Semua dimulai dari surat yang datang sepuluh hari setelah kematian ibuku.
Bukan dari notaris. Bukan dari kerabat jauh. Tapi dari *ibuku sendiri*.
“Jika kau membaca ini, berarti aku telah pergi. Tapi kau belum mengenalku sepenuhnya. Hidupku adalah teka-teki, dan kamu adalah bagian dari jawabannya. Ikuti petunjuk ini jika kamu ingin tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Begitu bunyinya. Surat itu disertai potongan foto sobek, sebuah kunci kuningan, dan alamat rumah tua di perbukitan utara—yang katanya terbakar 17 tahun lalu.
Aku, Namira, gadis 18 tahun yang selalu merasa hidupnya datar, tiba-tiba dipaksa masuk ke dalam skenario film thriller yang tak pernah kuminta. Tapi ada bagian dari diriku—bagian yang selalu merasa "asing" di rumah sendiri—yang tak bisa menolak ajakan itu.
Rumah yang Harusnya Tidak Ada
Alamat itu membawaku ke tempat sunyi, hampir tak tersentuh waktu. Namun yang mengejutkan: rumahnya masih berdiri. Tidak terbakar. Tidak runtuh. Bahkan lampunya menyala.
Pintu terbuka dengan sendirinya saat aku mendekat. Lalu suara terekam dari speaker kuno terdengar:
“Tebak, Namira. Apa yang paling sering kau lihat, tapi tak pernah kau perhatikan?”
Di dalam ruang tamu kosong itu, ada empat lukisan tergantung. Semua menunjukkan... bayangan seseorang.
Aku mengingat surat itu. Ibuku sering berkata: “Orang tidak akan mengenal dirinya sampai melihat bayangannya sendiri.”
Aku berbisik, “Bayangan.”
Pintu ke ruang dalam terbuka perlahan.
Di dalam, aku menemukan ruang yang dipenuhi buku harian. Semuanya milik seorang perempuan bernama Nadira.
Namira. Nadira.
Kebetulan? Tidak.
Di dalam salah satu buku, aku membaca catatan:
“Hari ini aku mengantar bayi itu ke keluarga pengganti. Mereka pikir dia putriku, padahal bukan. Tapi aku berjanji akan menjaganya dari jauh. Aku bahkan memberinya nama hampir seperti namaku. Semoga dia tidak pernah tahu…”
Tanganku gemetar.
Aku bukan anak kandung ibuku?
Tapi siapa Nadira? Mengapa dia menyerahkan aku?
Dan kenapa rumah ini menyimpan buku harian yang begitu... pribadi?
Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, **telepon tua** di dinding berdering keras. Tanpa sadar aku mengangkat.
“Namira,” suara laki-laki tua, berat, namun akrab. “Jangan percaya siapa pun yang mengaku ibumu. Bahkan Nadira sekalipun. Kebenaran tidak akan kau temukan di buku... tapi di cermin.”
Wajah yang Bukan Wajahku
Aku berlari ke lantai atas, mengikuti lorong yang penuh lukisan wajah-wajah samar.
Salah satu pintu terbuka sendiri—seolah menuntunku.
Di dalamnya hanya ada cermin besar dan meja rias tua.
Aku menatap pantulan diriku.
Dan berhenti bernapas.
Wajah di dalam cermin... bukan wajahku.
Matanya biru. Kulitnya pucat. Rambutnya keriting. Aku seperti melihat versi alternatif dari diriku di dunia lain.
Tiba-tiba, pantulan itu **tersenyum**, sementara aku tidak.
Lalu ia mengucapkan kata yang tak bisa kudengar, tapi jelas terbaca di bibirnya:
"Namamu bukan Namira".
Identitas yang Terbelah
Setelah kutelusuri lebih dalam rumah itu, aku menemukan sebuah **rekaman video VHS lama**. Dalam video itu, Nadira berdiri di depan kamera.
“Kalau kau menonton ini, kau pasti telah membuka semua pintu yang tak seharusnya. Tapi aku tahu kamu akan tetap masuk. Karena itu sifatmu—keras kepala seperti ibumu.”
Dia tertawa pelan.
“Namira… atau Haruni, nama aslimu yang lama. Kau adalah bagian dari eksperimen ‘Identitas Terpisah.’ Proyek ini melibatkan anak-anak yatim piatu yang diberi dua identitas—dua kehidupan yang tak saling tahu. Separuh tinggal bersama keluarga A, separuh lagi dibesarkan dengan kenangan buatan melalui terapi sugesti.”
“Kau... adalah satu-satunya yang tak pernah sepenuhnya terhapus ingatannya. Itulah mengapa kau sering bermimpi tentang tempat yang belum pernah kau kunjungi.”
Jantungku berdegup kencang. Apakah aku... benar-benar punya **dua kehidupan**?
Plot Twist Pertama: Aku Adalah…?**
Di ruang bawah tanah rumah itu, aku menemukan **lemari berisi baju-baju kecil**, mainan anak-anak... dan **kerangka manusia**.
Tulang kecil. Bayi.
Di dinding ada tulisan:
“Satu harus hidup. Satu harus hilang.”
Aku melihat kembali surat ibuku.
Lalu aku sadar... ada coretan di baliknya, jika diterawang:
“Maaf, Haruni. Aku memilih Namira.”
Aku bukan anak yang dipilih?
Tapi... aku hidup.
Apakah aku yang **harusnya menghilang**?
Telepon Kembali Berdering**
Kali ini suara dari ujung sana berkata,
“Jika kau ingin tahu seluruh kebenaran, kembali ke tempat semuanya dimulai. Bukan rumah, bukan sekolah. Tapi ke dalam dirimu sendiri.\*\*
**Cari ruang tak bernama dalam ingatanmu.**
**Tapi hati-hati. Tidak semua teka-teki perlu diselesaikan.”**
Plot Switch Kedua: Aku Bukan Tokoh Utama?**
Keesokan harinya, aku pergi ke rumah sakit jiwa tua yang kini jadi gedung arsip kota. Di bagian catatan kelahiran, aku menemukan dokumen:
Nama: Haruni N.
Status: Meninggal saat lahir.
Dikremasi: Tidak. Hilang.
Aku kembali ke rumah tua itu, dan di cermin... aku melihat **Nadira berdiri di belakangku**, walau saat aku menoleh, dia tak ada.
Akhirnya aku sadar.
Aku bukan Namira.
Aku bukan Haruni.
Aku adalah pantulan dari keduanya.*
Dan rumah itu...
...tidak pernah ada.
Keesokan paginya, aku terbangun di ranjang rumah sakit. Di sampingku duduk seorang dokter.
“Selamat pagi, Haruni,” katanya lembut. “Selama dua tahun ini, kau terus memanggil dirimu Namira. Tapi ini hari yang baik. Kau akhirnya menyadari siapa dirimu.”
Aku hanya menatap kosong ke jendela.
Sambil memegang surat yang tak ada tulisan apa-apa.
---