Bab 3 — Tarian Di Ujung Peluru
Nara mengetuk pintu ruangan dengan ketukan ringan, lalu masuk tanpa menunggu izin.
Kael mengangkat pandangannya dari dokumen. Mata mereka bertemu — hening, tapi ada desiran gila yang berputar di udara. Nara menyodorkan map laporan mingguan, dan Kael mengambilnya tanpa bicara.
"Sudah kau tandatangani kontrak pengiriman dari Tokyo?" tanya Kael tanpa menoleh.
"Sudah. Tapi mereka minta pertemuan tatap muka."
Kael menatapnya lekat. "Kau yang berangkat."
Nara mengangkat alis. "Aku asistenmu, bukan kepala ekspor."
Kael berdiri. Tubuh tingginya melangkah pelan ke arah Nara, seperti bayangan pemburu mendekati mangsanya. Tapi wajahnya tetap tenang. "Kau bukan sekadar asisten, Nara."
Ketegangan itu naik pelan seperti kabut. Nara tahu, Kael bukan laki-laki biasa. Bahkan sejak kuliah dulu, tatapannya tak pernah berubah — tajam, penuh kendali, dan… haus akan kekuasaan.
Dan Nara? Ia menyukainya begitu. Karena mereka sama.
"Ada yang mengikuti mobilmu tadi pagi," Kael berkata tiba-tiba.
Nara tidak terkejut. "Mereka orang ayahku. Mungkin ingin tahu aku masih setia atau tidak."
"Dan kau?" Kael melangkah lebih dekat, hanya berjarak beberapa inci dari wajah Nara. "Masih setia?"
Nara menatap matanya. "Aku milikmu. Bahkan jika kau mengkhianatiku."
Kael tersenyum miring. "Berbahaya."
Nara tertawa kecil. “Aku tidak takut bahaya. Aku mengencani bahaya setiap hari sejak umur enam belas.”
Suasana di antara mereka seperti bom waktu — belum meledak, tapi detiknya terdengar jelas.
Lalu twist itu muncul.
Kael membuka map dokumen yang tadi diberikan Nara, dan dari sela-selanya, jatuh sebuah foto. Foto yang tak seharusnya ada.
Wajah lelaki tua. Luka tembak di pelipis. Di belakangnya, sosok wanita bertudung hitam… dengan cincin yang sama seperti yang kini ada di jari Nara.
"Ini bukan dari Tokyo, kan?" suara Kael rendah, nyaris bisikan.
Nara tidak mencoba membela diri. "Itu urusan lamaku. Bukan urusan perusahaan."
Kael menatapnya tajam. "Kau membunuh seseorang, Nara."
"Ayahku yang menyuruh," jawabnya tenang.
"Dan kau melakukannya tanpa pikir panjang?"
"Kenapa tidak?" Nara tersenyum gelap. "Bukankah kita memang diciptakan untuk melakukan yang orang lain takutkan?"
Diam.
Kael mencengkeram bahu Nara. Bukan dengan marah, tapi dengan nafsu akan kebenaran. "Kau menyusup ke perusahaanku, berpura-pura jadi asisten, tapi kau belum pernah menyentuh informasi rahasia. Kenapa?"
Nara membalas tatapannya. “Karena aku tidak mau menghancurkanmu. Aku mau memiliki seluruh dirimu, bukan menjatuhkanmu.”
Kael terdiam.
Cinta mereka bukan kelembutan. Tapi obsesi. Dan luka. Dan darah yang menempel di tangan mereka bukan penghalang — justru pemicu.
"Lain kali," Kael berbisik di telinga Nara, "jika kau ingin menyembunyikan mayat, bersihkan darahnya lebih rapi."
Nara tertawa. "Itu tawaran bantuan atau ancaman?"
Kael menyentuh pipinya. “Itu cinta.”
Tapi mereka tak sadar, seseorang sedang memantau mereka. Kamera tersembunyi di sudut ruangan kantor, menyala — merekam semuanya.
Dan seseorang di balik layar komputer tersenyum sinis. “Akhirnya kalian muncul juga.”
---
Pertanyaan untuk pembaca:
Siapa yang mengawasi Kael dan Nara diam-diam? Apakah orang itu dari masa lalu mereka? Atau dari organisasi yang lebih besar dari keduanya?