Bab 2 — Ruang Tanpa Jalan Keluar
✦✦✦
Kael duduk di balik meja kerjanya, wajahnya dingin seperti biasa, tapi jari-jarinya yang menggenggam pulpen sedikit gemetar. Nara menyadarinya. Ia tahu Kael bukan takut… dia hanya terprovokasi. Dan itu lebih menarik dari apa pun di dunia ini.
"Jadi, kau menyamar jadi asistenku hanya untuk mendekatiku?"
Kael bicara pelan, hampir seperti bisikan. Tapi nada itu cukup menusuk.
“Bukan cuma untuk mendekat.” Nara duduk perlahan di kursi di depannya. “Tapi untuk mengikatmu. Menjebakmu. Biar kamu gak pernah bisa lepas dari aku lagi.”
Senyumnya bukan senyum manis. Tapi senyum seseorang yang menyimpan luka bertahun-tahun dan mengemasnya jadi rencana berlapis.
Kael menatapnya tanpa emosi. Tapi di dalam pikirannya, semuanya berkecamuk.
Ia masih mengingat Nara. Gadis dari kelas filsafat, yang duduk di belakangnya dan diam-diam menulis nama Kael di setiap sudut bukunya. Gadis yang... dulu pernah ia cintai. Tapi juga yang menyebabkan keluarganya hancur.
“Kamu tahu ayahku mati karena keluarga mafia kalian?” suara Kael tiba-tiba berat, matanya tajam. “Dan kamu masih berani duduk di depan aku sekarang, dengan wajah seolah gak pernah ngelakuin dosa?”
Nara tersenyum. Tapi kali ini senyumnya menyakitkan, hampir seperti mengandung duka yang dalam.
"Ayahku juga dibunuh. Bukan oleh ayahmu. Tapi oleh sistem yang kalian pelihara. Kita sama, Kael. Sama-sama korban. Sama-sama pembunuh."
Keheningan. Satu menit yang terasa seperti jurang waktu.
Kael bangkit dari kursinya dan menghampiri jendela, memandangi kota yang bercahaya di tengah malam. Nara tidak bergerak sedikit pun, hanya menatap punggungnya.
“Kamu nggak pernah lupa aku, kan?” bisik Nara.
Kael tertawa kecil, dingin. “Aku bahkan ingat bau parfummu waktu kuliah.”
“Jadi kenapa kamu kabur waktu itu?”
Kael menoleh. Matanya gelap, penuh rahasia. “Karena aku tahu kamu bukan wanita biasa. Dan aku bukan pria yang cukup waras untuk menghadapi kamu setiap hari.”
✦✦✦
FLASHBACK
Kael, waktu itu masih mahasiswa ambisius dengan masa depan cerah. Dia jatuh cinta pada Nara, gadis yang tampak lugu di kelas. Tapi semuanya berubah ketika ia memergoki Nara memegang pistol di belakang gedung kampus—wajahnya berlumur darah dan tangannya gemetar.
"Aku nggak sengaja…" suara Nara waktu itu masih bergetar. “Dia mau nyentuh aku. Aku... aku cuma mau ngebela diri.”
Kael berdiri diam. Tapi sejak saat itu, ia tahu gadis itu bukan siapa yang ia pikirkan.
Sejak malam itu, ia mulai menarik diri, menjauh perlahan. Tapi hatinya tak pernah bisa benar-benar lepas.
✦✦✦
Kembali ke masa kini.
Malam itu Nara berdiri, berjalan mendekati Kael. Jarak mereka hanya sejengkal.
"Kael," bisiknya. "Aku bukan cewek baik. Tapi kamu juga bukan cowok baik. Jadi kenapa kita harus pura-pura jadi orang lain?"
Kael menyentuh dagunya pelan, matanya menyelami dalam pupil Nara.
“Aku gak tahu kenapa kamu balik sekarang, Nara. Tapi satu hal yang harus kamu tahu… Kalau kamu pikir kamu bisa main-main denganku, kamu salah besar.”
“Aku gak main-main, Kael. Aku balik untuk menyelesaikan apa yang pernah kita mulai.”
“Dan kalau aku gak mau?” tantangnya.
Nara tersenyum… kali ini dengan mata yang penuh air mata.
“Sayangnya, aku sudah terlalu lama mencintai kamu dengan cara yang salah. Jadi kamu gak punya pilihan.”
✦✦✦
Pertanyaan untuk pembaca:
Seberapa jauh seseorang bisa menyimpan luka dan cinta dalam satu ruang yang sama?
Apakah ada cinta yang benar-benar lahir dari kegelapan… tanpa ingin menghancurkan?