Malam itu, hujan turun begitu lebat, memukul-mukul atap rumah sakit dengan irama monoton yang menambah kesunyian mencekam. Aku, Rio, perawat jaga malam di bangsal Anggrek, sesekali melirik jam dinding tua yang berdetak lambat. Pukul dua pagi. Waktu paling rawan, kata para senior. Saat itulah batas antara dunia nyata dan gaib menipis. Aku selalu menganggap itu hanya cerita takhayul untuk menakut-nakuti perawat baru sepertiku, sampai malam ini.
Bangsal Anggrek khusus merawat pasien dengan penyakit langka dan kronis, kebanyakan dari mereka dalam kondisi koma atau sangat lemah. Suasana di sini selalu muram, dipenuhi bau antiseptik yang menusuk hidung dan desah napas mesin-mesin penunjang kehidupan. Malam ini, entah mengapa, terasa lebih berat. Setiap bayangan yang tercipta oleh lampu temaram di lorong seolah bergerak, setiap desiran angin di luar jendela terdengar seperti bisikan.
Aku sedang mengecek infus Nyonya Hartono, pasien di kamar nomor 3, ketika sebuah suara lirih memanggil namaku. "Rio..."
Jantungku berdebar. Suara itu berasal dari ujung lorong, dekat kamar mandi pasien. Aku menoleh, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Mungkin hanya halusinasi akibat kurang tidur. Aku kembali fokus pada pekerjaanku, tetapi suara itu datang lagi, kali ini sedikit lebih jelas dan disertai rintihan. "Rio... tolong..."
Rambut di tengkukku berdiri. Suara itu terdengar seperti suara wanita, serak dan penuh kepedihan. Aku memutuskan untuk memberanikan diri. Menggenggam erat senter yang kubawa, aku melangkah perlahan menuju sumber suara. Lorong terasa sangat panjang dan gelap. Setiap langkah kakiku bergema, seolah memperbesar kesunyian.
Di ujung lorong, bayangan hitam samar terlihat di dekat pintu kamar mandi. Semakin dekat, bayangan itu mulai membentuk sosok seorang wanita dengan seragam perawat putih usang. Tapi ada yang aneh. Wanita itu menunduk, dan rambut hitam panjangnya menutupi sebagian besar wajahnya.
"Suster?" panggilku ragu.
Dia tidak menjawab, hanya bergerak sedikit, seolah menahan sakit. Aku mendekat, mencoba melihat wajahnya. "Suster, ada apa? Apa yang terjadi?"
Saat aku berada hanya beberapa langkah darinya, dia mengangkat kepalanya perlahan. Di bawah rambutnya yang acak-acakan, seharusnya ada wajah. Tapi tidak ada. Hanya ada kulit mulus tanpa fitur wajah, seperti manekin yang belum selesai dibuat. Mataku membelalak, napasku tercekat di tenggorokan. Ini bukan suster dari rumah sakit ini. Ini... sesuatu yang lain.
"To... tolong aku..." Suara itu keluar dari tempat yang seharusnya menjadi mulutnya, meskipun tidak ada gerakan bibir. "Aku... aku tidak bisa... menemukan... anakku..."
Kengerian mencengkeramku. Aku ingin lari, berteriak, tetapi kakiku terpaku di tempat. Aku berusaha keras untuk mencerna apa yang kulihat dan kudengar. "Anakmu? Siapa kau?" tanyaku dengan suara bergetar.
Sosok tanpa wajah itu mengangkat tangannya yang pucat, menunjuk ke arah kamar Nyonya Hartono. "Dia... dia mengambilnya... dia menyembunyikannya..."
Aku menoleh ke arah kamar Nyonya Hartono, lalu kembali menatap sosok di depanku. Mustahil. Nyonya Hartono sudah tua dan sakit parah. Bagaimana mungkin dia mengambil anak seseorang? Apakah ini arwah gentayangan yang tersesat?
"Siapa Nyonya Hartono bagimu?" tanyaku, mencoba tetap rasional meskipun jantungku berdegup kencang seperti genderang perang.
Sosok itu menurunkan tangannya, dan kembali menunduk. Terdengar isakan lirih yang aneh, seolah berasal dari dalam tubuhnya. "Dia... ibu angkatku... dia menyembunyikan kebenaran... tentang anakku..."
Rasa takutku sedikit memudar, digantikan oleh kebingungan dan rasa ingin tahu yang besar. Apakah ini bukan hantu yang ingin menakut-nakuti, melainkan arwah yang mencari pertolongan? Aku teringat cerita-cerita lama tentang arwah penasaran yang terjebak di antara dua dunia karena urusan yang belum terselesaikan.
"Apa yang bisa kubantu, Suster?" tanyaku, mencoba terdengar setenang mungkin.
Dia mengangkat kepalanya lagi, dan meskipun tidak ada mata, aku merasa dia menatapku. "Temukan... diaryku... di bawah tempat tidur... Nyonya Hartono... semua kebenaran ada di sana..."
Setelah mengucapkan kalimat itu, sosok itu perlahan memudar, seperti asap yang tertiup angin, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan bau tanah basah dan melati yang aneh di udara.
Aku berdiri mematung di lorong gelap, mencerna semua yang baru saja terjadi. Diary? Di bawah tempat tidur Nyonya Hartono? Ini terdengar seperti sesuatu dari film horor. Tapi kengerian yang kurasakan, suara rintihan, dan sosok tanpa wajah itu terlalu nyata untuk diabaikan.
Dengan jantung masih berdebar, aku kembali ke kamar Nyonya Hartono. Lampu tidur remang-remang menerangi wajahnya yang keriput dan pucat. Dia tidur pulas, napasnya diatur oleh alat bantu napas. Aku berlutut di samping tempat tidur, meraba-raba bagian bawah ranjang. Tanganku menyentuh sesuatu yang keras dan pipih. Sebuah buku bersampul kulit tua. Ini dia.
Aku membuka buku itu. Halamannya sudah menguning, tintanya sedikit pudar. Aku membaca isinya dengan saksama. Ini adalah diary milik seorang perawat bernama Maya, yang bekerja di rumah sakit ini puluhan tahun lalu. Dia menceritakan kisah hidupnya, tentang pernikahannya dengan seorang dokter di rumah sakit ini, dan tentang kehamilannya.
Namun, bagian paling mengejutkan adalah saat dia melahirkan. Bayinya lahir prematur dan lemah. Suaminya, Dokter Rahman, mengatakan bahwa bayi itu meninggal tak lama setelah lahir. Maya sangat terpukul. Namun, ada kejanggalan yang dia rasakan. Dia tidak pernah melihat jenazah bayinya, dan suaminya selalu menghindar setiap kali dia bertanya.
Beberapa bulan kemudian, dia mulai mendengar bisikan aneh di rumah sakit, melihat bayangan-bayangan, dan merasa seperti ada yang mengikutinya. Dia yakin itu arwah bayinya yang gentayangan, mencari keadilan. Dia mencoba menyelidiki, tetapi suaminya selalu menghalangi.
Pada halaman terakhir, ada tulisan tangan yang terburu-buru: "Aku tahu! Aku tahu sekarang! Bayiku tidak meninggal! Rahman... dia... dia memberikannya pada adiknya... Nyonya Hartono! Mereka menyembunyikan anakku agar aku tidak bisa membawanya pergi setelah aku mengajukan cerai. Mereka bersekongkol!"
Aku terdiam, otakku mencoba menghubungkan semua kepingan teka-teki. Nyonya Hartono adalah adik Dokter Rahman. Jadi, "anak" yang dimaksud oleh Suster Tanpa Wajah adalah bayi Maya yang diculik dan diberikan kepada Nyonya Hartono untuk diasuh. Dan Suster Tanpa Wajah adalah arwah Maya, yang meninggal karena kesedihan dan penyesalan karena tidak bisa menemukan anaknya. Dia meninggal tanpa tahu kebenarannya, dan arwahnya terus mencari di rumah sakit ini.
Rasa kasihan dan kemarahan bercampur aduk di dadaku. Aku harus melakukan sesuatu. Setidaknya, aku harus mengubur diary ini di tempat yang layak, agar arwah Maya bisa tenang. Aku mencari tempat yang tenang di taman belakang rumah sakit, di bawah pohon kamboja tua yang rindang. Dengan tangan gemetar, aku menggali lubang kecil dan meletakkan diary itu di dalamnya, lalu menimbunnya dengan tanah.
Ketika aku selesai, sebuah cahaya putih samar muncul di depanku, membentuk siluet seorang wanita dengan wajah yang jelas dan tersenyum tulus. Wajah itu damai, dan matanya memancarkan rasa terima kasih yang mendalam. Dia mengangguk pelan padaku, lalu perlahan memudar dan menghilang, kali ini tanpa meninggalkan jejak.
Aku tahu, saat itu juga, bahwa dia telah menemukan kedamaian. Dia akhirnya mengetahui kebenaran, dan arwahnya tidak lagi terperangkap dalam pencarian yang tak berujung. Aku berdiri di sana, menatap langit malam yang perlahan mulai terang, dengan perasaan lega dan haru yang tak terlukiskan. Meskipun kejadian itu menakutkan, aku bersyukur telah menjadi perantara bagi arwah yang tersiksa untuk menemukan ketenangan. Malam itu, aku tidak hanya menyelesaikan sif, tetapi juga sebuah misteri lama yang terkubur di balik dinding-dinding rumah sakit.