14
Teguran dari HRD membuat Dewi pun mengambil keputusan drastis. Ia harus menjaga jarak dari Arjun. Bukan hanya di depan umum, tapi juga secara pribadi. Ini demi kariernya, demi citranya, dan demi ketenangan kantor. Atau setidaknya, itu yang ia yakinkan pada dirinya sendiri.
Esok harinya, Dewi kembali ke mode Queen of Marketing versi paling ketat. Wajahnya kembali dingin dan profesional, matanya fokus pada layar laptop, telinganya seolah tuli terhadap sapaan ceria Arjun.
Arjun sendiri menyadari perubahan itu. Ia mencoba mendekat beberapa kali, dengan senyum khasnya dan pertanyaan-pertanyaan ringan.
"Bu Dewi, project kemarin gimana? Aman kan?" atau "Bu Dewi, mau kopi susu? Saya bikin di pantry tadi."
Setiap kali itu terjadi, Dewi hanya akan menjawab singkat, "Aman, Arjun. Terima kasih," atau "Tidak perlu, saya sudah ada kopi," tanpa menatap mata Arjun. Ia bahkan mulai menghindari lift yang sama, mencari rute lain menuju pantry, atau pura-pura sibuk menelepon jika Arjun lewat di koridor. Hatinya perih setiap kali ia melakukan itu, seolah ia sedang mengiris dirinya sendiri. Aroma aftershave Arjun kini terasa seperti peringatan, bukan lagi godaan.
Arjun tampak bingung dan terluka. Senyumnya semakin jarang terlihat, lesung pipitnya hampir tak pernah muncul. Matanya yang dulu penuh binar kini tampak redup. Ia berhenti mendekat. Jarak itu tercipta, perlahan tapi pasti, seperti tembok yang dibangun bata demi bata di antara mereka. Kehadiran Arjun di kantor terasa seperti bayangan, tidak lagi seperti pop-up ads yang ceria.
Satu minggu berlalu. Kemudian dua. Tiga. Kantor kembali ke rutinitas lamanya, tanpa flirting halus Arjun atau tawa renyah Dewi yang tak tertahankan. Bisikan gosip pun mulai mereda, digantikan dengan gosip project baru atau drama karyawan lain. Semua kembali normal. Dewi seharusnya merasa lega, puas, dan kembali fokus pada kariernya.
Tapi tidak.
Dewi merasa ada yang hilang. Ruangannya terasa lebih sepi. Koridor terasa lebih panjang. Bahkan kopi hitamnya yang selalu menjadi penenang kini terasa hambar. Ia merindukan sapaan ceria Arjun, godaan-godaannya yang lucu, bahkan argumen-argumennya yang nyeleneh. Ia merindukan lesung pipitnya. Ia merindukan getaran aneh yang dulu ia sebut alarm bahaya, yang kini ia sadari adalah sebuah tarikan.
Suatu malam, ia mengeluarkan mug kopi susu viral itu dari lacinya. Ia membelai permukaannya, merasakan tekstur keramiknya yang halus. Ia merenung. Ia telah mengorbankan sesuatu. Sesuatu yang mulai terasa penting di hatinya, demi menjaga profesionalisme yang kaku. Apakah harga yang ia bayar sepadan? Apakah ia benar-benar lebih bahagia tanpa Arjun? Jawabannya adalah, tidak.
Air mata menetes di pipinya. Air mata yang sudah lama tidak ia keluarkan, air mata yang menunjukkan bahwa di balik citra Queen of Marketing yang kuat, ada hati yang rapuh dan baru saja menyadari kehilangannya. Ia tahu, ia telah menyakiti Arjun. Dan yang lebih parah, ia telah menyakiti dirinya sendiri.
15
Waktu terus berjalan. Bulan berganti. Dewi tetap menjadi Kepala Divisi Pemasaran yang handal, fokus pada pekerjaannya, dan mencapai target-target ambisius. PT Maju Mundur Sejahtera semakin maju, berkat kerja keras dan dedikasinya. Namun, ada lubang kecil di hatinya yang terasa kosong, tempat yang dulu diisi oleh senyum dan tawa Arjun. Arjun pun tetap bekerja di divisi pemasaran, namun kini ia lebih pendiam, lebih fokus pada pekerjaannya, dan jarang terlihat berinteraksi dengan siapa pun selain untuk urusan profesional. Binar di matanya telah hilang. Hingga tak terasa akhir tahun tiba.
Malam di akhir tahun, kantor mengadakan acara perpisahan untuk salah satu direktur yang pensiun. Acara diadakan di sebuah rooftop garden hotel, dengan pemandangan kota di malam hari yang gemerlap. Udara dingin berembus, membawa aroma masakan dan musik jaz yang lembut. Dewi, dengan gaun malam sederhana namun elegan, berbasa-basi dengan beberapa klien dan kolega. Ia melihat Arjun di sudut lain ruangan, berbicara dengan beberapa junior, senyum tipis di wajahnya, jauh dari keceriaan yang dulu.
Dewi tahu ini adalah kesempatannya. Kesempatan terakhir. Ia harus berbicara dengannya. Ia harus meminta maaf.
Dengan jantung berdebar, ia menghampiri Arjun.
"Arjun?"
Arjun menoleh, matanya sedikit membesar melihat Dewi di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan yang tulus.
"Bu Dewi? Ada apa?"
Nada suaranya datar, tanpa emosi, sebuah perubahan drastis dari Arjun yang ia kenal dulu.
Dewi menarik napas dalam-dalam.
"Bisa kita bicara sebentar? Di luar?"
Ia menunjuk ke arah balkon yang lebih sepi.
Arjun mengangguk, lalu mengikuti Dewi. Di balkon, udara terasa lebih sejuk, dan suara musik sedikit mereda. Hanya suara angin dan bisikan mereka.
"Arjun, saya… saya minta maaf," kata Dewi, menatap matanya. Ia tidak pernah meminta maaf kepada siapa pun di kantor kecuali kepada Direktur Utama.
"Maaf karena saya menjauh. Maaf karena saya tiba-tiba bersikap dingin."
Arjun menatapnya, ada sedikit keterkejutan di matanya. "Saya pikir Bu Dewi memang tidak nyaman dengan keberadaan saya. Saya mengerti kok, Bu. Profesionalisme itu penting. Apalagi Bu Dewi Kepala Divisi."
"Bukan itu, Arjun," Dewi menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Bukan karena saya tidak nyaman. Saya… saya hanya takut. Takut dengan apa yang orang lain katakan. Takut kehilangan apa yang sudah saya bangun. Saya… saya takut mengakui bahwa saya juga merasakan hal yang sama."
Arjun terdiam. Ada kilatan di matanya yang redup. "Merasakan hal yang sama?"
Dewi mengangguk. "Saya tahu ini kedengaran gila. Tapi saya merindukan obrolan kita. Saya merindukan candaan kamu. Saya merindukan… kopi susu viral itu." Dewi tersenyum getir. "Saya terlalu pengecut."
Arjun menatapnya, senyum tipis mulai muncul di bibirnya. Lesung pipitnya terlihat samar. "Jadi… Bu Dewi juga tertarik?"
Dewi tersipu. "Mungkin. Tapi kita tahu ini tidak mungkin kan, Arjun?" Ia mengulang kalimat yang dulu ia ucapkan, kini dengan nada yang lebih sedih.
"Terlalu banyak yang harus saya jaga. Reputasi. Profesionalisme. Dan kamu… kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, yang tidak harus bersembunyi."
Arjun menghela napas, ia mendekat satu langkah. "Saya mengerti, Bu Dewi. Saya juga tidak mau Bu Dewi sampai kena masalah." Ia tersenyum kecil. Ia kemudian mendekat satu langkah, jarak di antara mereka kini terasa sangat tipis.
"Tapi saya tidak peduli dengan semua itu, Bu Dewi. Yang saya pedulikan adalah Bu Dewi sekarang jujur sama saya. Dan sama diri sendiri." Ia tersenyum kecil tapi sedikit lebih lebar. "Mungkin memang tidak mudah. Tapi… saya tidak akan menyerah, Bu Dewi. Tidak akan semudah itu."
Dewi menatap Arjun, mata mereka bertemu. Ada rasa sakit, namun juga lega. Lega karena ia sudah jujur, lega karena Arjun memahaminya, dan lega karena harapan kecil itu masih ada.
"Mungkin kita memang tidak bisa seperti yang saya impikan dalam waktu dekat. Tapi, bisakah kita tetap jadi teman sekarang?" Arjun melanjutkan.
Dewi tersenyum. "Tentu, Arjun. Kita bisa jadi teman."
"Kalau begitu," Arjun tersenyum lebih lebar, lesung pipitnya kini terlihat jelas. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah saset kecil.
"Bagaimana kalau kita minum kopi susu viral terakhir kita? Di bawah bintang-bintang ini."
Dewi menatap saset itu, lalu menatap Arjun. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir pelan di pipinya, namun bukan air mata kesedihan, melainkan perpaduan kelegaan dan sedikit kepedihan yang manis.
Mereka berdua berjalan menuju sudut balkon yang lebih sepi. Arjun mengeluarkan dua cangkir kertas dari tas kecilnya yang entah disembunyikan di mana, lalu meminta air panas dari pelayan. Di bawah cahaya rembulan dan bintang, di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, mereka berbagi kopi susu viral terakhir mereka. Aroma manis kopi dan susu menyeruak di udara dingin.
"Ini kopi susu terenak yang pernah saya minum," kata Dewi, menyesapnya perlahan. Matanya menatap langit, lalu menatap Arjun di sampingnya. Arjun tersenyum, matanya memancarkan kedamaian.
Ada jarak di antara mereka, jarak fisik dan jarak yang tercipta dari keputusan yang harus mereka ambil. Tapi di malam itu, di bawah bintang-bintang, dengan secangkir kopi susu viral di tangan, mereka berbagi momen yang terasa pahit sekaligus manis. Sebuah akhir yang tidak sesuai harapan, tapi juga bukan akhir yang sepenuhnya buruk. Arjun, sang brondong yang berhasil merobohkan dinding pertahanan Dewi, akan selalu menjadi kenangan manis, sebuah babak dalam hidup Dewi yang membuatnya menyadari bahwa hati, terkadang, bisa menemukan rasa manis di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di antara tumpukan deadline dan garis usia yang memisahkan. Mereka mungkin belum bersama, dan entah bagaimana akan bersama, tapi ikatan yang pernah ada, meskipun singkat dan terlarang, akan selalu menjadi bagian dari cerita mereka.
Epilog
(Alternative karena author suka akhir yang manis-manis 😆)
Satu Tahun Kemudian
Bima menghela napas panjang, menikmati semilir angin malam yang bertiup di area Festival Musik Nostalgia. Ia sedang mencari penjual takoyaki di antara kerumunan. Sudah lama ia tidak datang ke acara seramai ini, apalagi setelah menikah dengan seorang gadis dari Divisi Keuangan yang juga sama-sama workaholic. Seharusnya ia di rumah, menonton serial detektif atau menyelesaikan laporan tambahan. Tapi istrinya bersikeras mereka butuh refreshing, dan ajakan band favorit mereka dari tahun 2000-an untuk reuni adalah tiket emas.
Suara dentuman musik pop-rock dengan lirik khas galau anak muda awal 2000-an memenuhi udara. Band yang vokalisnya berambut gondrong itu sedang membawakan lagu hits mereka, Matahariku Memudar. Bima terkekeh, mengingat masa SMP-nya yang penuh drama cinta monyet. Ia melirik jam tangannya, istrinya pasti sudah menunggunya di dekat panggung utama.
Saat ia berjalan melewati kerumunan, matanya tak sengaja menangkap sepasang sosok yang familiar di tengah-tengah lautan kepala bergoyang. Sepasang sosok yang entah mengapa terlihat paling kontras sekaligus paling serasi di antara penonton.
Seorang wanita, dengan rambut sebahu yang terlihat sedikit lebih pendek dari biasanya, tapi masih dengan aura elegan yang tak lekang dimakan usia. Ia mengenakan kaus band vintage yang serupa dengan kaus-kaus yang dulu sering dipakai Arjun, dipadukan dengan celana jeans yang membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Ia tertawa, tawanya renyah, kepalanya sedikit mendongak menatap pria di sampingnya. Tawanya itu menular, Bima bahkan bisa merasakannya dari jarak beberapa meter.
Di sampingnya, seorang pria jangkung dengan rambut sedikit berantakan, hampir mirip vokalis di panggung, kecuali ia tidak terlalu absurd. Pria itu memegang tangan sang wanita, jemarinya bertautan erat. Ia ikut tertawa, tawa renyahnya berpadu dengan tawa wanita itu. Lesung pipitnya terlihat jelas. Matanya yang dulu Bima kira hanya binar pegawai baru, kini tampak lebih dewasa, lebih tenang, namun tetap memancarkan kehangatan dan kebahagiaan yang tulus.
Di tangan mereka masing-masing tergenggam cup kopi kertas dengan desain latte art hati, salah satunya sudah setengah kosong. Kopi susu viral.
Bima menghentikan langkahnya. Ia menyipitkan mata, memastikan penglihatannya tidak salah. Ya, itu memang mereka. Bu Dewi Santika, Kepala Divisi Pemasaran yang Bima kenal kaku dan profesional, kini tampak begitu lepas dan bahagia. Dan Arjun Mahesa, si bibit unggul yang dulu ia goda karena genit, kini berdiri di sampingnya dengan senyum yang sama hangatnya, seolah merekalah pusat gravitasi di antara ribuan penonton.
"Wah… ternyata gosip gak meleset ya. Cocok juga," gumam Bima pada dirinya sendiri, seulas senyum geli dan kagum terukir di bibirnya. Ia melihat Bu Dewi memiringkan kepalanya, bersandar nyaman di bahu Arjun, sementara Arjun menoleh dan mencium puncak kepala Bu Dewi dengan sayang. Keduanya tampak seperti sepasang kekasih yang baru dimabuk asmara, bukan atasan dan bawahan yang dulu dipisahkan oleh dinding profesionalisme dan garis usia.
Bima menggelengkan kepala, teringat bagaimana dulu Bu Dewi mati-matian menolak setiap godaan Arjun, bahkan saat sang brondong itu terang-terangan mengakui perasaannya. Ia ingat kekakuan Bu Dewi setiap kali ada yang menyebut nama Arjun. Ternyata, kopi susu viral dan lagu-lagu itu memang punya kekuatan magis. Atau mungkin, cinta memang selalu menemukan caranya sendiri, bahkan di antara deadline dan perbedaan usia.
"Matahariku tak lagi memudar, dan kamu di sini..." suara vokalis band di panggung mengalun syahdu.
Bima tersenyum lebih lebar. Ia memutuskan untuk tidak mengganggu mereka. Biarkan saja mereka menikmati dunia kecil mereka, di tengah riuhnya konser. Ia berbalik, melanjutkan langkahnya mencari takoyaki, dengan hati yang sedikit menghangat. Kalau dipikir-pikir, mungkin sesekali keluar dari zona nyaman itu memang perlu. Seperti Bu Dewi yang berani keluar dari zona kopi hitamnya, dan sekarang dia terlihat lebih bahagia dari sebelumnya.
"Nanti aku harus kasih tahu istriku. Oh iya, Bu Ida juga," gumam Bima geli, sambil membayangkan reaksi istrinya dan Bu Ida yang pasti akan heboh mendengar kabar ini. Ia terkekeh.
"Dan mungkin, aku juga harus coba kopi susu viral itu. Siapa tahu ada keajaiban lain."