"Sepotong Rahasia di Balik Senyummu"
Langit sore itu berwarna jingga lembut saat Nayla turun dari angkot dan menjejakkan kakinya di depan gerbang sekolah yang sudah mulai sepi. Bukan untuk belajar, tapi untuk ambil jaketnya yang tertinggal di ruang OSIS. Ia berjalan cepat, berusaha tidak menarik perhatian.
Namun langkahnya terhenti saat melihat seorang cowok sedang duduk sendiri di bangku taman sekolah. Rambutnya agak acak-acakan, seragamnya sedikit kusut, dan matanya menatap langit, seolah sedang mencari sesuatu yang hilang di antara awan.
Itu Revan. Cowok paling dingin sekaligus paling populer di sekolahnya.
Dan anehnya... Revan tersenyum saat melihat Nayla.
“Habis ngelamun, Nay?” sapa Revan tiba-tiba. Suaranya dalam, tapi nggak dingin seperti biasanya.
Nayla kaget. “Eh... kamu ngapain masih di sini?”
Revan mengangkat bahu. “Males pulang.”
“Lho?”
“Kadang rumah bukan tempat yang bikin pengen pulang,” jawab Revan sambil tetap menatap langit.
Nayla diam. Kalimat itu berat. Dan entah kenapa, ia merasa Revan bukan sekadar asal bicara. Ia duduk di bangku taman, dua meter dari Revan.
“Jaketan kamu masih di ruang OSIS, ya?” tanya Revan tiba-tiba.
“Eh... iya. Kamu tahu?”
Revan menoleh dan tersenyum samar. “Aku yang nemuin pas bantuin beres-beres tadi siang. Mau aku ambilin?”
“Enggak usah repot, aku aja,” balas Nayla buru-buru. Tapi pipinya mendadak panas. Revan perhatian? Ini dunia paralel, ya?
Setelah Nayla kembali dengan jaketnya, Revan masih duduk di tempat yang sama. “Pernah ngerasa kayak lo itu biasa banget, sampai keberadaan lo nggak penting buat siapa-siapa?”
Pertanyaan itu membuat jantung Nayla berhenti sedetik. Ia menatap Revan, dan untuk pertama kalinya melihat sosok di balik topeng dinginnya. Ada luka. Ada kesepian.
“Pernah,” jawab Nayla pelan. “Tapi terus aku sadar... mungkin aku biasa buat banyak orang, tapi nggak buat diri aku sendiri.”
Revan menoleh cepat. Mereka bertatapan. Mata Revan seperti menyimpan badai yang belum reda. Tapi di sana juga ada sesuatu yang bikin Nayla nyesek—kerapuhan yang selama ini dia sembunyikan.
Dan sejak hari itu, keduanya jadi sering duduk bareng sepulang sekolah. Awalnya hanya saling diam. Lalu saling tanya. Sampai akhirnya saling cari.
Tapi Nayla tahu, ada yang belum diceritakan Revan. Ada bagian dari hidup cowok itu yang disembunyikan rapi.
Sampai suatu sore, saat Revan absen sekolah, Nayla nekat datang ke rumahnya. Ia ragu menekan bel, tapi hatinya bilang: “Kalau kamu benar peduli, kamu nggak akan mundur.”
Pintu dibuka seorang wanita tua dengan tatapan lelah. “Kamu teman Revan, ya? Dia di kamar. Tapi... mungkin kamu harus siap lihat dia sekarang.”
Nayla mengangguk pelan. Lalu ia melangkah masuk ke rumah itu—sunyi dan penuh aroma obat. Ia membuka pintu kamar perlahan.
Dan hatinya runtuh.
Revan duduk di kursi roda. Tubuhnya tampak lemah, dan ada selang kecil terpasang di tangan. Tapi yang paling menyakitkan adalah ekspresinya. Kosong. Seolah harapan telah pergi.
“Kamu...” suara Nayla bergetar. “Kenapa nggak bilang?”
Revan hanya menatap ke jendela. “Apa gunanya? Semua orang bakal pergi begitu tahu aku nggak ‘sempurna’ lagi.”
Nayla mendekat, lalu jongkok di depan kursi roda itu. “Aku nggak butuh kamu sempurna, Van. Aku cuma butuh kamu jujur.”
Untuk pertama kalinya, mata Revan berkaca-kaca. “Aku takut, Nay. Takut kamu berubah setelah tahu.”
Nayla menggenggam tangannya. “Kalau kamu percaya sama aku, kamu nggak perlu takut.”
Sejak hari itu, segalanya berubah. Revan bukan lagi cowok dingin yang duduk sendiri di taman sekolah. Dia jadi seseorang yang tertawa lepas di sebelah Nayla, yang nggak malu menunjukkan luka, dan yang pelan-pelan percaya bahwa keberadaannya berarti.
Dan Nayla? Dia tahu, cinta bukan soal sempurna. Tapi soal keberanian untuk tetap tinggal ketika yang lain memilih pergi.
Bagian 2: Detik-detik yang Tak Ingin Kutukar
Sudah dua minggu sejak Nayla mengetahui keadaan Revan. Dua minggu yang terasa seperti hidup dalam dunia yang berbeda—lebih tenang, tapi juga penuh ketegangan halus.
Setiap sore, Nayla datang ke rumah Revan. Kadang mereka belajar bersama, kadang cuma duduk dan ngobrol di teras. Tapi hari ini berbeda. Revan diam. Lebih diam dari biasanya.
“Van, kamu kenapa?” tanya Nayla sambil mengaduk teh di cangkirnya.
Revan menatap jauh ke depan, ke taman kecil di halaman. “Besok aku harus rawat inap.”
Nayla terdiam. “Lama?”
Revan mengangguk pelan. “Seminggu. Bisa jadi lebih. Tergantung gimana tubuhku respon sama obat yang baru.”
Nayla menghela napas pelan. Ia ingin bilang, “Aku bakal nunggu.” Tapi kalimat itu terasa klise. Jadi ia hanya berkata, “Aku bakal tetap datang. Kamu nggak sendiri.”
Dan benar saja. Selama Revan di rumah sakit, Nayla datang setiap sore. Membawakan buku, baju ganti, dan kadang cuma senyum—yang bagi Revan, lebih manjur dari semua obat.
Suatu sore, saat ruangan RS hanya diterangi cahaya matahari sore yang menembus jendela, Revan akhirnya bicara.
“Aku dulu benci sakit ini,” katanya. “Tiap malam aku doa minta sembuh, tapi lama-lama aku sadar... mungkin Tuhan ngasih ini bukan buat nyakitin, tapi buat bikin aku sadar.”
“Sadar apa?” bisik Nayla.
Revan menatap Nayla, lama.
“Sadar kalau hidup itu bukan soal berapa lama kita bisa lari... tapi siapa yang tetap tinggal ketika kita harus berhenti.”
Dan saat itulah, Nayla menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena perasaannya sudah tumbuh terlalu dalam. Cinta yang muncul bukan dari tampang keren atau kata-kata manis. Tapi dari keberanian seorang Revan untuk tetap tersenyum... meski dunia sedang memunggunginya.
Beberapa hari setelah Revan pulang, mereka kembali duduk di taman sekolah. Revan sudah bisa berdiri sebentar dengan tongkat bantu, dan hari itu dia memaksa datang ke sekolah untuk melihat pameran seni.
Saat itu, Nayla menunjukkan lukisan yang dia buat khusus.
Revan terpaku.
Itu adalah lukisan dua bangku taman. Di bawah langit jingga. Dan di atasnya, tertulis kata:
“Kita tak harus sempurna untuk saling menemukan.”
“Aku...” Revan menelan ludah. “Aku belum pernah lihat sesuatu yang... kayak gini.”
Nayla menatapnya. “Itu bukan cuma lukisan, Van. Itu bagian dari kita. Tempat kita pertama kali mulai... dan semoga nggak pernah selesai.”
Revan menggenggam tangan Nayla, dan untuk pertama kalinya... di depan semua orang... ia menatap Nayla seperti dunia di matanya hanya berisi satu orang.
Dan Nayla tahu, sejak hari itu, cintanya bukan lagi rahasia yang disimpan rapi.
Tapi kisah yang siap mereka lanjutkan—detik demi detik, hari demi hari.
Bagian 3: Antara Aku, Kamu, dan Dia
Sejak lukisan itu dipajang di ruang pameran sekolah, banyak siswa jadi tahu tentang kedekatan Nayla dan Revan. Komentar-komentar mulai terdengar—dari yang mendukung, sampai yang sinis.
Tapi Nayla cuek. Dia bukan tipe yang peduli omongan orang. Baginya, yang penting adalah Revan—dan senyum Revan itu sudah cukup menghapus ribuan suara di luar sana.
Namun, dunia Nayla mulai berguncang saat seorang cewek pindahan masuk ke kelas mereka seminggu kemudian.
Namanya Elira. Cewek tinggi, manis, dan jujur... pinter bikin orang merasa kecil tanpa perlu berkata apa-apa.
Dan tentu saja, dia langsung jadi pusat perhatian.
“Eh Nay, Revan tahu nggak sih Elira anak ketua yayasan?” tanya Fira, sahabat Nayla, saat mereka duduk di kantin.
Nayla mengangkat alis. “Ketua yayasan?”
“Iya. Dan katanya mereka pernah ikut program summer camp bareng waktu SMP. Dulu deket.”
Nayla hanya mengangguk, pura-pura tenang. Tapi di dalam, hatinya mulai terasa aneh.
Keesokan harinya, saat Nayla ke ruang UKS buat nemenin Revan istirahat, dia melihat pemandangan yang bikin dadanya nyeri.
Elira duduk di kursi samping Revan. Tertawa. Dan Revan... tersenyum.
Senyum itu.
Senyum yang biasanya hanya dia lihat saat mereka duduk berdua.
“Nayla!” Revan memanggil saat melihatnya di ambang pintu. Tapi Nayla sudah membalikkan badan, pura-pura tidak mendengar.
Ia menahan air mata sepanjang perjalanan ke kelas.
---
Malamnya, ponsel Nayla ramai. Chat dari Revan.
Revan (20.14): “Kamu kenapa?”
Revan (20.19): “Kalau ini tentang Elira, aku bisa jelasin.”
Revan (20.33): “Nay, jawab dong…”
Nayla mengetik. Hapus. Ketik lagi. Hapus lagi.
Akhirnya hanya diketik:
Nayla (20.40): “Besok kita ngobrol.”
---
Hari berikutnya, mereka bertemu di taman belakang sekolah—tempat pertama kali mereka duduk berdua.
“Aku nggak marah,” kata Nayla pelan, membuka percakapan. “Aku cuma takut.”
“Takut apa?”
“Takut... kamu milih orang yang sempurna. Seseorang yang bisa temani kamu tanpa harus nunggu kamu sembuh. Yang bisa jalan bareng kamu tanpa kursi roda. Yang... nggak sepolos aku.”
Revan menghela napas. Ia menatap Nayla dalam-dalam.
“Nay, kamu tahu kenapa aku suka taman ini?”
Nayla diam.
“Karena tempat ini bikin aku sadar kalau hidup itu tentang proses. Tentang nungguin bunga mekar, meskipun butuh waktu. Tentang percaya, walaupun nggak ada jaminan.”
Ia menggenggam tangan Nayla.
“Elira masa lalu. Kamu masa depan. Dan aku milih kamu—meski kamu nggak sempurna, meski aku pun nggak bisa janji akan selalu kuat.”
Nayla mengangguk, bibirnya bergetar. “Jadi... kamu nggak akan pergi?”
Revan tersenyum.
“Justru aku berjuang supaya bisa tetap di samping kamu. Nggak ada yang lebih aku pengenin dari itu.”
Mereka diam sesaat. Dan saat mata mereka bertemu, semua keraguan runtuh. Hanya ada dua anak remaja, dengan cinta yang tumbuh dari luka, bertahan dari keraguan, dan belajar bahwa rasa yang tulus... nggak butuh alasan lain untuk tetap tinggal.
---
Bagian 4: Pilihan yang Tak Pernah Mudah
Minggu berikutnya berjalan dengan cepat. Hubungan Nayla dan Revan makin erat, tapi ada yang Revan sembunyikan—ia sering terlihat lelah, matanya makin sayu, dan beberapa kali jatuh pingsan saat istirahat.
Nayla curiga. Tapi setiap kali ditanya, Revan selalu menjawab, “Aku cuma kecapekan.”
Sampai suatu hari, Nayla datang ke rumah Revan lebih awal dari biasanya. Ia disambut oleh Ibu Revan yang tampak ragu-ragu, lalu akhirnya menyerahkan satu amplop putih.
“Revan belum siap cerita, tapi kamu harus tahu,” katanya lirih.
Tangan Nayla bergetar saat membuka surat itu.
---
> Laporan Medis:
Pasien menunjukkan penurunan signifikan pada fungsi organ...
Kemungkinan membutuhkan transplantasi dalam waktu dekat...
Jika tidak ditindaklanjuti, estimasi waktu... 3 hingga 6 bulan.
---
Dunia Nayla seperti runtuh seketika.
Saat Revan akhirnya muncul di ruang tamu, Nayla hanya bisa menatapnya sambil menahan air mata. “Kenapa kamu nggak bilang?”
Revan menghela napas panjang. “Karena aku tahu kamu bakal seperti ini.”
“Seperti ini tuh gimana?” Nayla mulai meninggikan suara. “Aku sayang kamu, Van! Aku berhak tahu!”
Revan berjalan pelan mendekat, dengan tubuh yang terlihat lebih lemah dari biasanya. “Aku nggak pengen kamu ngerasa beban. Nggak pengen kamu harus milih antara impianmu... atau nungguin aku yang belum tentu bisa bertahan.”
Nayla membeku. Revan tahu. Ia tahu tentang beasiswa pertukaran pelajar ke Jepang yang Nayla dapatkan minggu lalu—tawaran besar untuk masa depannya.
“Van...”
“Aku mau kamu pergi,” potong Revan. “Bukan karena aku nyerah. Tapi karena kamu berhak punya hidup yang lebih luas dari sekadar nemenin aku di ruang rumah sakit.”
---
Bagian 5 (Ending): Sepotong Rasa yang Tetap Tinggal
Tiga bulan kemudian, di Bandara Soekarno-Hatta, Nayla berdiri dengan koper dan surat yang belum dibalas.
Revan tidak pernah mengirim pesan lagi setelah pertengkaran mereka hari itu. Ia benar-benar menjauh. Nayla hampir menyerah... sampai seseorang memanggil namanya dari belakang.
“Naay!”
Itu suara yang sangat dia kenal.
Revan.
Berjalan pelan dengan tongkat, napas tersengal, tapi matanya berbinar.
“Gimana caranya aku bisa lepasin kamu begitu aja,” katanya dengan senyum lemah. “Aku nggak kuat.”
Nayla menahan tangisnya. “Kenapa baru datang sekarang?”
Revan menyodorkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya, ada kalung dengan liontin kecil berbentuk bintang.
“Karena kamu akan jadi bintang di langit mana pun kamu berada. Tapi janji satu hal...”
“Apa?”
“Kalau suatu hari kita ketemu lagi... kita mulai dari halaman yang sama. Tanpa luka. Tanpa ketakutan. Hanya kita, yang dulu saling nemu di bangku taman ini.”
Nayla mengangguk, air mata mengalir. Ia peluk Revan erat. Mungkin ini perpisahan, mungkin juga bukan. Tapi mereka tahu satu hal:
Cinta mereka tumbuh bukan dari hal-hal indah, tapi dari keberanian untuk jujur, terluka, dan tetap tinggal.
Dan kadang, cinta yang paling nyata... justru adalah cinta yang merelakan.
---
Epilog (2 Tahun Kemudian)
Di sebuah galeri seni di Tokyo, seorang pengunjung berhenti di depan lukisan besar bertajuk:
“Sepotong Rahasia di Balik Senyummu”
Di lukisan itu, ada bangku taman... langit jingga... dan sepasang bayangan.
Seorang cowok berkursi roda. Dan seorang cewek berseragam SMA sedang tertawa bersamanya.
Di bawah lukisan itu, tertulis nama senimannya:
> By: Nayla Ardianti
Dan tepat saat seorang pria muda bertongkat masuk ke galeri itu, Nayla menoleh... dan tersenyum.
“Van?”
Revan tersenyum. “Aku janji... halaman yang sama, kan?”
---
TAMAT.