jantung mulai berbunyi tiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt...
Pasien itu membuka mata.
Reza menjerit—karena wajah yang ia lihat di ranjang itu… adalah dirinya sendiri.
Suara tawa menggema dari segala arah. Makhluk dari lorong sebelumnya kini muncul di pojok ruangan, berdiri tegak, tubuhnya memanjang hingga menyentuh langit-langit.
“Inilah rumah barumu, Reza.”
“Kau sudah membuka jalannya, dan kau yang akan menutupnya.”
Reza menatap tubuhnya sendiri yang terbaring di ranjang. Kini tubuh itu mulai berubah—matanya mencair, mulutnya merobek ke samping, dan kulitnya terkelupas seperti kertas yang dibakar.
Reza berlari ke luar ruangan. Ia mencoba kembali ke lorong semula. Tapi lorong itu... telah berubah.
Kini tak ada dinding. Tak ada langit-langit. Hanya kegelapan total.
Reza berjalan menyusuri kegelapan itu. Satu-satunya cahaya berasal dari senter yang kini mulai redup. Di kejauhan, ia melihat sesuatu… cahaya dari celah pintu.
Ia berlari ke arah itu.
Itu pintu kamarnya.
Ia mendorongnya, dan berhasil masuk. Ia kembali ke kamar nomor tujuh.
Ia tertunduk di lantai, menangis, napasnya terputus-putus. “Gue berhasil… gue keluar…”
Tapi saat ia menoleh ke cermin yang tergantung di dinding, tubuhnya membeku.
Wajah di cermin… bukan wajahnya.
Wajah itu adalah wajah makhluk dari lorong. Namun tubuh di dalam cermin tetap mengenakan jaket dan celana yang ia pakai.
Makhluk itu tersenyum.
Dan berkata dengan suaranya:
“Sekarang giliranmu di dalam.”
Reza berteriak dan mencoba memecahkan cermin, tapi tangannya menembus kaca… dan tertarik masuk.
Cermin itu kembali utuh.
Kamar kosong. Sunyi. Lemari di pojok berdiri diam.
Dan dari balik pintu kecil di belakangnya...
Ketuk... ketuk... ketuk...
Kamar nomor tujuh kembali sunyi. Matahari pagi menyelinap melalui jendela, menciptakan bayangan panjang di lantai berdebu. Dari luar, tidak ada yang aneh. Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang baru saja… ditelan oleh lorong tak berujung di balik lemari.
Pagi itu, Bu Mirna berdiri di depan kamar nomor tujuh sambil membawa kunci. Ia menghela napas panjang, seperti sudah tahu bahwa kamar itu akan kosong lagi. Sudah terlalu sering.
Namun saat kuncinya diputar… suara dari dalam terdengar.
Ketukan. Tiga kali.
Ketuk... ketuk... ketuk...
Dan saat pintu terbuka, Reza ada di sana. Berdiri tegak. Wajahnya tenang. Terlalu tenang.
“Selamat pagi, Bu,” katanya datar.
Bu Mirna hanya memandangi pemuda itu. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Kau… kembali?” tanyanya ragu.
Reza mengangguk. “Saya hanya... terlalu banyak berpikir. Lorong itu hanya halusinasi. Kamar ini baik-baik saja.”
Bu Mirna mendekat, menatap wajah Reza dalam-dalam.
Wajah itu... terlalu sempurna.
Kulitnya pucat tanpa cela. Tak ada kantung mata meski katanya tak tidur. Tak ada emosi saat bicara. Tapi yang paling mengganggu… matanya. Pupilnya terlalu besar, hampir menutupi seluruh bola mata. Seolah meniru manusia, tapi tidak cukup berhasil.
“Kau bukan Reza,” bisik Bu Mirna akhirnya.
Reza hanya tersenyum, atau lebih tepatnya... menarik bibirnya seperti menirukan ekspresi.
“Aku Reza... sekarang,” jawabnya.
Malam berikutnya, Fahri datang ke kosan. Ia bingung karena pesan dari Reza tidak seperti biasanya. Kalimatnya pendek, tanpa emotikon, tanpa gaya bicara khas Reza.
“Aku sudah kembali. Datang saja ke kamar.”
Saat Fahri tiba, suasana kos lebih hening dari biasanya. Ia naik ke lantai dua dan mengetuk kamar Reza.
Tok tok tok.
Pintu terbuka pelan. Reza berdiri di sana.
“Bro… lo kenapa aja kemarin? Gue pikir lo hilang, lo gak bales pesan, tiba-tiba ngilang...”
“Aku cuma pergi sebentar,” jawab Reza pelan.
Fahri melangkah masuk. Kamar itu terlihat sama seperti sebelumnya, tapi ada sesuatu yang… tidak pas. Lemari di pojok ruangan tampak bersih. Terlalu bersih. Seolah baru dibersihkan, bahkan diberi lilin. Dan… tidak ada debu sama sekali.
Reza duduk di ranjang dan menatap Fahri lekat-lekat.
“Aku mau tunjukkan sesuatu, Fah,” katanya pelan.
“Apa?” tanya Fahri, masih berdiri.
“Lorong itu… aku masuk ke sana. Aku melihat hal-hal yang enggak bisa dijelaskan. Tapi sekarang aku paham. Mereka cuma mau dikenali. Mereka hanya butuh... jalan.”
Fahri mengernyit. “Lo ngomong apa sih?”
Reza berdiri, lalu menarik lemari ke samping. Dengan gerakan lancar, seolah sudah sering dilakukan. Pintu kecil di baliknya kini terbuka sedikit. Dari dalamnya keluar bau lembap yang khas.
“Lo mau lihat?”
Fahri mundur. “Za, tutup itu. Serius. Gua enggak main-main.”
Tapi Reza hanya berdiri di sana. Diam. Menatapnya.
“Lihat, Fahri. Lihat... dan gantiin aku.”
Seketika, lemari itu terlempar ke arah Fahri, seolah didorong oleh kekuatan tak terlihat. Pintu kecil itu menganga lebar, dan dari dalamnya...
tangan-tangan kurus keluar meraih Fahri.
“AAAAARGHH!! REZA!! REZA!!!”
Tapi Reza hanya menatap. Tanpa bergerak. Matanya kosong.
Fahri menjerit, tubuhnya diseret ke dalam lorong sempit, kukunya mencakar lantai kayu, meninggalkan jejak darah… dan dalam sekejap, pintu itu menutup sendiri.
Sunyi.
Reza menarik napas. Ia mendekat ke cermin di dinding, menatap wajahnya sendiri.
Cermin itu tidak memantulkan dirinya.
Melainkan sosok Fahri, yang kini menatap balik dari dalam kaca… dengan wajah ketakutan.
Tiga hari kemudian, kamar nomor tujuh diiklankan kembali.
“DISEWAKAN: Kamar dekat kampus. Murah. Aman. Cocok untuk mahasiswa.”
Mahasiswa baru bernama Yuda datang ke sana. Bu Mirna menyambutnya dengan senyum datar.
“Kamarnya di pojok. Nomor tujuh. Tapi... jangan buka lemari. Sudah tua,” katanya seperti biasa.
Yuda hanya tertawa. “Siap, Bu.”
Ia tidak tahu… bahwa malam itu, di balik lemari...
Ketuk... ketuk... ketuk...
Seseorang sedang menunggu.
Atau sesuatu.
Cermin di kamar nomor tujuh kembali menampakkan sesuatu.
Bukan wajah Reza.
Bukan wajah Fahri.
Tapi wajah seseorang yang asing—perempuan muda dengan kulit abu-abu pucat, rambut panjang basah menjuntai ke lantai, dan mata gelap tanpa bola putih.
Ia berdiri di balik cermin. Diam. Menatap siapa pun yang berani mendekat.
Namun di dunia nyata, Yuda—mahasiswa baru yang baru sehari menempati kamar itu—belum melihat apa pun. Ia baru saja merapikan pakaian dan mencoba membaringkan diri setelah hari pertama orientasi yang melelahkan.
Ia bahkan belum sadar... bahwa lemari di pojok kamar bergeser sedikit sendiri saat ia keluar untuk mandi.
Di tempat lain, Fahri masih hidup.
Tapi bukan di dunia ini.
Ia berada dalam sebuah ruang sempit tanpa jendela. Tak ada cahaya kecuali dari dinding-dinding yang mengeluarkan kilau samar merah darah. Di sekitarnya, suara-suara manusia bergema—suara orang menangis, tertawa, berbisik, dan menjerit—semuanya terdengar dari arah yang tak jelas.
Ia mencoba mencari jalan keluar. Namun ke mana pun ia melangkah, lorong yang ia lalui selalu berubah bentuk. Kadang ia berada di koridor rumah sakit dengan lampu berkedip, kadang di kelas sekolah dasar dengan bangku kosong dan papan tulis berlumur darah, dan kadang… di dalam lemari.
Ya—Fahri pernah membuka pintu dan mendapati dirinya berada dalam lemari, mengintip ke kamar Reza, hanya terpisah cermin dari balik dinding.
Ia menjerit minta tolong. Tapi suara tak keluar. Ia hanya bisa melihat, bukan didengar.
Itulah hukuman bagi mereka yang diseret masuk: menjadi penunggu, bukan pelaku.
Sementara itu, Reza—atau makhluk yang mengenakan wajah Reza—berdiri di depan cermin di kamar kosong lain. Kosan Bu Mirna memiliki sepuluh kamar. Dan satu per satu, kamar-kamar itu mulai diisi oleh mereka yang telah “melihat terlalu dalam.”
Cermin di depannya mulai bergetar. Permukaannya tidak lagi keras, tapi seperti air yang mengalir lambat. Sosok dalam cermin membentuk wujud… perempuan yang pernah tinggal di kamar nomor tujuh belasan tahun lalu.
Dia adalah Ratih.
Bu Mirna tahu siapa dia.
Ratih adalah mahasiswi tingkat akhir yang menghilang secara misterius. Ia penghuni pertama kamar nomor tujuh sejak kos itu dibuka. Saat itu, tidak ada lorong. Tidak ada keanehan. Hanya Ratih, seorang gadis cerdas dan pendiam.
Sampai suatu malam, ia ditemukan bercermin sambil berbicara sendiri.
Hari-hari berikutnya, ia mulai menulis simbol-simbol aneh di dinding. Katanya, "mereka butuh jalan keluar." Tak ada yang mengerti maksudnya. Hingga akhirnya, Ratih menghilang. Lemari di kamar ditemukan tergeser, dan ada lubang di balik dinding.
Setelah itu... lorong itu terbentuk.
Dan sejak saat itulah, kamar nomor tujuh tidak pernah sepi.
Di tengah malam, Yuda terbangun oleh suara.
Ketuk... ketuk... ketuk...
Ia bangkit, setengah sadar, dan menyalakan lampu. Tapi lampu tidak menyala. Ia meraba-raba ponselnya dan mengarahkan senter ke sekeliling kamar.
Dan saat cahayanya mengenai lemari—lemari itu terbuka sedikit, padahal sebelumnya ia ingat jelas sudah ia tutup rapat.
“Aneh…”
Yuda berjalan mendekat. Ada celah kecil di balik lemari. Ia melihat dinding yang tampaknya tidak rata.
Rasa penasaran muncul. Ia dorong lemari perlahan, dan celah itu terbuka lebih lebar.
Ada pintu kecil.
Kayu tua. Lubang kunci berkarat. Seperti… bagian dari ruangan lain.
Saat ia berjongkok dan mencoba menyentuh daun pintunya, dari belakang...
Cermin memantulkan sosok Reza.
Tapi Reza tidak ada di kamar itu. Hanya refleksi.
Dan refleksi itu… tersenyum ke arahnya.
Sementara itu, Bu Mirna berdiri di dapur, menatap foto lama tergantung di dinding. Foto hitam putih, berdebu. Lima orang mahasiswa berpose di depan kos yang masih baru. Salah satunya adalah Ratih.
Dan satu lagi… adalah dirinya sendiri.
Ia membisikkan doa dalam hati. Tapi air matanya menetes.
“Maafkan aku, Ratih… Aku tak bisa menutup lorong itu. Kau terlalu kuat.”
Di balik dinding, sesuatu merespons.
Samar, terdengar suara perempuan… tawa lirih panjang, seperti nyanyian yang memudar.
Kembali ke kamar tujuh, Yuda kini berdiri tepat di depan pintu kecil itu.
Ia menatapnya dengan mata terhipnotis.
Cermin di dinding memantulkan seluruh pergerakannya. Tapi dalam pantulan, makhluk bermata hitam berdiri di belakangnya.
Dan ketika Yuda membuka pintu kecil itu…
Lorong tanpa cahaya terbuka lagi.
Ia menjerit minta tolong. Tapi suara tak keluar. Ia hanya bisa melihat, bukan didengar.
Itulah hukuman bagi mereka yang diseret masuk: menjadi penunggu, bukan pelaku.
Sementara itu, Reza—atau makhluk yang mengenakan wajah Reza—berdiri di depan cermin di kamar kosong lain. Kosan Bu Mirna memiliki sepuluh kamar. Dan satu per satu, kamar-kamar itu mulai diisi oleh mereka yang telah “melihat terlalu dalam.”
Yuda tidak sepenuhnya sadar saat kakinya melangkah masuk ke dalam kegelapan. Seperti ada yang menuntun. Bukan tangan, bukan suara, melainkan dorongan dari dalam pikirannya sendiri. Dorongan untuk mencari. Untuk tahu. Untuk masuk lebih dalam.
Begitu melewati pintu kecil itu, suhu menurun drastis. Nafasnya berembun. Lorong ini bukan lorong biasa—lantainya dingin seperti es, dindingnya memancarkan cahaya merah samar, seperti berdetak… seperti jantung.
Setiap langkah yang ia ambil, lorong berubah. Sekejap menjadi ruang kelas, kemudian berubah menjadi kamar mayat. Lalu tiba-tiba menjadi ruang perpustakaan yang penuh buku berdarah, lalu berubah lagi—menjadi kamar nomor tujuh. Tapi bukan versinya.
Itu kamar nomor tujuh di masa lalu.
Di sana duduk seorang gadis. Rambutnya panjang, tubuhnya mengenakan pakaian kuliah jadul. Di tangannya… sebuah cermin.
Ratih.
Ia sedang berbicara pada cermin itu. Tapi suara yang keluar dari mulutnya bukan suara manusia. Lebih dalam, berat, seperti berasal dari dasar bumi.
“Semua ini palsu… Semua yang kita lihat adalah pantulan… Tapi pantulan selalu ingin menggantikan aslinya…”
Yuda membeku. Ia menyentuh dinding, mencoba memastikan ini nyata. Tapi dinding itu terasa seperti… kulit.
Tiba-tiba, Ratih menoleh. Langsung ke arah Yuda. Padahal ia seharusnya tak terlihat.
“Kau... yang berikutnya.”
Lorong langsung bergemuruh. Dindingnya berdenyut seperti nadi. Dari balik celah dinding, tangan-tangan kurus mulai keluar, menggeliat seperti akar yang lapar.
Yuda berbalik dan lari secepat mungkin. Tapi suara-suara itu terus mengikuti:
“Ganti tempatku…”
“Aku ingin tubuh…”
“Giliranmu…”
Di dunia nyata, Bu Mirna duduk di depan meja tua di kamarnya. Di hadapannya, selembar kertas kuno dengan lambang-lambang asing. Huruf-huruf itu berasal dari teks pemanggilan lama—mantra pemisah jiwa dan tubuh.
“Sepuluh tahun aku mencoba menutup lorong itu,” bisiknya. “Tapi tak pernah berhasil.”
Ia mengingat kembali kejadian dua puluh tahun lalu, saat Ratih mendatangi kamar ini untuk pertama kali.
Ratih bukan mahasiswa biasa. Ia terlahir dari garis keturunan Jawa yang memegang ilmu kuno. Tapi ambisinya melampaui batas. Ia ingin melihat dunia sebaliknya—dunia yang hanya bisa dijangkau lewat cermin.
Ratih tidak menghilang. Ia menyerahkan dirinya sendiri. Tubuhnya dikosongkan, dan lorong itu menjadi jalannya.
“Dan sekarang dia mencari pengganti.”
Bu Mirna berdiri. Ia tahu satu-satunya cara untuk menutup lorong adalah mengorbankan penjaganya sendiri—dirinya.
Sementara itu, Yuda tersesat di dalam lorong yang kini berubah menjadi rumah tua penuh cermin. Setiap sisi dinding memantulkan dirinya. Tapi dalam pantulan-pantulan itu, wajahnya mulai berubah.
Hidungnya memanjang. Matanya menggelap. Kulitnya mengelupas.
Ia melihat versi dirinya yang bukan dirinya. Dan semua versi itu… tersenyum padanya.
Dari belakang, terdengar langkah kaki. Pelan. Menyeret. Seperti kaki tua yang kehilangan sepatu.
Yuda berbalik.
Reza.
Tapi bukan Reza yang ia kenal.
Makhluk itu kini menunjukkan wajah aslinya. Kepalanya tidak simetris. Gigi-giginya terlalu kecil dan banyak, menumpuk seperti sisir patah. Dari matanya, mengalir darah kental berwarna hitam.
“Aku hanya ingin keluar. Tapi aku butuh tubuh.”
Yuda mundur. Tangannya mencari apa pun untuk mempertahankan diri. Tapi tidak ada apa-apa. Hanya lorong yang terus menyempit.
“Kita semua pernah jadi manusia,” lanjut makhluk itu. “Tapi setelah masuk, kau bukan siapa-siapa lagi. Hanya pantulan.”
Makhluk itu melompat.
Yuda berteriak.
Dan saat cakarnya hendak menyentuh wajah Yuda…
Cahaya terang muncul dari belakang.
Suara doa menggelegar. Kalimat-kalimat kuno yang membuat lorong berguncang hebat.
“Sasmitaning Hyang, kawula nyuwun tulung… buka dalan, tutup jagat sebaliknya…”
Itu suara Bu Mirna.
Bu Mirna berdiri di ambang lorong, tangannya bergetar tapi tetap menggenggam sobekan mantra yang ia warisi dari kakeknya. Ia tahu, ia tak bisa menutup jalan itu tanpa membayar harga.
Darah mulai mengalir dari matanya. Dari telinganya. Tapi ia terus melantunkan.
“Kawula nyuwun… kawula nyuwun… Sengkalaning jagad… dipun pungkasi...”
Lorong mulai terbelah. Cermin-cermin pecah satu per satu. Suara jeritan menggema. Tangan-tangan yang tadinya menarik Yuda kini mundur. Makhluk Reza menjerit… tubuhnya meleleh, berubah menjadi kabut hitam yang menguap ke langit-langit lorong.
Dan di saat terakhir...
Lorong itu menutup.
Seketika. Seperti tidak pernah ada.
Yuda terbangun di ranjang kamar nomor tujuh. Nafasnya sesak. Di sekelilingnya terang, matahari pagi masuk dari jendela. Lemari masih berdiri di pojok. Tapi dindingnya sudah ditutup semen. Tak ada pintu. Tak ada celah.
Ia bangkit dan membuka pintu kamar. Beberapa tetangga melihatnya dan tercengang.
“Satu minggu kamu gak kelihatan!” kata salah satu dari mereka.
“Satu minggu?”
Yuda bingung. Ia merasa hanya beberapa jam berlalu.
“Bu Mirna mana?” tanyanya.
Wajah para penghuni kos menjadi muram.
“Bu Mirna… meninggal. Tiga hari lalu. Serangan jantung. Katanya... habis membaca sesuatu keras-keras malam-malam.”
Yuda menatap langit-langit. Hening.
Tapi dari dalam cermin di dinding...
sesuatu bergerak.
Sepekan berlalu sejak Yuda "kembali." Kamar nomor tujuh tampak biasa. Tak ada suara ketukan, tak ada lemari bergerak sendiri, dan tak ada pintu tersembunyi di balik dinding. Semuanya—secara kasat mata—telah kembali normal.
Namun Yuda tahu… tidak ada yang benar-benar normal di tempat ini.
Ia mulai mengalami mimpi aneh. Dalam tidurnya, ia sering berada di dalam lorong—meski tak pernah lagi melihat Reza, Ratih, atau makhluk-makhluk itu. Tapi yang paling membingungkan adalah: ia sering bermimpi sebagai orang lain.
Pernah ia bermimpi sebagai Ratih, duduk di depan cermin dengan tubuh yang gemetar. Lalu pernah sebagai Fahri, berlari di antara koridor rumah sakit. Bahkan... ia pernah bermimpi sebagai Bu Mirna, melantunkan mantra sambil tubuhnya perlahan meleleh.
Setiap kali bangun, ia hanya diam. Nafasnya berat. Dan tiap pagi, cermin di kamarnya selalu berembun, meski AC tidak pernah dinyalakan.
Pada hari ketujuh, Yuda kembali menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Saat ia membersihkan kamar, tanpa sengaja ia menjatuhkan sapunya. Ujung gagang menyentuh bagian bawah dinding tempat dulu celah itu pernah terbuka.
Bunyi kosong.
Yuda mendekat. Ia ketuk. Kosong. Tapi bukankah dinding itu sudah disemen?
Rasa penasaran menggerakkannya. Ia mengambil obeng dan mulai mengikis bagian itu.
Perlahan, semen yang baru mengering terkelupas. Dan di baliknya…
Pintu kecil itu masih ada.
Namun kali ini, tak seperti sebelumnya. Pintu itu ditutup dengan paku berkarat dan dililit benang merah.
Tepat di tengahnya, tertulis tulisan latin dengan darah kering:
“Jangan buka. Dia belum pergi.”
Jantung Yuda berdegup keras. Ia mundur beberapa langkah. Tapi matanya... masih terpaku pada pintu itu. Kepalanya berdenyut. Seolah ada dua suara bertarung dalam dirinya:
“Biarkan tertutup.”
“Bukalah. Bukalah. Bukalah.”
Dari arah cermin, suara lain datang. Bukan suara… tapi tawa.
Tawa kecil, tipis… dan menyeringai.
Yuda menoleh.
Pantulan di cermin tidak bergerak seperti dirinya.
Ia mengangkat tangan kanan. Tapi cermin mengangkat tangan kiri. Ia mundur—pantulan tetap berdiri. Lalu perlahan, senyum muncul dari sosok di dalam sana.
Bukan senyum manusia. Tapi senyum Reza. Bibir menyeringai panjang, mata membulat hitam, kepala sedikit miring… ekspresi yang seharusnya tidak bisa dilakukan oleh wajah manusia.
Lalu, pantulan itu mengetuk dari dalam cermin.
Ketuk... ketuk... ketuk...
Yuda langsung menutup cermin itu dengan kain. Ia meraih ponsel dan mengetikkan kata-kata pada mesin pencari:
“Cermin sebagai portal dunia lain”
“Ritual Jawa lorong bayangan”
“Ilmu Ratih kamar kos”
Hasilnya... banyak.
Ternyata, cerita tentang lorong tanpa cahaya, tentang mahasiswa yang hilang misterius di kawasan kampus, tentang kamar berhantu bernomor tujuh—bukan hanya urban legend. Banyak yang menyebut “cermin bayangan”, “jalan pantulan,” bahkan satu blog yang memuat pengakuan dari seseorang bernama A.H., yang menulis:
“Saya pernah melihat sosok saya sendiri keluar dari cermin, dan sejak itu... saya hanya bisa melihat dari dalam.”
Yuda menelan ludah.
Itu bukan cerita. Itu peringatan.
Malam pun tiba.
Hujan turun deras. Petir menyambar, memantulkan cahaya ke dalam kamar lewat jendela.
Yuda duduk di lantai, menatap pintu kecil di balik lemari, dan cermin yang kini ia tutupi dengan kain hitam. Tapi kain itu perlahan... mulai basah dari dalam.
Bentuk wajah mulai muncul dari balik kain. Menonjol. Tertekan dari dalam cermin. Seperti seseorang sedang mendorong wajahnya dari balik kaca.
Yuda mundur.
Tangan itu muncul. Lalu bahu. Kemudian seluruh tubuh makhluk itu keluar dari cermin.
Bukan Reza. Bukan Ratih. Tapi gabungan dari mereka semua.
Sosok itu menyeret dirinya keluar, dengan wajah seperti kolase penderitaan. Di pipinya ada mata Ratih. Di dahinya mulut Fahri. Di dadanya... wajah Reza yang tertawa.
“Tidak ada jalan keluar,” makhluk itu berkata.
“Cermin akan selalu memantulkan apa yang belum selesai.”
Makhluk itu meraih Yuda. Kukunya mencakar bahu, darah mengucur.
Tapi di saat itu…
Yuda melihat pantulan dirinya sendiri.
Pantulan itu tidak diserang. Pantulan itu hanya berdiri. Menatapnya.
Lalu... mengangguk.
Yuda seketika memahami satu hal.
Kunci dari lorong bukanlah siapa yang masuk, tapi siapa yang menolak menjadi bagian dari pantulan.
Dengan teriakan penuh tenaga, Yuda meraih pisau lipat di meja, dan melemparkannya tepat ke arah cermin.
BRAAAKKK!!!
Cermin pecah. Berkeping-keping.
Makhluk itu menjerit, tubuhnya mulai terpecah menjadi debu, perlahan menghilang menjadi arus asap tipis yang terisap ke dalam dinding.
Yuda jatuh terduduk, darah mengalir dari lengannya. Tapi semuanya… diam.
Pintu kecil kembali tertutup sendiri. Dan untuk pertama kalinya...
tidak ada suara ketukan.
Esok harinya, Yuda pindah. Ia tidak menunggu. Ia bahkan tidak menoleh ke belakang. Tapi saat ia melewati kamar nomor tujuh, pintunya terbuka sedikit.
Dari dalam, sebuah pantulan di cermin kecil di atas meja tampak tersenyum.
Tapi bukan Yuda.
Pantulan itu tetap berdiri di kamar itu… selamanya.
Setelah pindah dari kos, Yuda berharap semuanya selesai. Tapi sejak malam cermin itu dipecahkan, tidur tak lagi membawanya ke mimpi biasa. Ia tak lagi bermimpi menjadi orang lain. Kini, ia hanya berada di satu tempat: lorong yang tidak memiliki bayangan.
Lorong itu berbeda dari sebelumnya. Tak ada suara. Tak ada dinding berdenyut. Tak ada tawa Ratih atau teriakan Fahri. Justru sebaliknya—sunyi, kosong, dan tanpa pantulan.
Semua objek tampak mati. Bahkan tubuh Yuda sendiri tidak memiliki bayangan di lantai. Ia melihat tangannya, kakinya, tapi tak ada refleksi di mana pun.
Ini bukan lorong biasa. Ini bukan dunia cermin.
Ini adalah lorong ketiga.
Saat ia pertama kali masuk, lorong itu terasa hampa. Tapi makin jauh ia berjalan, ia mulai mendengar suara-suara samar—suara orang berbisik… dalam bahasa yang tidak ia pahami. Bukan bahasa manusia.
Bahasa yang mengalir seperti air tapi panas seperti bara.
Dan perlahan-lahan… suara itu membentuk satu kalimat yang bisa ia mengerti:
“Yang hidup menutup cermin. Yang mati membuka lorong.”
Langkah Yuda terhenti. Ia mulai mengingat—cermin itu sudah dihancurkan. Lorong itu sudah tertutup.
Lalu kenapa ia masih di sini?
Tiba-tiba, sebuah pintu muncul di hadapannya. Pintu besi berwarna hitam legam, tertutup rapat dan tak memiliki gagang.
Namun di atasnya tertulis:
“MASUK HANYA BAGI YANG TAK PUNYA NAMA.”
Yuda menatap tangannya. Ia masih ingat siapa dirinya. Ia masih punya nama.
Tapi… sebuah kenangan mengganggu pikirannya.
Ia mencoba mengingat masa kecil, nama ibunya, suara ayahnya. Tapi perlahan… semuanya kabur.
Wajah-wajah yang dulu akrab kini menjadi siluet. Nama teman-temannya di kampus? Hilang. Bahkan, suara dirinya sendiri dalam pikirannya mulai memudar.
Seolah masuk ke lorong ini berarti menghapus diri—sedikit demi sedikit.
Pintu di depannya mulai terbuka perlahan… dan di dalamnya…
Ada semua versi dirinya.
Bayangan Yuda berdiri di tengah ruangan gelap.
Versi Yuda dengan mata hitam, versi Yuda dengan leher patah, versi Yuda dalam jas putih seperti dokter, versi Yuda dengan wajah penuh luka, versi Yuda yang terbungkus plastik…
Mereka menatapnya.
Satu per satu mulai berbicara.
“Kau adalah kami.”
“Kau adalah yang terakhir.”
“Yang membuka dan yang menutup.”
“Yang menyangkal akan tetap terjebak.”
“Yang menerima akan menjadi pintu.”
Yuda mundur, berbalik, tapi pintu di belakangnya telah lenyap. Ia terjebak.
Kemudian, di antara semua versi dirinya, satu sosok muncul dari belakang.
Ratih.
Wajahnya tenang, tidak lagi marah, tidak gila seperti dahulu.
“Aku tahu kamu akan sampai ke sini,” katanya.
“Aku menghancurkan cerminnya,” kata Yuda.
Ratih tersenyum.
“Itu hanya memindahkanmu ke lorong berikutnya. Di cermin, kamu hanya bisa melihat. Di lorong kedua, kamu bisa tersesat. Tapi di lorong ketiga ini… kamu akan dipilih.”
“Dipilih?”
“Kau bisa menjadi ‘penjaga’ seperti Bu Mirna… atau menjadi ‘pintu’ seperti aku.”
Yuda menatapnya. “Aku tidak ingin menjadi apa-apa.”
“Kamu tidak bisa memilih itu. Karena kamu sudah masuk. Dan kamu membawa kami bersamamu.”
Ia melihat ke sekeliling. Seluruh versi dirinya kini merangkak mendekat, perlahan, seperti mayat hidup. Mereka tak menyerang, hanya menempelkan diri pada Yuda. Dan perlahan, tubuhnya terasa berat, seperti terikat ribuan tangan tak terlihat.
Lalu, Ratih mendekat. Ia menempelkan telunjuknya ke dahi Yuda, dan membisikkan satu kalimat:
“Kembalikan kami ke dunia nyata.”
Seketika itu juga, Yuda menjerit. Kepalanya berdenyut keras. Suara tangisan, tawa, jeritan, bisikan, semuanya masuk bersamaan. Ia menutup telinga, berteriak, tapi suara itu kini di dalam pikirannya.
Dan terakhir, suara Reza berbisik di ujung kesadarannya:
“Sekarang giliranmu… membuka pintu.”
Yuda terbangun di sebuah ruangan putih.
Bukan rumahnya.
Bukan kamar kos.
Ia di sebuah ruangan rumah sakit. Di sekelilingnya ada monitor, tabung oksigen, dan seorang perawat yang sedang mencatat sesuatu.
“Dia sadar!” seru sang perawat.
Beberapa dokter masuk.
“Kau tahu siapa namamu?” tanya salah satu dokter.
Yuda menatap langit-langit. Kosong.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar.
“Dia belum bisa bicara,” gumam si dokter. “Amnesia akibat trauma.”
Yuda hanya menatap. Tidak kepada dokter. Tapi kepada cermin kecil di atas wastafel di seberang tempat tidur.
Dan di sana…
Sosok Ratih tersenyum dari dalam cermin.
Lanjut ke Bab 9: “Pintu Terakhir”
Di bab selanjutnya, kita akan menyaksikan saat dunia nyata dan dunia lorong bertemu—dan siapa yang akan
Hari keempat sejak Yuda sadar.
Ia masih belum berbicara. Tapi pikirannya mulai bekerja lebih cepat dari yang bisa ia kendalikan. Ia mulai mendengar suara-suara yang tidak terdengar oleh orang lain. Suara dari cermin.
Bukan sekadar gema… tapi perintah.
“Sudah waktunya.”
“Bukalah jalan.”
“Kami tak bisa menunggu lebih lama.”
Perawatnya, Siska, selalu memperlakukannya dengan lembut. Tapi Yuda tahu… saat Siska membenarkan letak cermin kecil di atas meja, tangannya gemetar. Kadang ia menatap pantulan Yuda dengan tatapan ngeri. Pernah suatu sore, Siska bergumam sambil buru-buru pergi:
“Kenapa pantulannya... senyum terus?”
Padahal Yuda sedang menangis.
Malam kelima, hujan turun deras. Petir menyambar jendela kamar Yuda. Lampu berkedip sebentar, lalu padam.
Ruangan rumah sakit kini hanya diterangi lampu cadangan dari lorong.
Dan dari dalam cermin kecil itu, muncul sesuatu.
Bukan Ratih. Bukan Reza. Tapi bayangan Yuda sendiri, dengan wajah lebih tua, mata gelap, dan tubuh yang tampak seperti membusuk dari dalam.
Pantulan itu menatap Yuda lama sekali, lalu berkata.
“Kau adalah pintu terakhir. Jika kau menolak, semua akan tetap terperangkap.”
Yuda mendekat. Menyentuh permukaan cermin. Tapi kali ini, tangannya masuk.
Seperti air. Seperti kabut.
Dan begitu ia menyentuhnya, seluruh ruangan berubah.
Ia tidak lagi di rumah sakit.
Ia berada di lorong keempat.
Lorong yang bahkan Ratih pun tidak pernah ceritakan.
Tempat ini… bukan hanya tidak memiliki pantulan. Ia menelan semua yang pernah dipantulkan. Gelap mutlak. Tidak ada ujung. Tapi dari kejauhan, ada satu titik cahaya.
Yuda berjalan menuju cahaya itu. Dan di sana…
Ada pintu kayu sederhana, seperti pintu rumah lama.
Tertulis satu kalimat di atasnya, dengan huruf merah menyala:
“Hanya yang bersedia menghilang selamanya yang boleh membukanya.”
Yuda tahu apa yang harus ia lakukan.
Jika ia membuka pintu itu, lorong akan runtuh. Semua yang terjebak—Reza, Fahri, Ratih, dan ratusan jiwa lain yang tersesat—akan bebas. Tapi sebagai gantinya…
Yuda akan menjadi pengganti cermin itu. Ia tidak akan pernah kembali. Ia akan menjadi “pintu hidup” bagi semua dunia bayangan. Wujudnya lenyap dari dunia manusia.
Ia diam cukup lama. Lalu, mengingat satu hal:
Senyuman ibunya.
Walau samar, ia ingat. Dan untuk pertama kali… ia menangis, tapi tersenyum.
Dengan tenang, Yuda membuka pintu itu.
Cahaya menyilaukan menyambutnya. Seluruh lorong bergetar. Dinding runtuh. Cermin-cermin di dunia nyata pecah serempak.
Semua “pantulan” terlempar dari dalam, kembali ke tempat asalnya.
Reza muncul di taman kecil dekat kampus—linglung, tapi hidup. Fahri ditemukan di halte tua tengah malam—bingung, tapi sadar. Ratih… tidak kembali. Ia tersenyum dari kejauhan, lalu menghilang dalam cahaya.
Dan Yuda?
Tidak pernah ditemukan lagi.
Dua minggu kemudian, kos tua milik Bu Mirna diratakan. Pemerintah menyebutnya “bangunan tidak layak pakai.” Para pekerja menemukan sebuah cermin tua di bawah lantai kamar nomor tujuh, utuh, meski bangunan sudah hancur.
Salah satu tukang memindahkan cermin itu ke truk.
Tapi saat ia melewatinya, ia sempat melihat sesuatu.
Pantulan wajahnya sendiri… tersenyum padanya.
Meski ia tak sedang tersenyum.
Tiga bulan setelah hilangnya Yuda, semua kembali seperti biasa—begitulah katanya.
Kos tua itu telah menjadi puing. Tanahnya kini ditumbuhi ilalang, dan kabarnya akan dijadikan lahan parkir. Tak ada yang lagi membicarakan kamar nomor tujuh, atau ketukan-ketukan di malam hari. Mereka melupakannya. Atau… pura-pura lupa.
Namun ada satu hal yang tidak ikut hancur: cermin tua yang ditemukan di bawah lantai kamar tujuh.
Tak ada yang tahu bagaimana bisa cermin itu utuh, bahkan tidak sedikit pun retak, walau reruntuhan di sekitarnya telah terbakar dan runtuh. Sopir truk pengangkut barang renovasi membawanya ke gudang, lalu entah kenapa—mencurinya.
Ia mengaku cermin itu memanggilnya.
Dan sejak itu…
Lorong baru mulai terbentuk.
Di tempat lain, Reza kembali ke kampus. Ia tak bicara banyak. Bahkan ke Fahri pun, ia hanya berkata:
“Aku ingat semua. Tapi entah bagaimana, aku tetap hidup.”
Namun dari wajah Reza, ada sesuatu yang berubah. Tatapan matanya kosong. Ia seperti hadir, tapi tidak sepenuhnya.
Fahri lebih buruk. Ia mulai sering berbicara sendiri. Berkata bahwa suara dari dalam cermin “masih menanyakan siapa yang belum pulang.”
Lalu, seminggu setelah semester baru dimulai, Fahri menghilang.
Dua mahasiswa melaporkan bahwa terakhir kali melihat Fahri adalah di toilet lantai dua, sedang menatap ke dalam cermin besar sambil tersenyum. Ia tidak keluar lagi sejak itu.
Ketika petugas membuka pintu toilet yang terkunci, ia sudah tidak ada.
Cermin itu retak sedikit. Tapi tak ada jejak darah. Tak ada jejak kaki.
Hanya… uap yang tidak masuk akal.
Sementara itu, di sebuah museum kecil di luar kota, cermin tua dari kamar nomor tujuh kini terpajang.
Petugas kebersihan yang bertugas di sana mulai mengalami mimpi aneh. Mimpi tentang lorong merah, tangan kurus, dan mata-mata dari dalam dinding. Mereka mulai meninggalkan pekerjaan. Satu demi satu, museum kehilangan stafnya.
Salah satu pengunjung anak kecil pernah berlari keluar museum sambil menangis. Saat ditanya ibunya, ia hanya berkata:
“Cermin itu ajak aku main ke belakangnya. Tapi temannya yang di dalam gak boleh keluar.”
Dan sang anak tak pernah berbicara lagi setelah itu.
Yuda?
Ia tak pernah kembali dalam bentuk tubuh. Tapi beberapa orang yang pernah bermimpi masuk ke lorong, kini mulai menyebut satu nama baru: “Dia yang menutup jalan.”
Dalam mimpi, Yuda sering muncul sebagai penjaga gerbang, berdiri di lorong sunyi yang tak berujung, sambil berkata:
“Jangan terlalu lama menatap pantulan. Kadang… yang melihat balik bisa lebih nyata daripada kamu.”
Kini, siapa pun yang menatap terlalu lama ke dalam cermin—bukan hanya di kosan itu, tapi cermin mana pun—berisiko melihat sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan.
Mereka bisa mendengar ketukan.
Atau melihat pantulan tersenyum sendiri.
Atau lebih buruk…
Mereka tidak melihat pantulan sama sekali.
Dan itulah awal dari lorong berikutnya.
Penutup:
Jika malam ini kau sedang berdiri di depan cermin,
dan kau merasa pantulanmu sedikit lebih lambat dari gerakanmu...
Jangan panik.
Jangan tersenyum balik.
Matikan lampu.
Dan jangan pernah menatap cermin itu lagi saat subuh tiba.
Karena sekali lorong dibuka,
ia tidak benar-benar bisa ditutup.
SELESAI