Kebanyakan orang datang ke desa untuk mencari ketenangan. Tapi bagi Kayla, liburan ke rumah nenek di desa Kembang Langit adalah bentuk hukuman sosial dari ibunya.
“Setidaknya satu bulan tanpa ponsel, TikTok, atau kopi kekinian,” kata ibunya tegas.
Jadi, di sinilah ia sekarang: duduk di bangku reyot di halaman belakang rumah nenek, ditemani suara jangkrik dan aroma kayu bakar. Dunia seperti bergerak lambat. Sangat lambat, seperti cat yang menetes dari kuas dan butuh satu tahun untuk sampai ke ujung kertas.
Untungnya, Kayla membawa satu benda yang menyelamatkan kewarasannya: sketsa dan cat air.
Sejak kecil, menggambar adalah pelariannya. Tapi bukan sekadar bunga atau pemandangan. Kayla lebih suka menggambar orang yang tidak nyata—mereka yang hanya hidup dalam imajinasi, karena orang nyata kadang terlalu membosankan.
Sampai suatu sore, saat hujan turun tanpa aba-aba, Kayla masuk ke loteng rumah nenek—tempat yang katanya “terlarang” karena... alasan klise: “angker”.
Namun di sana, ia tidak menemukan hantu.
Ia menemukan kanvas kosong, berdiri sendiri di bawah sinar jingga dari celah genteng.
Putih. Bersih. Seperti menunggu disentuh.
Dan entah kenapa, tangannya terasa gatal.
Kayla mulai melukis tanpa berpikir.
Ia menggambar wajah laki-laki. Usia remaja, rambut biru tua, mata setengah sayu seperti selalu mengantuk. Ada bekas luka samar di dagunya. Hoodie hitam, dan ekspresi seperti baru saja menolak ikut kerja kelompok.
"Namamu... Luka," bisik Kayla.
Dan begitu matanya selesai digambar—BOOM!
Seketika, angin menderu dari dalam kanvas.
Kayla terlempar ke belakang, dan... dari dalam lukisan, Luka keluar. Benar-benar keluar, hidup, nyata.
Basah karena hujan, berdiri seperti tidak paham konsep gravitasi.
“Ah, sakit banget. Tumben kamu kasih aku dagu lancip, biasanya pelukis newbie bikin dagunya bulet kayak donat,” katanya santai, seolah ini semua normal.
Kayla membelalak. “SIAPA KAMU?!”
“Luka. Kamu yang gambar aku, kan? Ini bukan pertama kalinya.”
Beberapa hari kemudian, Kayla akhirnya menerima satu fakta: Luka bukan manusia biasa.
Ia adalah makhluk dari Dimensi Kanvas, dunia di balik lukisan. Dan Kayla—secara tidak sadar—memiliki kekuatan sebagai Pelukis Jiwa, orang yang bisa menghidupkan gambar dengan emosinya.
“Karena kamu menggambar aku dengan niat... bukan karena tugas, bukan karena pesanan. Tapi karena kamu ingin aku ada.”
Itu kalimat pertama Luka yang membuat Kayla tidak bisa tidur semalaman.
Mereka menghabiskan hari-hari menjelajah dunia yang Kayla lukis: taman dengan rumput bersuara, kota terbuat dari pensil warna, dan sungai yang mengalirkan tinta biru.
Mereka tertawa, bertengkar, bahkan pernah terjebak 3 jam di lukisan Pizza Terbang karena Kayla salah menggambar pintu keluar. Luka mulai jadi bagian hidup Kayla. Tapi...
Setiap malam, Luka makin pucat. Warna kulitnya memudar.
“Aku tidak bisa lama di dunia nyata,” katanya. “Setiap kali keluar dari kanvas, warnaku terkikis. Kalau aku habis… aku hilang. Selamanya.”
Kayla ingin menangis. Tapi Luka hanya tertawa sambil nyuapin dia keripik singkong, “Tenang, kamu tetap bisa gambar cowok lain, kan? Bikin yang lebih sixpack gitu.”
Kayla cemberut, lalu menjitak kepalanya. “Bodoh.”
Satu-satunya harapan adalah: Gerbang Warna, portal satu arah ke Dimensi Kanvas yang bisa menyeimbangkan Luka—membuatnya bisa berada di dunia nyata tanpa kehilangan dirinya.
Tapi gerbang itu harus dilukis dengan emosi murni dan cahaya festival—tempat di mana banyak orang tertawa dan hidup dalam satu irama.
Dan kebetulan, Desa Kembang Langit akan mengadakan Festival Seni Tahunan.
Kayla mendaftar lomba lukis diam-diam.
Malam sebelum festival, Luka duduk di atap rumah bersama Kayla. Bintang bertabur di atas mereka. Luka menatap langit, lalu pelan-pelan berkata, “Kamu tahu... kamu pelukis pertama yang membuatku ingin tinggal.”
Kayla menoleh.
“Dan kamu... gambar pertama yang membuatku takut kehilangan,” bisiknya.
Seketika, dunia hening.
Dan saat Luka menyentuh jemari Kayla, warnanya bersinar lebih terang.
Hari lomba tiba. Semua orang berkumpul di alun-alun desa.
Kayla berdiri di tengah panggung, di depan kanvas raksasa. Jantungnya berdetak seperti genderang. Luka tak bisa muncul di depan orang-orang, tapi ia berdiri di sisi panggung, hanya bisa dilihat Kayla.
Ia tersenyum. “Tarik napas. Dan ingat, lukisan terbaik... bukan tentang garis yang rapi. Tapi hati yang pecah saat mencintai.”
Kayla mulai melukis.
Tangannya bergerak cepat. Ia melukis langit, gerbang cahaya, dan Luka—seperti yang ia kenal. Dengan senyum miringnya. Dengan hoodie-nya. Dengan semua warna yang telah hidup bersamanya.
Air mata Kayla menetes di kanvas. Tapi ia terus melukis.
Tepuk tangan menggema saat lukisan selesai.
Tapi itu bukan akhir.
Gerbang Warna benar-benar muncul.
Cahaya keluar dari kanvas, menyilaukan semua mata.
Orang-orang menjerit. Tapi Luka melangkah ke arah Kayla, kini terlihat oleh semua.
Tubuhnya hampir transparan.
“Ini waktunya,” katanya lembut.
Kayla menggenggam tangannya. “Kalau kamu masuk ke gerbang itu... kamu nggak bisa balik lagi, kan?”
Luka mengangguk.
“Tapi kamu akan tetap hidup?”
“Ya.”
“Dan kamu akan tetap ingat aku?”
Ia mendekat, menempelkan dahinya ke dahi Kayla.
“Selalu.”
Seketika, Kayla menariknya dan—tanpa berpikir panjang—menciumnya.
Pendek. Canggung. Tapi nyata.
“Selamat tinggal, Pelukis Gila,” katanya.
Dan Luka tersenyum, lalu masuk ke dalam lukisan.
Beberapa bulan kemudian...
Kayla memenangkan lomba lukis tingkat nasional. Tapi lebih dari itu, ia menjadi pelukis yang membuat orang menangis hanya dengan melihat warnanya.
Setiap kali orang bertanya, “Apa inspirasimu?”
Ia menjawab: “Aku pernah jatuh cinta pada laki-laki yang hanya bisa hidup lewat warna. Dan sampai sekarang... aku masih melukis agar ia tetap hidup.”
Di studionya, satu kanvas kosong selalu berdiri.
Kadang, saat malam turun dan bulan bundar sempurna, ia merasa kanvas itu bergetar.
Dan dalam mimpinya, Luka masih duduk di bawah pohon di dunia cat air mereka, tersenyum dan berkata:
"Kamu masih mewarnai duniaku."