Aku, seorang manusia, menjadi mangsa Soul Eater. Monster ini melahap korbannya secara utuh. Begitu terserap, wajah korban akan muncul di tubuhnya, terkunci abadi bersama kesadarannya. Wajah-wajah berjiwa itu hidup selamanya selama Soul Eater bernapas. Kelaparannya tak terpuaskan: setiap jiwa yang ditelannya membuat tubuhnya semakin membesar.
Seratus tahun aku terperangkap dalam keabadian yang menyiksa ini, dipaksa menyaksikan setiap kekejaman monster ini. Korban demi korban berjatuhan, dan kini tubuhnya telah membengkak sebesar bukit. Bahkan benteng kota terkuat pun takkan mampu menahan gempurannya yang menghancurkan.
Wajah-wajah berjiwa di sekitarku kini mulai tidak stabil, bahkan ada yang tergelincir ke dalam kegilaan. Wajar saja, setelah menyaksikan pemandangan mengerikan selama ratusan tahun. Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Selama seratus tahun terkurung ini, aku telah mempelajari tubuh Soul Eater. Akhirnya kusadari: Soul Eater menyisakan sedikit jiwa korbannya untuk memperkuat lapisan terluar tubuhnya—yaitu kami, para wajah berjiwa. Jiwa-jiwa yang tersisa ini ternyata terhubung ke suatu inti pusat yang lebih besar, yang kusebut Soul Core.
Berkali-kali percobaan kulakukan, hingga akhirnya ku sentuh Soul Core. Gelombang ingatan dan deru emosi ribuan korban langsung menerjang kesadaranku saat pertama kali menyelaminya—nyaris meremukkan jiwaku. Butuh tahunan bagiku, bergulat di tepian kegilaan, untuk menemukan cara mengarungi lautan jiwa di dalam Soul Core tanpa tenggelam.
Setelah terbiasa, aku mulai menyelami Soul Core. Di dalamnya tersimpan lautan ingatan para korban—tapi aku tak sanggup menyerap semuanya. Fokusku hanya mencari fragmen ingatan yang mungkin berguna. Dalam penyelaman itu, aku menemukan pengetahuan berharga dari ingatan seorang penyihir, ksatria, dan... seekor iblis. Aku terhenyak mengetahui iblis pun menjadi korbannya. Namun dari ingatan gelap itu, kuraih pemahaman tentang sihir kelam: dark magic.
Dari sekian banyak dark magic dalam ingatan iblis itu, ku dapati satu sihir yang sangat ku butuhkan: Body Reconstruction. Sihir ini mampu memulihkan bagian tubuh yang rusak. Namun, ia membutuhkan cadangan mana sangat besar. Karena keterbatasan itu, aku memutuskan untuk fokus membangun otak baru terlebih dahulu—sebagai tempat penyimpanan aman bagi semua ingatan yang aku peroleh. Hanya setelah ini selesai, aku akan merekonstruksi tubuh seutuhnya dan mengumpulkan jiwa-jiwa untuk menyempurnakan serpihan jiwaku yang tercecer.
Setelah otak selesai, kucari fragmen ingatan yang bisa mempercepat rekonstruksi tubuhku. Dari ingatan penyihir, kudapat kemampuan merasakan mana yang terkontaminasi jiwa di dalam Soul Core. Untuk memisahkannya, ku rencanakan penggunaan sihir Purify milik seorang pendeta—tapi sebelumnya harus kusiapkan wadah penampung mana murni yaitu jantung.
Menurut pengetahuan penyihir itu, jantung adalah reservoir mana ideal karena kemampuannya mendistribusikan energi magis ke seluruh tubuh. Mana yang terkumpul di sana akan dilindungi oleh magic circle, berfungsi sebagai katup pengaman: jika mana berlebih, circle akan memperluas kapasitas penyimpanan secara otomatis untuk mencegah ledakan.
Setelah mana terkumpul, aku mulai rekonstruksi tubuh. Dimulai dari kepala, wajahku perlahan menonjol keluar dari permukaan kulit Soul Eater—seperti patung yang terpahat dari daging hidup. Dengan presisi menyakitkan, ku rajut tengkorak, saraf, serat otot, kulit, hingga helai rambut. Membentuk kepala saja telah menyedot energi magis sedemikian besar, membuat jantung ku berdebar kencang bak menempa besi dalam tungku.
Kutahu ini bukan proses yang bisa dipaksakan. Selain membangun kembali tubuh, aku harus menyempurnakan jiwa yang tercerai-berai ini—dua misi yang harus berjalan beriringan.
Tahun-tahun berlalu cepat, tapi pembentukan tubuhku merangkak lambat. Tiga tahun sejak kepala pertamaku terbentuk, barulah tubuh ini mencapai dada dengan sepasang tangan kekar. Di tubuh setengah jadi ini ku habiskan waktu: berlatih jurus pedang dengan bilah imajiner, mengasah mantra-mantra sihir.
Di luar, Soul Eater tak henti mengganas. Dua kota telah luluh lantak dihancurkan nya, penduduknya dilahap bulat-bulat. Dalam salah satu penyerangan itu, nyaris saja aku menjadi korban seorang ksatria wanita yang menyerang dari belakang. Tombaknya mengincar punggung Soul Eater—tepat di mana aku berada. Aku terlalu mencolok: satu-satunya bentuk manusia yang mencuat dari hamparan wajah jiwa di punggung monster seluas bukit itu.
Nyaris terlambat! Kudorong serangannya dengan sihir angin yang menghujamkan tubuhnya ke cakrawala. Ironisnya, hempasan itu justru menyelamatkannya—mungkin satu-satunya yang lolos dari amukan Soul Eater.
Sejak itu, kubangun benteng pertahanan: dinding daging berdenyut yang membungkusku rapat-rapat. Mirip rahim gelap, meski ku tak bisa menghindari tatapan ratusan wajah jiwa di sekelilingku. Tak nyaman? Sangat. Tapi demi kelangsungan rekonstruksiku, ini pengorbanan wajib.
Perlahan namun pasti, tubuhku terbentuk dalam kurun waktu yang begitu panjang hingga kabur dalam ingatan. Akhirnya, setelah perjuangan bertahun-tahun, rekonstruksi ini mencapai puncaknya: wujud manusia sempurna telah kumiliki.
Kini hanya tersisa ekor umbilical yang menyambungku ke Soul Eater—tali pusar magis penyalur energi. Begitu fungsinya selesai, akan kubahkan ekor ini menjadi senjata maut: ekor iblis berpucuk mata tombak. Tapi sebelum transformasi terakhir itu... jiwa yang masih tercerai-berai harus kusempurnakan.
Bersambung....
cuma iseng doang hehe