💖 Konsep Cerpen:
Tema: First love yang canggung, manis, bikin deg-degan—bener-bener khas anak SMA kelas 1.
Vibes: Hangat, sederhana, polos… tapi ada butterflies moment yang gemesin.
------
(Part 1: Senyum yang Duduk di Sebelahku)
"Pernah nggak sih, kamu duduk diam di sudut kelas, lalu semesta tiba-tiba naruh seseorang di sebelahmu, dan setelah itu... segalanya berubah?"
────────────────────────────────────
Aku selalu duduk di bangku paling belakang, dekat jendela. Tempat itu seperti zona nyaman buatku—sunyi, adem, jauh dari keributan dan lelucon receh geng cowok-cowok kelas.
Biasanya, bangku di sebelahku ditempati Dara—sahabat sekaligus pelindungku dari dunia luar yang terlalu bising. Tapi sejak Dara pindah sekolah minggu lalu, bangku itu kosong. Rasanya... sepi. Lebih sepi dari biasanya.
Dan hari ini, pagi-pagi banget, aku datang lebih awal dari biasanya. Aku taruh tasku di atas meja, duduk, lalu menatap keluar jendela. Hujan rintik masih menggantung di kaca. Bau tanah basah dan suara jarum jam di kelas adalah kombinasi yang menenangkan.
Hingga...
“Eh, Nad… boleh duduk sini nggak?”
Suara itu datang dari arah pintu.
Aku menoleh… dan langsung merasa detak jantungku kehilangan ritme.
Rayhan Alvaro.
Si cowok paling rame, paling sering ngelawak, paling gampang akrab sama siapa pun. Termasuk guru.
Dan sekarang, dia... minta duduk di sebelahku?
Aku butuh tiga detik sebelum mengangguk pelan.
“Tempat gue pindah ke deket papan tulis. Pusing, Nad, tiap hari diliatin Bu Risa pas lagi ngantuk.”
Ray tertawa ringan. Tangannya udah naruh tas di sebelahku. “Tenang, gue nggak bakal ganggu kamu nulis-nulis di buku diary kamu itu, kok.”
Aku langsung menoleh tajam.
“Itu bukan diary,” gumamku pelan.
“Yakin? Soalnya gue pernah liat kamu senyum-senyum sendiri waktu nulis.”
Dia menyeringai.
Mati aku.
Aku lupa dia duduk satu baris waktu ulangan minggu lalu.
“Gue cuma… nulis tugas,” kataku cepat, menunduk.
Ray malah ketawa lagi. Suaranya ringan, kayak hujan yang baru berhenti.
Dan anehnya… aku nggak keberatan suara itu dekat denganku.
Hari-hari berikutnya, Ray tetap duduk di sebelahku.
Kadang dia ngajak ngobrol soal hal-hal random: soal tugas, soal drama baru yang rame di TikTok, soal makanan kantin. Aku cuma jawab sekenanya.
Tapi dia nggak pernah berhenti.
“Nad.”
“Hmm?”
“Lo nggak capek jadi misterius gini terus?”
Aku melirik. “Lho, siapa yang misterius?”
“Kamu.”
Dia menoleh, matanya menatapku lurus. “Tiap hari kamu nulis sesuatu, tapi nggak pernah cerita.”
Aku menutup bukuku cepat-cepat.
“Karena nggak semua hal harus diceritain.”
Ray nggak balas. Tapi dia senyum. Bukan senyum yang meledek. Senyum yang… hangat. Yang nggak aku duga bisa bikin pipiku panas.
Suatu hari, saat istirahat, aku nemu secarik kertas kecil diselipin di bawah buku tulisku.
“Aku tahu kamu suka puisi. Tapi hari ini, bisakah kamu jadi puisiku?”
— R
Aku berhenti napas sejenak.
Aku tahu siapa yang nulis ini. Dan itu cukup untuk bikin dada aku… sesak dan hangat bersamaan.
---
🌸 To be continued...