Pada akhir zaman keempat, ketika langit belum sepenuhnya runtuh dan waktu belum berhenti berputar, seorang penjaga langit bernama Ishvara menatap bumi dari gerbang Nirvana. Di sanalah ia melihat Elara, gadis fana dengan mata seperti cahaya bulan, menari di tengah hujan sambil tertawa.
Ia tidak tahu bahwa satu tawa itu akan menjadi kutukan dan anugerah dalam hidup abadinya.
---
Seribu Tahun Sebelumnya
Ishvara bukan dewa. Ia adalah penjaga keempat dari tujuh gerbang waktu. Tugasnya sederhana: menjaga aliran reinkarnasi tetap teratur, tidak ada jiwa yang melompat jalur atau mencuri takdir.
Namun, suatu hari, seorang jiwa menolak dilahirkan kembali.
Namanya Elara, gadis yang memilih menghapus namanya dari Kitab Takdir agar tak perlu lagi mencintai seseorang yang selalu melupakannya di setiap kehidupan.
"Dia?" tanya Ishvara saat bertemu jiwa itu dalam kabut reinkarnasi.
"Penjaga langit," jawab Elara, menatapnya lurus. "Kau."
Ishvara terdiam. Ia telah menyaksikan ribuan jiwa datang dan pergi. Tapi tidak ada yang menatapnya seperti Elara. Mata itu... hangat, pilu, dan mengenalnya terlalu dalam.
---
Tiga Kehidupan, Satu Cinta
Di kehidupan pertama, Elara adalah putri seorang peramal. Ishvara turun sebagai manusia untuk menyelamatkan dunia dari keretakan waktu. Mereka bertemu di tengah perang, saling mencintai dalam bisu, lalu dipisahkan oleh ajal.
Di kehidupan kedua, Elara menjadi biarawati di kuil waktu. Ia berdoa setiap malam untuk seseorang yang bahkan tak ia ingat namanya. Ishvara datang sebagai raja yang mencari jalan ke Nirvana, tapi tak sanggup menyentuhnya karena hukum surgawi.
Di kehidupan ketiga, mereka hanya saling memandang di antara kerumunan. Elara seorang pengamen jalanan, Ishvara adalah penyair abadi. Tapi bahkan saat tak saling mengenal, hatinya tetap bergetar saat melihatnya tersenyum.
---
Sekarang, di Ambang Nirvana
"Kalau aku menolak lahir kembali, akankah kau mengingatku?" tanya Elara.
"Aku tidak bisa mengingatmu di dunia fana. Tapi hatiku selalu mencari sesuatu yang hilang," bisik Ishvara.
"Aku lelah mencari. Aku ingin berhenti," lirih Elara.
Ishvara tahu, jika jiwa Elara tidak kembali ke siklus reinkarnasi, dunia akan mulai retak. Ia tahu tugasnya adalah memaksanya kembali. Tapi untuk pertama kalinya, ia ragu.
"Jika aku menghapuskan takdirmu dan menyimpanmu di langit bersamaku... kau akan kehilangan semua rasa. Bahkan cinta."
"Kalau cintaku padamu saja sudah cukup menyakitkan... mungkin kehilangan rasa akan jadi hadiah."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam ribuan tahun, Ishvara melanggar perintah langit. Ia merobek halaman takdir, menyembunyikan Elara dalam bentuk awan senja, abadi di atas Nirvana.
---
Seribu Tahun Setelahnya
Di bumi yang telah berulang dalam siklus baru, seorang pemuda sering mendongak ke langit saat senja. Ia tak tahu kenapa dadanya terasa kosong setiap kali melihat warna jingga keemasan.
"Kenapa aku selalu merasa ingin menangis saat melihat senja?" tanyanya.
Di langit, angin berbisik, membelai lembut wajahnya.
Dan jauh di gerbang langit, Ishvara tersenyum pahit, melihat Elara dalam bentuk cahaya—tenang, tanpa rasa, tapi abadi.
Ia memilih untuk mencintainya dalam diam. Untuk selamanya.
---
"Langit yang Lupa Menangis"
(Bagian 2 dari cerpen "Senja di Atas Langit Nirvana")
Reinkarnasi keempat tidak pernah ditulis di Kitab Takdir.
Dan karena itu, tidak ada yang mengawasi. Tidak ada dewa yang tahu. Tidak ada penjaga yang bersiap. Bahkan Ishvara pun tak menyadarinya—sampai sudah terlambat.
---
Dunia Manusia, Tahun 1725 Era Emberian
Seorang gadis bernama Naira tumbuh di desa pegunungan yang selalu diselimuti kabut. Ia berbeda. Sejak kecil, ia bisa mendengar suara langit—bukan suara petir atau angin, tapi seperti... bisikan yang memanggil namanya dengan lembut.
“Elara...”
Ia tidak tahu siapa itu. Tapi setiap kali senja datang dan langit berubah jingga keemasan, dadanya terasa sesak. Seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah dimiliki.
---
Di Nirvana, Ishvara terguncang.
"Bagaimana bisa?" gumamnya saat mendengar suara dari Lembah Ketidakteraturan, tempat jiwa yang tidak seharusnya lahir kembali.
Jiwanya. Elara.
Ia telah menghapus Elara dari siklus. Ia menjadikannya senja di langit. Tenang, tanpa rasa. Tapi sekarang... ia kembali. Bukan sebagai dewi, bukan pula sebagai jiwa tua. Ia terlahir murni. Kosong. Tanpa kenangan. Tapi dengan sisa cinta yang membakar diam-diam dari dalam.
Naira adalah Elara yang tak tahu dirinya Elara.
---
Pertemuan Kembali
Ishvara turun ke dunia, menyamar sebagai Aeryn, seorang penyihir pengembara yang menjual cerita di pasar malam. Ia ingin melihat Naira dengan mata fana—tanpa kekuatan, tanpa kedudukan, tanpa harapan.
Dan ketika ia melihatnya...
Ia tahu. Itu Elara.
Matanya masih sama. Tertawa dengan cara yang sama. Tapi kali ini, ia tidak mengenalnya. Tidak mengingat air mata, tawa, atau pelanggaran langit yang dulu Ishvara lakukan demi dirinya.
"Namamu siapa?" tanya Naira saat membeli sebuah jimat berbentuk bulan sabit dari Aeryn.
"Aeryn," jawabnya pelan. "Dan kau?"
"Naira."
Nama baru. Hati lama.
Dan saat jari mereka bersentuhan saat menukar jimat itu, waktu retak untuk sepersekian detik.
---
Langit Gemetar
Para penjaga Nirvana mulai curiga. Dunia fana seharusnya tidak bisa memengaruhi langit. Tapi saat Naira tertawa bersama Aeryn, senja berubah warna. Menjadi lebih pekat. Lebih hangat.
"Dia mulai merasa," bisik salah satu penjaga.
"Kalau Elara mengingat cinta lamanya… batas antara dunia bisa runtuh."
Dan hanya Ishvara—atau Aeryn—yang tahu betapa dekat Naira dari kebenaran. Ia mulai bermimpi. Tentang gerbang langit. Tentang laki-laki dengan jubah cahaya. Tentang ciuman terakhir di atas danau waktu.
Ia bangun sambil menangis, memegang dadanya, berbisik,
“Kenapa rasanya seperti aku pernah mati demi seseorang...”
---
Di Ujung Senja
Aeryn menuntunnya ke puncak bukit, di mana langit seolah menyentuh bumi.
"Apa kau percaya pada kehidupan sebelum ini?" tanya Aeryn.
"Aku tak tahu," bisik Naira. "Tapi... kalau aku pernah hidup sebelumnya... aku ingin bertemu orang yang kucintai itu lagi."
"Apa yang akan kau lakukan jika dia melupakanmu?"
"Aku akan membuatnya jatuh cinta padaku lagi... bahkan jika harus dari awal."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya... Ishvara menangis.
---
Kejatuhan Kedua
Langit mulai pecah. Gerbang Nirvana bergetar. Reinkarnasi liar tidak bisa dibiarkan. Jika Elara (Naira) sepenuhnya sadar dan mencintai Ishvara kembali, kekacauan waktu akan dimulai.
Langit hanya memberi satu pilihan.
"Hapus dia… atau kehilangan tempatmu selamanya."
---
Pilihan Cinta
Aeryn berlutut di hadapan Naira, tangannya gemetar. Ia memegang jimat bulan sabit yang mengandung satu kenangan terakhir Elara. Jika ia memberikannya… Naira akan ingat semuanya.
"Tapi jika kau ingat… kau akan hancur bersama langit," bisik Aeryn.
Naira menatap matanya. Kali ini, seperti dulu.
"Aku tak peduli jika seluruh langit runtuh. Aku hanya ingin bersamamu."
Dan Aeryn, sang penjaga abadi, menyerahkan jimat itu.
---
"Saat Langit Mengingat Namamu"
(Bagian 3 dari cerpen seri "Senja di Atas Langit Nirvana")
Langit tidak pernah lupa. Tapi kadang, ia memilih diam.
Saat Naira menggenggam jimat bulan sabit yang diberikan Aeryn, waktu membisu. Udara membeku. Dan kenangan... mulai menyeruak seperti ombak pasang.
---
Kenangan yang Terkunci
Naira terjatuh ke tanah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya kosong, bibirnya menggigil.
"Aku... Ishvara... kita pernah..."
Adegan demi adegan muncul dalam pikirannya: pertempuran berdarah, gerbang waktu, ciuman di hujan abadi, dan janji yang diukir di antara bintang-bintang. Semua itu—hidup kembali dalam dadanya.
"Aku Elara," bisiknya. "Dan kau... kau meninggalkanku di langit."
Aeryn—atau Ishvara—berlutut di sampingnya.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku menyelamatkanmu. Tapi sekarang... mungkin aku yang harus membiarkanmu pergi."
---
Peringatan Langit
Langit bergemuruh. Gerbang ketiga Nirvana terbuka sendiri—tanda bahwa pelanggaran takdir mencapai batas kritis. Penjaga langit turun, membawa pedang cahaya dan suara yang mengguncang bumi.
“Ishvara! Engkau telah melanggar hukum tertinggi tiga kali! Serahkan jiwa Elara, atau langit akan mencairkan waktu!”
Tapi Naira berdiri. Matanya bersinar seperti dulu. Tak ada lagi keraguan.
"Aku bukan jiwa yang perlu diserahkan. Aku adalah bagian dari langit yang kalian kubur demi aturan."
"Aku hanya ingin hidup. Mencintai. Itu bukan dosa."
---
Perang Melawan Langit
Ishvara dan Elara berdiri berdampingan di medan senja, menghadapi penjaga Nirvana. Tidak ada senjata di tangan mereka, hanya cahaya dari cinta lama yang tak pernah padam.
"Jika kalian menghapusku, maka ulangi juga seluruh sejarah," kata Elara. "Karena aku telah menari di setiap waktu, mencintainya dalam setiap napas kehidupan."
Pertempuran tak bisa dihindari. Tapi ini bukan perang kekuatan. Ini adalah perang kebenaran melawan aturan usang. Setiap kenangan Elara menjadi percikan energi. Setiap air mata Ishvara menjadi pelindung.
Langit mulai runtuh—bukan karena mereka, tapi karena ia sendiri tak bisa menyangkal bahwa cinta memang lebih tua dari hukum.
---
Tawaran Terakhir
Di tengah kehancuran itu, muncul Suara Pertama, sang Pencatat Awal. Ia tidak marah, tidak menghukum. Hanya bertanya:
"Jika kau diberi satu pilihan, Elara... kau mau apa?"
Dan Elara menatap Ishvara.
Ia tahu jawabannya.
"Biarkan aku mencintainya… tapi sebagai manusia biasa. Tanpa kekuatan, tanpa abadi, tanpa langit."
Ishvara menunduk, air mata turun.
“Kalau itu jalan yang membawamu padaku… maka aku akan mengikutimu ke bumi.”
---
Kelahiran Kembali
Langit menutup dirinya. Nirvana perlahan hilang dari peta waktu. Tapi bumi menjadi saksi kelahiran dua bayi di desa kecil yang sama, di waktu yang sama.
Seorang gadis bernama Lara.
Dan seorang bocah laki-laki bernama Ishaan.
Mereka tumbuh sebagai anak-anak biasa. Tidak tahu masa lalu, tidak membawa kekuatan apa pun. Tapi saat mereka berusia lima tahun, mereka duduk bersama di bawah senja, dan Lara berkata:
"Entah kenapa... aku selalu suka warna langit saat senja. Rasanya seperti... aku sedang jatuh cinta."
Dan Ishaan menjawab,
"Aku juga. Padahal... kita baru kenal, ya?"
---
"Waktu yang Memilih Kita"
(Bagian 4 - Penutup & Epilog)
Puluhan tahun telah berlalu sejak langit menyerah pada cinta.
Lara dan Ishaan tumbuh bersama di desa kecil itu. Tidak ada yang istimewa pada mereka… kecuali cara mereka saling memahami dalam diam, saling tertawa dalam senja, dan saling mencari bahkan saat tidak tahu apa yang hilang.
---
Cinta yang Kembali Secara Diam-Diam
Saat Lara berusia 18, ia bermimpi tentang gerbang langit.
Ia berdiri di tepi waktu, menunggu seseorang. Laki-laki itu datang dengan jubah cahaya, tapi wajahnya kabur. Yang jelas hanyalah satu hal: rasa rindu.
Ia terbangun dengan air mata, lalu mendapati pesan pendek dari Ishaan:
> "Malam ini senjanya aneh ya. Warnanya kayak pertama kali aku lihat kamu."
---
Kenangan Tidak Selalu Harus Kembali
Mereka tidak pernah mengingat masa lalu mereka sebagai Elara dan Ishvara secara utuh. Dan memang itu keputusannya dulu: hidup sebagai manusia biasa.
Tapi cinta mereka memilih sendiri jalannya.
Melewati takdir. Melampaui langit.
Dan akhirnya... menetap di bumi.
---
🌙 Epilog: Gerbang yang Tak Lagi Dijaga
Di Nirvana, kini hanya tinggal senyap.
Gerbang Waktu dikunci rapat. Para penjaga lama sudah pergi. Dan di tengah langit, sebuah bintang kecil bersinar lembut setiap senja.
Itulah jejak terakhir Elara dan Ishvara.
Bukan sebagai dewa.
Bukan sebagai legenda.
Tapi sebagai dua hati yang pernah melawan segalanya… demi mencintai satu sama lain.
---
Puluhan tahun kemudian, di rumah kecil di tepi bukit—di mana senja selalu paling indah—seorang anak perempuan bertanya pada ibunya:
“Ma, kenapa Ibu dan Ayah selalu duduk diam berdua saat senja?”
Lara tersenyum dan memeluk anaknya.
“Karena… di waktu itu, langit pernah memilih kami untuk saling jatuh cinta.”
---
Akhir. Tapi Abadi.