Hujan sore itu membuat lorong apartemen lantai 4 terasa panas dan lembab. Anya baru saja meletakkan dus terakhirnya di depan pintu unitnya 404, ketika mendengar suara langkah kaki seseorang sedang mendekat.
Ia menoleh dan melihat seorang pria. Tampak tinggi, kurus, mengenakan hoodie hitam dengan tudung yang menutupi wajahnya.
Anya sedikit tersentak. Tapi cepat-cepat tersenyum dan menyapa tetangga barunya itu, “Halo selamat sore… saya baru pindah kesini,”
Blam!
Pria itu tak menoleh, tak menjawab. Hanya membuka pintu unit 403 dan masuk begitu saja, tanpa suara.
Anya terdiam menyaksikan sikap dingin pria itu. Namun ia tetap berpikir positif, mungkin tetangganya itu hanya pemalu dan pendiam.
Pertemuan kedua terjadi tiga hari kemudian. Anya baru saja pulang kerja, lift terbuka, dan pria bertudung itu sudah berdiri di dalamnya, berdiri sambil menunduk.
Awalnya Anya merasa ragu untuk masuk, tapi ia tak mau menghindar. Mencoba lagi bersikap ramah. "Sore, Mas, baru pulang kerja juga ya?”
Tak ada jawaban.
Hanya suara lift yang berdenting pelan di tiap lantai. Saat akhirnya mereka tiba di lantai empat, pintu terbuka. Anya keluar. Tapi pria itu tetap di dalam sana, tak bergerak sama sekali.
Anya menoleh, pintu lift perlahan menutup, Anya menelan ludahnya kasar, kali ini bulu kuduknya berdiri, rasa takut mulai menghantui hatinya.
Malamnya, sekitar pukul dua dini hari, Anya terbangun oleh suara ketukan dari balik tembok samping kamarnya—tembok yang berbatasan langsung dengan unit 403.
Anya terbangun, ia penasaran, mencoba mendekati sumber suara itu. Awalnya pelan. Seperti suara orang mengetuk dengan jari.
Tapi lama-lama, ritme ketukannya jadi lebih cepat dan tidak teratur. Tiba-tiba jadi keras.
TOK! TOK! TOK!
Lalu hening.
Lalu keras lagi.
TOK! TOK! TOK!
BRAKK!!
Anya terlonjak. Jantungnya membentur dada seolah hendak meloncat keluar. Ia mematung, menatap tembok dingin di depannya, lalu suara ketukan itu muncul lagi… tidak berhenti.
TOK! TOK! TOK!
Terus berulang. Seperti seseorang—atau sesuatu—berusaha masuk. Bukan lewat pintu. Tapi… lewat tembok.
Anya tak tahan, akhirnya mengambil bantal dan selimut, pindah ke ruang tengah, tidur di sofa sambil menyalakan TV.
Sejak malam itu, perasaannya jadi tidak nyaman, rasa takut tumbuh berlarut-larut dalam jiwanya.
Di malam berikutnya, saat ia turun dari taxi, Anya sempat melihat siluet pria bertudung berdiri di seberang jalan. Tapi, saat ia berkedip… sosok itu menghilang.
Anya menggeleng cepat, meyakinkan diri bahwa ia hanya kelelahan akibat kurang tidur.
Tapi semakin hari, semakin banyak hal kecil yang mengusiknya. Suara langkah kaki di lorong tengah malam, bayangan di balik tirai yang seharusnya tertutup rapat, dan suara ketukan... yang datang kembali setiap jam dua malam, dari arah tembok yang sama.
Puncaknya, Anya memutuskan bertanya ke pengelola apartemen.
“Permisi, saya ingin tanya... siapa penghuni unit 403?”
Petugas meja depan menoleh dan membuka data.
“Unit itu sudah kosong dua tahun yang lalu, Mbak.”
Anya mengerutkan alis. “Tidak mungkin! Saya lihat sendiri ada pria masuk ke unit itu… setidaknya dua kali!”
Petugas tercengang. “Mbak? Gak lagi mabuk, kan?”
Pertanyaan itu membuat Anya membeku sesaat, lalu menggeleng cepat, dan hampir marah. “Saya tidak mabuk! Bahkan saya pernah satu lift dengan pria itu. Dia… dia selalu pakai tudung, tinggi, kurus. Mukanya gak pernah kelihatan.”
Petugas itu menatapnya, lalu berdiri dan menelepon seseorang. “Saya panggil manajer dan satpam lain, ya. Biar sekalian dicek.
Cekrek.
Pintu unit 403 dibuka, engselnya berderit. Bau lembap dan dingin langsung menyeruak keluar, seperti udara yang terperangkap terlalu lama.
Kosong.
Anya melihat sendiri, dalamnya benar-benar kosong. Tak ada perabot. Tak ada sandal. Tak ada kesan bahwa ada seseorang yang pernah tinggal di sana.
Ia menoleh, di pojok dekat dinding yang berbatasan langsung dengan kamarnya... ada bekas goresan kecil. Beberapa bagian tembok seperti terkelupas, seolah pernah diketuk atau dihantam.
Anya menelan ludah. Tenggorokannya kering. Lalu ia menoleh ke lantai, ke sudut dekat tembok kamar.
Matanya terbelalak, ada bekas jejak sepatu dewasa di atas debu. Mengarah ke tengah ruangan, tapi seketika ia menghilang begitu saja, seperti tertiup angin.
“Mbak,” panggil pak satpam.
Anya nyaris melonjak dari tempatnya. Jantungnya serasa berhenti sesaat karena terkejut.
“Mbak yakin ada yang pernah masuk sini?” tanya si manager apartemen.
Anya langsung menggelengkan kepala berulang-ulang. “Maaf… sepertinya saya salah lihat.” ucapnya dengan nada gemetar.
Tanpa menunggu tanggapan, ia buru-buru melangkah pergi. Kembali masuk ke apartemennya di unit 404.
Anya membuka laci kecil di meja riasnya, meraih botol kecil berlabel putih—obat tidur yang dulu diresepkan saat ia mengalami masa-masa sulit dulu.
Tanpa air, ia menelan satu butir. Lalu satu butir lagi. Tangannya gemetaran saat menaruh kembali botol itu kedalam laci. Lalu ia berjalan cepat menuju tempat tidur, langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, hingga kepala.
Tubuhnya menggigil kedinginan. Bukan dari AC. Tapi dari dalam tubuhnya. Dadanya terasa berat, seolah ada yang sedang menekan. Matanya mulai berat, efek obat mulai bekerja.
Dalam bayang-bayang gelap, ia mendengar suara-suara ketukan laki, padahal belum jam dua malam.
TOK! TOK! TOK!
Anya memejamkan mata rapat-rapat. Mengabaikan suara-suara ketukan itu. Ia hanya ingin tidur. Melupakan semuanya. Menyambut pagi, berharap semua hal mengerikan ini hanya halusinasi dari stres dan kelelahan.
Namun sesaat sebelum ia benar-benar terlelap...
Terdengar suara gesekan.
Sreek... Sreek... Sreek...
Suaranya pelan. Seperti kain terseret di lantai. Dari arah luar kamarnya.
Lalu...
Kriieett…
Pintu kamarnya terbuka pelan.
Anya masih di bawah selimut, hanya menyisakan sedikit celah di bagian wajah. Napasnya tersengal, lehernya terasa sedang di cekik. Matanya tak bisa lepas dari pintu yang kini terbuka lebar perlahan.
Dan di sana—sosok seorang pria bertudung melangkah masuk, bergerak seperti bayangan.
Pria bertudung itu kini berdiri tepat di atas Anya. Ia membungkuk perlahan, selimut Anya kini hanya jadi kain tipis tak berguna yang memisahkan keduanya.
Anya membeku. Tubuhnya terasa tak lagi miliknya. Dan akhirnya... wajah pria itu tampak jelas.
Pucat. Retak. Kulitnya seperti kertas tipis yang mengelupas. Dan matanya—merah menyala.
Tapi yang paling membuat Anya merinding adalah senyumnya.
Kemudian, pria itu bersuara.
“Aaa...yanggg!”
.
"AAGGHHH!"
Anya menjerit sekuat tenaga. Tubuhnya langsung melompat keluar dari tempat tidur, terpeleset hampir jatuh, tapi dorongan ketakutan membuatnya bangkit dan berlari membabi buta ke arah pintu kamar.
Di belakangnya, suara langkah kaki berat dan kasar terdengar menyusul.
DUK! DUK! DUK!
Ia l menabrak kusen, lalu menerobos ke luar unit. Lorong apartemen yang biasa ia lewati setiap hari kini tampak berbeda. Lebih panjang. Lebih gelap. Lampu-lampu di atas berkedip cepat, seperti sekarat. Tak ada lift. Tak ada tangga darurat. Hanya… lorong kosong yang terus memanjang.
"Tolong! Tolong!" Anya berteriak sekuat tenaga. “Tolong! Ada yang mengejarku!"
Tapi tak ada yang menjawab. Tak ada pintu yang terbuka. Tiba-tiba, terdengar suara...
Cekrek....
Anya menoleh cepat. Pintu unit 403 terbuka perlahan, mengundangnya masuk. Di dalamnya, muncul sinar lampu dan suara tawa.
Dengan kaki gemetar, ia melangkah maju. Pintu terbuka lebih lebar, menyambutnya.
Begitu masuk, ia langsung terdiam.
Ruangan itu tampak familiar. Letak sofa. Warna tirai. Meja makan, lalu ada sup hangat yang mendidih diatas kompor. Di dapur itu, terlihat dirinya. Tersenyum sambil mengaduk sup diatas kompor.
Lalu seorang pria berhodie datang, menemaninya, mereka tampak akrab seperti sepasang kekasih.
Glek!
Anya berdiri membatu. Napasnya tercekat. Saat melihat kenangan masa lalu itu. Tapi Anya tak sanggup bergerak. Dadanya terasa sesak.
Dan kemudian semua kenangan itu lenyap dalam sekejap.
Dan tiba-tiba, ruangan di hadapannya berubah. Kini, ia melihat dirinya sedang tersekap di pojok ruangan.
ia melihat, dirinya yang dulu sedang menderita, mulutnya di lakban, kaki dan tangan terikat.
Anya yang menderita itu berusaha bangkit, ia terus memukul-mukul tembok, berusaha meronta. Kakinya menendang keras-keras. Suara duk! duk! duk! menggema seperti genderang kematian dalam ruang hampa.
Anya yang nyata hanya bisa menatap diam, tubuhnya terasa menggigil, bibirnya gemetar dan berkata...
“Itu... aku.”
BRAAKKK!!
Suaranya hantaman, membuat Anya terbangun dengan napas terengah. Matanya terbelalak menatap sekelilingnya ruangan kamar yang tampak normal.
Tubuhnya basah kuyup, seperti habis mandi keringat. Jantungnya berdetak tak karuan. Mimpi itu… terasa amat nyata dan menyakitkan.
Setelah mengatur nafas, ia menurunkan kakinya dari atas ranjang. Lalu berjongkok, menarik sesuatu keluar dari bawah ranjang.
Sebuah kotak berdebu. Ia membuka kotak itu lalu melihat ada sebuah hoodie hitam lusuh, dibungkus plastik bening. Dan di bawahnya ada pisau dapur.
Gagangnya kusam, dan di bilahnya…
masih ada noda darah yang mengering.
Anya menatapnya lama. Lalu tersenyum, menyeringai puas. Seolah bertemu kembali dengan bagian lain dirinya yang terkubur.
Dan saat itu pula, sosok pria bertudung muncul dibelakangnya. Ia mendekat dan menggenggam leher Anya dari belakang.
Lalu terdengar suara berat yang mengerikan.
“Ayang…”
Seketika lampu kamar mendadak padam.
Dan gelap... menelan semuanya.
The End---