Lumina, yang dulunya adalah tempat paling terang, kini diselimuti kegelapan yang pekat. Cahaya bintang dan matahari nyaris tak menembus, membuat segala sesuatu terasa hampa dan tanpa arah. Di sinilah takdir memanggil seorang pria dari dunia lain, Leo.
Leo merupakan ilmuwan astrofisika dan penemu sistem energi surya mutakhir. Ia dikenal sebagai seorang jenius yang brilian, selalu yang tercepat dalam memecahkan masalah kompleks, dan tak ragu menganggap dirinya yang terbaik.
Baginya, pengetahuan adalah kekuasaan, dan ia tidak pernah salah. Ia memandang rendah mereka yang lamban dalam memahami gagasannya. Cahaya adalah domainnya, sebuah entitas yang ia pahami sepenuhnya, ia kuasai — setidaknya, begitulah ia pikir.
Saat terbangun di tengah kegelapan pekat Aeridor, dengan lambang matahari bersinar terukir di lengannya, Leo merasakan kemampuan untuk memanipulasi cahaya. Awalnya, hanya kilatan kecil, lalu pendaran samar, hingga ia bisa menciptakan berkas cahaya yang kuat. Namun, ia tidak segera merasa kagum.
"Ini hanya manifestasi fisika partikel tingkat lanjut. Aku sudah tahu ini," gumamnya, dengan nada angkuh.
Seorang wanita bijaksana dari suku Cahaya, bernama Elara, menemukannya, matanya tampak layu oleh kegelapan. Wajahnya dipenuhi kesedihan saat ia menunjuk ke arah langit yang kelam.
"Cahaya utama kami, Sumur Nurani, meredup, Tuan," suara Elara berbisik, hampir tidak terdengar.
"Kegelapan abadi mengancam menelan Aeridor. Hanya seorang Penjelajah Cahaya yang akan bisa menyalakannya kembali."
Elara menjelaskan tentang Sumur Nurani, inti cahaya purba yang dulu menerangi seluruh dataran, memberi kehidupan pada flora dan fauna unik, dan menjaga kejernihan pikiran. Leo mengernyitkan dahi.
"Aku? Penjelajah Cahaya? Hanya aku? Tentu saja hanya aku. Siapa lagi yang bisa memahami prinsip fundamental alam semesta seperti ini?" ucapnya, membusungkan dada.
Namun, kegelapan yang begitu pekat di sekitarnya, sesuatu yang tak pernah ia lihat di dunianya yang selalu terang, sedikit menggoyahkan kesombongannya.
"Baiklah. Ini hanya masalah aplikasi teknologi. Aku akan menyelesaikannya secepatnya."
Meskipun dalam hati merasa tak ada yang perlu dipelajari dari makhluk primitif seperti Elara, Leo setuju. Ia mulai melatih kemampuannya, lebih tepatnya, menguji hipotesisnya. Awalnya, ia bisa menciptakan pendaran hangat yang menerangi sekelilingnya sejauh beberapa meter, lalu berkas cahaya yang cukup kuat untuk melubangi batu. Dengan bimbingan Elara yang sering ia abaikan, ia belajar merasakan getaran cahaya, memadatkan energi foton, bahkan menciptakan perisai cahaya yang nyaris tak terlihat.
Ia menyadari bahwa cahaya di Aeridor lebih dari sekadar gelombang elektromagnetik. Ia adalah harapan, kebenaran, dan penyingkap kegelapan. Kekuatan Cahaya terasa seperti ekstensi alami dari kecerdasannya, sebuah konfirmasi bahwa ia memang yang paling hebat.
Perjalanan Leo menuju Sumur Nurani membawanya melintasi Hutan Bayangan Menipu, sebuah hutan lebat yang dulunya dipenuhi cahaya terang, kini diselimuti kegelapan abadi. Pepohonan di sana tampak seperti siluet hantu, dan setiap langkah terasa menyesatkan. Udara dingin dan lembap, dan bayangan-bayangan bergerak cepat di antara pepohonan, makhluk-makhluk yang lahir dari kegelapan stagnasi cahaya.
Saat Leo melangkah ke dalam hutan, kegelapan terasa membebani pandangannya. Tiga Pemburu Bayangan raksasa setinggi tiga meter muncul dari balik pepohonan yang kelam. Tubuh mereka terbuat dari bayangan padat, mata mereka bersinar merah redup, dan mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, nyaris tak terlihat dalam kegelapan. Mereka menyerang dengan melesat cepat ke arah Leo, mencoba menguras cahaya dari tubuhnya dengan sentuhan mereka yang dingin dan menghisap energi.
"Mereka penyerap cahaya!" teriak Elara, yang menyertainya, suaranya dipenuhi ketakutan. Leo menghindar dari serangan pertama, merasakan hawa dingin yang menusuk.
"Cih, hanya bayangan. Mengganggu sekali," gumam Leo, meremehkan.
"Lihat bagaimana seorang ilmuwan sejati mengatasi ilusi."
Ia tahu ia tidak bisa melawan mereka dengan kekuatan mentah, karena mereka menyerap energinya. Leo mengubah strateginya. Ia menciptakan bola-bola cahaya yang sangat terang, lalu menembakkannya secara akuler ke arah para Pemburu Bayangan, bukan untuk membakar, melainkan untuk membombardir mereka dengan energi foton. Pemburu Bayangan menjerit, bayangan mereka beriak dan mulai memudar. Saat mereka terhuyung, Leo melompat mundur, kemudian dengan cepat melancarkan semburan cahaya lebar ke arah tanah di sekitar mereka. Cahaya itu menerangi area itu sesaat, memaksa Pemburu Bayangan untuk mundur ke dalam bayangan pohon. Dengan Pemburu Bayangan yang tertahan, Leo mengumpulkan cahaya di kedua tangannya, memadatkan menjadi dua bola cahaya murni yang menyilaukan, lalu melemparkannya tepat ke inti dada Pemburu Bayangan. Dengan suara "Pooof!", Pemburu Bayangan itu lenyap, terurai menjadi partikel-partikel cahaya yang menghilang. Leo tersenyum sombong.
"Terlalu mudah. Fisika dasar."
Leo melanjutkan perjalanannya yang tak kenal lelah, hingga tiba di mulut Jurang Kehilangan, sebuah ngarai yang dipenuhi kabut gelap yang berputar-putar, nyaris tanpa dasar. Udara terasa berat, dipenuhi bisikan-bisikan menyesatkan yang mencoba meruntuhkan semangat. Di sinilah ia menghadapi Roh-roh Keraguan, entitas-entitas ilusi yang terbentuk dari ketidakpastian dan ketakutan, tidak memiliki bentuk solid, bergerak seperti bayangan yang mengejar kejelasan.
Saat Leo masuk lebih dalam, kabut gelap itu mulai bergejolak, dan bisikan-bisikan mulai menyerang pikirannya.
"Kau tidak cukup baik... Kau akan gagal... Ini bukan duniamu, kau lemah di sini."
Dari dalam kabut, muncul Roh-roh Keraguan, tampak seperti pantulan dirinya sendiri yang terdistorsi, dengan mata kosong yang menghakimi. Mereka mencoba menyentuh Leo, dan setiap sentuhan membangkitkan rasa ragu, membuat pikirannya kacau, dan melemahkan konsentrasinya.
"Mereka mencoba mengacaukan pikiranmu!" teriak Elara, suaranya tegang. Leo mengabaikan Elara.
"Omong kosong! Pikiranku tak bisa ditembus oleh ilusi murahan," gerutunya, meskipun ia merasakan bisikan itu mulai mengikis keyakinannya.
Ia mengayunkan tangannya, memancarkan gelombang cahaya kecil, memaksa Roh-roh Keraguan mundur sejenak. Ia tahu ia harus menemukan inti mereka. Dengan cepat, ia menciptakan bola cahaya yang bersinar terang, melemparkannya ke depan sebagai penerangan. Cahaya itu menembus kabut, dan Leo melihat sebuah inti kecil berwarna abu-abu gelap di tengah setiap Roh Keraguan—seperti titik kegelapan yang membusuk. Itu adalah titik lemah mereka. Namun, Roh-roh itu sangat gesit, sulit ditebak, meliuk-liuk seperti hantu.
"Hanya aku yang bisa melihat kebenaran ini," gumam Leo, memusatkan energi cahaya, mengubahnya menjadi semburan cahaya fokus yang membakar, bukan dengan api biasa, melainkan dengan cahaya murni yang dapat menyingkap. Ia menembakkan semburan itu secara akurat ke inti abu-abu gelap dari beberapa Roh Keraguan. Mereka menjerit nyaring, bayangan mereka menciut dan menghilang menjadi udara kosong. Namun, jumlah mereka masih banyak, terus mengerumuninya, mengancam untuk menelannya dalam kegelapan dan keraguan.
Satu Roh Keraguan yang paling besar melesat cepat dari samping, berhasil melingkari Leo, bisikannya menjadi raungan yang memekakkan telinga. Kegelapan dan keraguan merayapi pikirannya, nyaris memadamkan cahaya di tangannya, kesadaran Leo mulai meredup.
"Aku... aku tidak akan kalah!" teriak Leo, dengan sisa tenaga, ia membiarkan kesombongan dan keyakinannya yang mendalam menyala. Ia memusatkan cahaya ke seluruh tubuhnya, menciptakan Ledakan Cahaya Murni dari dalam dirinya, memusnahkan ilusi yang melingkarinya. Roh itu menjerit, mundur, dan buyar menjadi ketiadaan. Dengan jalan yang kini bersih, Leo bergegas maju, merasakan denyut lemah dari Sumur Nurani yang menunggunya, sebuah harapan yang membimbingnya di kegelapan.
Akhirnya, Leo tiba di sebuah ruangan besar di jantung Dataran Lumina. Di tengahnya, tergeletak sebuah sumur kuno yang dulunya memancarkan cahaya terang, kini hanya lubang gelap tanpa pantulan. Inilah Sumur Nurani. Leo mendekatinya dengan langkah angkuh namun penuh tekad, menyentuhnya. Rasa dingin yang menusuk tulang menjalar, dinginnya keputusasaan dan cahaya yang mati, sebuah kehampaan yang terasa abadi.
Ia menutup mata, menyalurkan seluruh energi cahaya yang ia miliki, tidak hanya sekadar memanipulasi, tapi mentransfer esensi dirinya. Ia membayangkan bintang-bintang yang ia amati, galaksi yang bersinar terang, setiap partikel foton yang pernah ia pelajari. Ia membiarkan energi elemen Cahaya dalam dirinya mengalir bebas, tak terbatas, menyatu dengan Sumur Nurani, sebuah pengorbanan yang terasa seperti pertunjukan yang luar biasa.
Perlahan, sumur itu mulai berdenyut. Dari dasarnya, cahaya putih kebiruan mulai berpendar. Cahaya itu menyebar, semakin kuat, semakin terang, hingga Sumur Nurani itu kembali memancarkan cahaya yang menyilaukan, menerangi seluruh ruangan, menghalau bayangan yang telah lama bersemayam. Gelombang cahaya menyebar ke seluruh Dataran Lumina, mengusir kegelapan, menghangatkan udara, dan membangunkan kembali kehidupan yang telah lama beku. Cahaya kehidupan kembali menari di lanskap yang dulu sunyi.
Elara muncul di sampingnya, wajahnya bercahaya oleh pantulan cahaya yang hidup, air mata kelegaan membasahi pipinya yang tua.
"Kau berhasil, Penjelajah Cahaya!" seru Elara, suaranya dipenuhi kekaguman. "Kau telah menyalakan kembali harapan Aeridor!"
Leo tersenyum puas, kelelahan, namun dengan senyum congkak.
"Tentu saja. Aku sudah bilang ini hanya masalah aplikasi. Tidak ada yang terlalu sulit bagi seorang jenius sepertiku." Ia merasa ada perubahan dalam dirinya.
Bukan hanya ia menyelamatkan sebuah dunia, tapi ia juga membuktikan bahwa kecerdasannya memang tak tertandingi.
"Jadi, apa yang akan terjadi sekarang?" tanya Leo, meskipun ia sudah menduga jawabannya. Ia tidak lagi merasakan dorongan untuk kembali ke dunia lamanya, setidaknya tidak sekuat sebelumnya. Ada tantangan baru di sini, yang bisa menguji batas kemampuannya.
Elara menatapnya dengan tatapan penuh arti, bukan lagi sebagai seorang penatua yang meminta pertolongan, melainkan sebagai sesama penjaga.
"Sumur Nurani telah pulih, Leo. Namun, keseimbangan ini rapuh. Ada kekuatan yang lebih besar yang bekerja di balik layar, menguras esensi dari setiap elemen." Elara berhenti sejenak, wajahnya mengeras.
"Tugasmu kini adalah menjaga cahaya ini tetap terang, tidak hanya Sumur Nurani, tapi juga kejernihan pikiran dan kebenaran di setiap sudut Aeridor."
Leo mengangguk, namun bukan dengan kerendahan hati, melainkan dengan keyakinan diri yang membara.
"Tentu saja. Aku memang yang terbaik untuk tugas ini. Siapa lagi yang bisa memandu mereka keluar dari kegelapan? Mereka semua butuh aku."
Kerinduan untuk pulang, jika ada, kini tertutupi oleh keinginan untuk memamerkan kehebatannya di dunia baru ini. Ia melihat Aeridor sebagai panggung untuk dirinya sendiri.
Ia melangkah keluar dari Kuil Cahaya, berdiri di puncak Dataran Lumina yang kini terang benderang. Angin sejuk membelai wajahnya, membawa serta aroma kehidupan baru dan harapan yang menyala. Ia mengangkat tangannya, dan seberkas cahaya terang melesat ke langit, menembus awan, menjadi bintang baru yang berpendar di angkasa Aeridor. Ini bukan lagi sekadar pengetahuan, ini adalah manifestasi kejeniusannya di tingkat yang lebih tinggi.
Leo kini tahu, ia bukan hanya Penjelajah Cahaya. Ia adalah penjaga kebenaran yang baru, yang ditakdirkan untuk memimpin, untuk menunjukkan jalan, dengan dia sebagai pemimpin yang tak terbantahkan. Dan ia akan menghadapi itu, bukan untuk menyelamatkan orang lain, tapi untuk membuktikan bahwa ia adalah yang paling hebat dari semuanya.