SMA Brawijaya, sebuah kanvas kehidupan remaja yang riuh, menjadi saksi bisu sebuah kisah yang perlahan merajut benang-benang takdir dua insan yang seolah berasal dari galaksi berbeda.
Di satu sisi, ada Risa, si ketua OSIS berpostur tegap dan pembawaan serius, bagai jam weker berjalan yang tak pernah absen dari rutinitas. Segalanya tertata rapi dalam agendanya, dari jadwal rapat hingga susunan buku di meja belajar.
Di sisi lain, Dimas, seorang seniman muda dengan jiwa pengembara, sering kali terlarut dalam lamunannya di bangku paling belakang kelas. Pensil dan buku sketsa tak ubahnya perpanjangan tangannya, selalu setia menemani imajinasinya yang melalang buana. Dua dunia yang kontras, namun takdir punya cara unik mempertemukan mereka di persimpangan yang tak terduga.
Awalnya, bagi Risa, Dimas hanyalah salah satu dari sekian banyak nama dalam daftar siswa yang sering terlambat mengumpulkan tugas. Uniknya, meski abai terhadap tenggat waktu, setiap karya seni Dimas selalu mencetak nilai sempurna, seolah ada sihir yang menyelubungi goresan tangannya.
Risa, dengan integritasnya yang lurus bak penggaris, tak jarang menegur Dimas dengan nada lugas, bahkan cenderung kaku. "Dimas, tugas proposal pentas seni sudah lewat tenggat dua hari," ucapnya suatu pagi, alisnya bertaut.
Dimas hanya akan membalas dengan senyum tipis yang memudarkan ketegangan, disusul janji-janji manis yang seringkali tergilas oleh rutinitas esok hari.
_____________________________
Sore itu, mendung kelabu menggantung manja di cakrawala Surabaya, seolah enggan beranjak.
Risa masih berkutat dengan tumpukan berkas di ruang OSIS, jemarinya lincah menari di atas keyboard.
Jarum jam menunjukkan pukul lima sore, namun Risa tak kunjung beranjak. Saat meregangkan punggung yang terasa pegal, pandangannya tak sengaja menangkap siluet Dimas di ambang pintu kelas XII IPA 2. Ia masih duduk tenang di bangkunya, menghadap jendela, seolah tak peduli dengan sepinya koridor sekolah.
Penasaran, Risa melangkah mendekat, langkahnya pelan, seperti enggan mengusik ketenangan yang terpancar dari sosok itu.
Semakin dekat, Risa baru menyadari apa yang sedang Dimas lakukan. Ia tak hanya melamun, melainkan tengah asyik menorehkan garis demi garis pada buku sketsanya. Tangannya menari lincah, menciptakan bayangan, memberikan kedalaman pada kertas putih.
Risa menggeser posisi, berdiri di samping bangku Dimas, mengamati lekat-lekat hasil karyanya. Matanya membelalak, terkesima.
Dimas sedang menggambar pemandangan senja yang membentang di luar jendela kelas. Awan-awan jingga yang membias bagai lukisan cat air di langit, siluet gedung-gedung pencakar langit Surabaya yang menjulang, hingga tiang listrik yang meliuk anggun—semuanya tergambar begitu hidup, menangkap esensi keindahan yang sering luput dari pandangan Risa yang selalu terburu-buru oleh deadline.
"Bagus banget," ucap Risa tanpa sadar, suaranya sedikit tercekat oleh kekaguman.
Dimas sedikit terlonjak, kaget dengan kehadiran Risa yang tiba-tiba. Ia menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Eh, Risa. Makasih, Sa."
Senja yang mulai memudar, dengan semburat jingga keunguan, menjadi latar sempurna bagi awal percakapan yang lebih dari sekadar teguran formal.
Malam itu, Risa menemukan bahwa di balik kesan pemalas dan pembawaannya yang cenderung santai, Dimas adalah sosok yang jauh lebih kompleks. Ia sangat peka terhadap detail di sekitarnya, cerdas dalam menganalisis sesuatu, dan memiliki pandangan unik yang mampu mengubah hal biasa menjadi luar biasa.
"Menurutku, setiap garis itu punya cerita sendiri, Sa. Kayak hidup kita, kan? Ada yang lurus, ada yang bengkok, tapi semua membentuk satu kesatuan yang indah," ucap Dimas kala itu, matanya menerawang. Risa mengangguk-angguk, merasakan ada resonansi yang tak terduga dalam setiap kata Dimas.
Di sisi lain, Dimas mulai melihat Risa bukan hanya sebagai ketua OSIS yang galak dan kaku. Ia melihat kegigihan Risa dalam setiap pekerjaannya, kepeduliannya terhadap teman-teman, dan hatinya yang hangat, meski sering tersembunyi di balik raut seriusnya.
"Kamu tuh kayak tembok Cina, kokoh banget." Dimas pernah berkelakar, membuat Risa mendengus geli.
Simfoni Senja dan Perasaan yang Merekah
Sejak sore itu, pertemuan mereka setelah jam sekolah menjadi rutinitas baru.
Ruang OSIS, yang sebelumnya identik dengan berkas dan rapat, kini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka.
Risa, dengan sigapnya, akan membimbing Dimas mengatur jadwal tugas, membantunya membuat daftar prioritas agar tak ada lagi tugas yang terlewat.
"Lihat, Dimas, kalau kamu atur begini, tugas seni bisa kamu kerjakan setelah pelajaran Sejarah," jelas Risa, menunjuk kalender di ponselnya. Dimas hanya akan tersenyum dan mengikuti arahan Risa, meskipun sesekali masih diselingi candaan.
Sebagai balasannya, Dimas dengan sabar mengajari Risa menggambar sketsa sederhana. "Jangan terlalu kaku, Sa. Ikuti saja aliran tanganmu," saran Dimas, tangannya membimbing jemari Risa yang canggung memegang pensil.
Terkadang, mereka akan menghabiskan waktu dengan sekadar bercerita tentang impian-impian masa depan, ketakutan-ketakutan tersembunyi, hingga hal-hal remeh temeh yang hanya mereka pahami.
Obrolan mereka seringkali diiringi cahaya senja yang temaram, masuk melalui jendela kelas, melukis siluet mereka berdua, seolah menjadi latar bagi perasaan yang perlahan, namun pasti, tumbuh di antara mereka. Senja itu bukan lagi sekadar pergantian waktu, melainkan sebuah metafora, sebuah tirai panggung bagi drama hati yang mulai menyingkap tabirnya.
______________________________
Puncak pengakuan tak terucap akan perasaan Risa terjadi saat lomba mural sekolah.
Dimas, yang digadang-gadang sebagai jagoan, sempat putus asa. Kesalahan fatal dalam pemilihan warna membuat muralnya terlihat berantakan. Ia membanting pensilnya, raut wajahnya menyiratkan kekalahan. "Percuma, Sa. Gagal total," keluhnya, nadanya dipenuhi frustrasi.
Risa, yang biasanya tegas dan tak pandang bulu dalam memberikan kritik, justru memilih cara lain. Ia diam-diam membantunya mencari ide baru, mengusulkan kombinasi warna yang lebih berani, bahkan ikut begadang menemani Dimas menyelesaikan muralnya hingga pagi. Malam itu, aroma cat dan kopi instan memenuhi udara, berpadu dengan tawa kecil mereka. Risa, dengan sigap, membantu mencampurkan cat, sementara Dimas sibuk melukis.
Melihat Dimas tersenyum lega, matanya berbinar saat muralnya selesai tepat waktu dan mendapatkan pujian dari dewan juri, hati Risa terasa hangat. Hangat yang bukan sekadar senang melihat teman berhasil, melainkan kehangatan yang merambat perlahan, mengisi relung hatinya dengan sesuatu yang lebih dalam. Seperti pelukis yang menemukan warna terbaiknya, Risa menyadari, Dimas telah melukis sesuatu yang indah di dalam dirinya, sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.
___________________________________
Tibalah malam pentas seni sekolah, sebuah perayaan kreativitas yang gemerlap di SMA Brawijaya. Gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai penonton memenuhi aula.
Di tengah keramaian yang memekakkan telinga, Dimas, yang biasanya pemalu dan lebih sering berada di balik layar, memberanikan diri. Ia melangkah mendekati Risa saat jeda acara, jantungnya berdegup tak karuan bagai genderang perang. Risa, yang sedang asyik berbincang dengan teman-temannya, menoleh saat Dimas berdiri di depannya.
Di antara dentuman musik dan bisik-bisik keramaian, Dimas memajukan satu langkah, matanya menatap lekat ke arah Risa. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Sa," panggilnya pelan, namun cukup jelas di telinga Risa. "Kamu tahu nggak?"
Risa mengangkat alis, sedikit penasaran, menunggu kalimat selanjutnya.
Dimas mengulas senyum tipis, kemudian dengan berani ia melanjutkan, "Senja paling indah itu bukan di langit, tapi di matamu pas kamu ketawa."
Waktu seolah berhenti bagi Risa. Pipi Risa langsung merona merah, semerah mawar yang baru merekah. Ia terdiam, terkejut sekaligus terharu. Kata-kata itu, sederhana namun jujur, menusuk relung hatinya. Bukan gombalan ala remaja yang sering ia dengar, melainkan sebuah pengakuan tulus yang keluar dari hati Dimas.
Risa balas menatap mata Dimas yang berbinar, memancarkan kejujuran dan ketulusan. Bibirnya mengembang, membentuk senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan.
"Dasar tukang gambar," ejek Risa pelan, suaranya sedikit bergetar. Namun, genggaman tangannya yang erat pada tangan Dimas mengisyaratkan lebih dari sekadar persahabatan. Itu adalah sebuah janji, sebuah komitmen tanpa kata.
Sejak hari itu, senja di balik jendela kelas tak lagi sama bagi mereka. Senja bukan lagi sekadar pemandangan, melainkan saksi bisu awal sebuah kisah cinta remaja yang sederhana, tulus, dan penuh warna.
Sebuah kisah yang terlukis indah, seperti goresan pensil Dimas yang menghidupkan kanvas kosong, dan terorganisir rapi, seperti agenda Risa yang tak pernah luput dari perhatian.
Mereka belajar, bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di antara dua dunia yang terlihat sangat berbeda, menyatu dalam harmoni senja yang tak pernah pudar.
BY : PUTRI VIOLET