SMA Tunas Mandiri — sekolah yang terkenal bukan karena akademiknya, tapi karena kantinnya yang punya batagor terenak se-kecamatan.
---
Namaku **Jelita**, 16 tahun, kelas 11 IPS 2. Tapi tenang, nama boleh Jelita, kenyataan bisa beda jauh. Tinggiku 153 cm, sering dibilang “imut” padahal aku pengennya dibilang “aura-aura dingin misterius kayak cewek Korea di K-Drama”. Realitanya? Aku lebih sering disangka anak kelas 7. Sakit sih, tapi udah biasa.
Tapi kisah ini bukan tentang batagor atau krisis identitas. Ini tentang **Fathan**.
Siapa Fathan?
Cowok kelas sebelah. Rambutnya agak ikal, kulitnya sawo matang, senyumnya manis, dan yang paling penting… dia **penjual cilok di kantin**. Yes. Kamu nggak salah baca. Bukan anak OSIS, bukan ketua kelas, bukan juga pemain basket. Tapi **penjaga stand cilok**, gantian bantuin ibunya jualan tiap istirahat.
Dan aku… sudah **naksir berat** sejak semester lalu.
---
Semua bermula karena… cilok. Sederhana banget ya? Tapi kadang cinta datang sesimpel itu. Hari itu, aku pertama kali nyobain cilok di kantin, dan saat aku bilang “Bang, sambalnya pedes nggak?”—dia senyum dan jawab, “Kalau kamu kuat, sambalnya nggak akan kalah.”
GILA. DIA BISA SEGITU TENANGNYA NGOMONG GOMBAL GITU?
---
Sejak saat itu, aku jadi langganan stand cilok. Bahkan saking seringnya, temen-temen segenkku sampe bikin julukan buatku: **Cilover**.
“Eh si Cilover udah ke stand belum hari ini?”
“Kamu makan cilok mulu, Jel. Cintanya yang kamu beli, bukan ciloknya ya?”
“Fathan tuh udah kayak side dish-nya.”
**Tega banget. Tapi valid.**
---
Tiap hari aku bikin *mission plan*. Beli cilok jam 09.50, pas istirahat mulai, biar nggak antre. Duduk deket stand, pura-pura baca buku (padahal nunggu dia nyapa), dan kalau berani dikit, kasih senyum. Tapi dia? Biasa aja. Ramah sih, tapi nggak ada tanda-tanda dia tahu aku suka.
Sampai suatu hari...
---
**Senin pagi yang mendung.**
Aku lagi nyapu kelas (giliran piket, bro), dan tiba-tiba ada yang nyodorin satu bungkus cilok ke mejaku.
“Eh? Ini punya siapa?”
“Dari Fathan, katanya kamu nggak antre hari ini. Jadi dia titipin ke aku,” kata Maira, temen sekelasku yang kenal Fathan.
Deg.
Deg.
DEG BANGET.
Aku panik. Ini kode? Ini tanda? Ini cinta yang akhirnya mulai satset? APA INI?
---
Gak nunggu lama, aku langsung lari ke kantin. Dengan gaya sok cool yang gagal total karena napas ngos-ngosan.
“Fathan!”
Dia lagi ngatur cilok, dan waktu nengok… dia senyum.
“Eh, udah dapet ciloknya?”
“Udah… kamu ngasih ya?”
“Iya, aku kira kamu sakit atau gimana. Soalnya kamu tiap hari ada, tadi nggak kelihatan.”
Deg (lagi).
“Eh, kamu… ngamatin aku ya?”
Dia senyum. “Ya iya lah, **kan kamu pelanggan VIP.**”
Oke. Aku meleleh. Aku bisa wafat saat itu juga kalau nggak inget masih ada pelajaran matematika habis ini.
---
Hari-hari setelah itu... beda. Fathan jadi sering nyapa duluan. Kadang dia naruh tulisan kecil di bungkus cilok:
“Lagi ujan, jaga kesehatan ya.”
“Atau: “Hari ini sambalnya aku bikin pedes, biar kamu semangat.”
Kalau ini bukan flirting, aku nggak tahu lagi harus nyebutnya apa.
---
Sampai akhirnya hari Jumat datang. Hari dimana aku **nembak cowok, pake cilok.**
Konyol? Iya.
Tapi aku capek nunggu kode terus.
---
Aku bungkus cilok sendiri di rumah, masukin ke kotak kecil. Di dalamnya, aku sisipin kertas kecil:
**“Cilok bisa kenyal, tapi hati aku lembek kalau lihat kamu.”**
Dan satu pertanyaan:
**“Mau jadi pacarku nggak? Kalau mau, besok kasih aku bonus cilok 2 tusuk. Kalau nggak, yaudah… cukup 1 tusuk aja. Biar aku tahu batasnya di mana.”**
---
Besoknya, aku ke kantin. Tangan gemeter. Keringat dingin padahal AC di kelas 16 derajat.
Dan waktu aku nerima cilok…
Ada **3 TUSUK.**
---
Aku bengong.
“Nggak salah nih?”
Fathan senyum, nyender ke meja standnya.
“Bukan. Aku serius. Tiga tusuk. Satu buat bilang aku suka juga. Satu buat kita mulai kenalan lebih dekat. Dan satu lagi…”
Dia berhenti sebentar, “buat jaga-jaga. Siapa tahu kamu ngambek kalau aku cuma kasih dua.”
---
**DAN AKU?**
Aku ngakak. Di kantin. Sambil nangis-nangis malu.
**Gimana nggak jatuh cinta sih ama cowok kayak gini?**
---
Sekarang, tiap istirahat aku masih ke stand cilok. Tapi bedanya, aku nggak lagi pura-pura baca buku. Aku duduk bareng dia, bantuin ngitung duit receh, kadang bantu bungkusin pesanan.
Dan temen-temen segenkku? Masih manggil aku Cilover. Tapi sekarang lebih lengkap:
**Cilover—yang akhirnya disayang balik.**