Lantai 88. Gedung Zhang Tower. 06.00 pagi.
Pintu lift terbuka perlahan. Suara langkah kaki terdengar pelan, teratur, nyaris seperti irama detak jam mewah buatan tangan. Seorang pria berjas hitam melangkah masuk ke ruang kerja yang dindingnya terbuat dari kaca transparan, menghadirkan pemandangan seluruh kota yang masih terbangun dalam kabut pagi.
Namanya Ethan Zhang.
Usianya tiga puluh lima.
Tampangnya tenang. Matanya tajam.
Dan dia—tanpa debat—adalah penguasa dunia bisnis Asia.
Bukan karena warisan.
Bukan karena nama belakangnya.
Tapi karena dia membangunnya dari bawah—lalu mengambil alih semua yang di atas.
Jam tangan di pergelangan kirinya bukan sekadar alat penunjuk waktu. Itu adalah Patek Philippe Grand Complication, satu dari tujuh yang pernah dibuat. Sepatunya—kulit buaya hitam dari Firenze. Jasnya—buatan tangan dari rumah mode Prancis yang hanya melayani tiga klien global.
Semuanya bukan pamer.
Baginya, itu hanya seragam perang.
Karena setiap hari adalah pertempuran kelas tertinggi.
Jam 06.15, kopi favoritnya sudah disajikan. Tanpa perlu bicara, tanpa perlu perintah. Asisten pribadinya, Clara, sudah hafal dengan segala detail kecil dalam hidup sang CEO.
“Agenda pagi ini?” tanya Ethan, tanpa menoleh.
“Meeting akuisisi di Singapura, virtual conference dengan dewan di Tokyo, dan laporan valuasi perusahaan minyak di Dubai.”
Ethan menyeruput kopinya perlahan.
“Kita batalkan Singapura. Aku tidak suka angka mereka.”
Clara mencatat, tanpa bertanya. Ia tahu, jika Ethan mengatakan "tidak", itu berarti dunia akan menyesuaikan.
Jam 09.00
Tiga eksekutif dari perusahaan teknologi terbesar di Amerika duduk di ruang pertemuan.
Tangan mereka gemetar saat menyodorkan proposal merger.
Ethan duduk di kursi tengah. Tidak banyak bicara. Ia hanya membaca halaman pertama, lalu menutup dokumen itu.
“Lima miliar? Kalian pikir kalian sedang berdagang di pasar malam?”
Ketiganya saling pandang, panik.
“Kalau kalian serius,” lanjut Ethan, “angkat angkanya ke delapan. Dan aku ingin hak voting mayoritas. Jika tidak, kalian bisa pergi, dan aku akan beli pesaing kalian dalam seminggu.”
Tak ada yang berani menjawab.
Karena semua tahu, Ethan Zhang tidak mengancam—dia menentukan.
Jam 12.30
Ethan makan siang sendirian di helipad.
Bukan karena kesepian. Tapi karena hanya udara setinggi 400 meter yang cukup bersih untuk pikirannya.
Hidangannya sederhana: wagyu A5 dengan taburan garam laut dari Norwegia dan anggur putih yang hanya diproduksi 12 botol setahun.
Seorang pelayan membungkuk, membawa kertas hasil lelang properti di Monaco.
Ethan melihat sekilas.
“Menangkan semuanya. Ganti nama bangunannya jadi Yichen Estate.”
Jam 15.00
Ia terbang ke Dubai menggunakan jet pribadi. Di langit, ia menyelesaikan tiga kesepakatan bisnis, menandatangani kontrak senilai 1,2 triliun, dan membatalkan IPO satu perusahaan hanya karena CEO-nya memakai dasi murahan saat rapat.
Ethan tidak hanya membeli bisnis. Ia membentuk standar dunia.
Jam 21.00
Ia kembali ke penthouse. 110 lantai di atas bumi. Langit-langit ruangan setinggi 6 meter, marmer Italia, dan jendela kaca melingkar yang memperlihatkan seluruh kota berkelip seperti semesta di genggaman.
Tapi tidak ada musik. Tidak ada pesta. Tidak ada keramaian.
Karena Ethan tidak butuh perhatian.
Dunia sudah tahu siapa dia.
Ia duduk, membuka laptop, dan menulis satu kalimat ke tim direktur:
“Siapkan rapat dengan pemerintah Swiss minggu depan. Aku ingin kendali penuh atas sistem transfer keuangan mereka.”
Tidak ada yang bertanya kenapa.
Karena ketika Ethan Zhang bicara, hukum bisnis dunia berubah.
Dia bukan hanya CEO. Dia adalah raja tanpa mahkota.
Dan dunia… hanyalah papan catur.
Lanjut episode 2