Di dunianya, ia dikenal sebagai Kian, seorang kartografer dan ahli hidrologi perkotaan. Ia terbiasa dengan beton, angka, dan tekanan air dalam jaringan pipa yang rumit. Air baginya adalah data, grafik, dan masalah yang perlu diselesaikan. Bukanlah kekuatan alam yang hidup, apalagi sesuatu yang bisa ia kendalikan dengan sentuhan. Namun tiba - tiba saja Kian terbangun di tengah-tengah Desa Awanbiru, sebuah permukiman yang terbuat dari rumah-rumah panggung di atas danau yang kini surut hingga hanya menyisakan lumpur retak dan bau amis yang menyengat. Lambang ombak berpilin samar terukir di pergelangan tangannya, dan yang paling aneh, ia bisa merasakan keberadaan air, bahkan yang tersembunyi jauh di bawah lapisan tanah yang mengering. Sensasi itu seperti denyut nadi yang asing namun akrab di dalam dirinya.
Seorang tetua desa yang bijaksana, bernama Kael, menyambutnya. Matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam saat ia menunjuk ke arah danau yang mengering.
"Dulu, Danau Lumina ini adalah jantung desa kami, sumber kehidupan, cermin langit," suara Kael bergetar. "Namun, beberapa bulan terakhir, airnya terus surut, warnanya keruh, dan ikan-ikan mati. Kami yakin ada sesuatu yang salah dengan Mata Air Kehidupan, inti dari seluruh air di wilayah ini."
Kael menjelaskan bahwa elemen Air di Aeridor kini tercekik oleh stagnasi, dan hanya Penjelajah Air yang bisa memurnikannya. Kian merasa canggung, tangannya yang terbiasa memegang pena dan tablet kini diharapkan memegang nasib sebuah elemen. Mengendalikan air? Ia bahkan sering panik saat menghadapi banjir kecil di kota asalnya, apalagi kekuatan sebesar ini.
Meskipun ragu dan merasa tak layak, Kian setuju untuk membantu. Ia mulai melatih kemampuannya di bawah bimbingan Kael. Awalnya, hanya tetesan air yang bisa ia kumpulkan dari embun pagi yang langka, lalu aliran kecil yang membersihkan lumpur di sepatu botnya.
Perlahan, ia belajar merasakan denyut air dalam batuan, menarik kelembaban dari udara yang kering, bahkan membentuk gelombang kecil yang bisa menyingkirkan puing. Kian menyadari bahwa air di Aeridor lebih dari sekadar materi - ia adalah ingatan, emosi, dan aliran kehidupan itu sendiri. Kekuatan Airnya terasa seperti memori kuno yang baru saja ia temukan di dalam dirinya, sebuah bagian yang selama ini tersembunyi.
Untuk membantu Desa Awanbiru, Kian diharuskan melakukan perjalan menuju Mata Air Kehidupan. Perjalanan itu merupaka ujian sejati yang menguras fisik dan mental. Ia harus melintasi lanskap yang semakin kering dan terkorupsi.
Dimulai dari pinggiran Desa Awanbiru, ia harus menyeberangi Sungai Lumut, yang dulunya jernih dan bergemericik, kini dipenuhi lumut tebal yang berbau busuk dan ditinggali Makhluk Lumpur — gumpalan besar lumpur hidup dengan mata berkilauan yang mencoba menelannya ke dalam endapan mereka.
Saat Kian menginjakkan kaki di lumpur, lumpur itu bergetar dan tiga Makhluk Lumpur melesat mendekat, tubuh mereka bergetar, memercikkan lendir busuk ke segala arah. Yang terbesar, tingginya hampir dua meter, meraung dengan suara bergemuruh dan mengayunkan lengan berlumpur tebalnya, mencoba menghantam Kian. Kian melompat menghindar dengan refleks yang mengejutkan, mendarat di gundukan tanah yang sedikit lebih tinggi.
"Tidak ada peta untuk ini," gumamnya, menarik napas dalam, memusatkan energi. Daripada data, kini ia harus mengandalkan intuisi.
Makhluk Lumpur pertama menyerang lagi, Kian berputar, merasakan denyut air di udara lembap di sekelilingnya. Dengan gerakan tangan cepat, ia menciptakan semburan air bertekanan tinggi yang tajam, seperti pisau air, yang membelah tubuh raksasa itu menjadi pecahan-pecahan tak berdaya. Lumpur-lumpur itu mendesis, perlahan kembali menyatu dengan endapan sungai, tapi kehilangan bentuk hidup mereka. Dua makhluk lumpur lainnya, melihat serangan itu, merayap lebih agresif, menyebar untuk mengepung Kian.
"Baiklah, ayo kita mainkan ini!" seru Kian, lebih percaya diri. Ia mengangkat kedua tangan, merasakan energi mengumpul. Dengan sapuan tangan, ia memadatkan udara di sekitar dirinya, menciptakan platform-platform air sementara yang bisa ia pijak. Ia melayang di atas lumpur, bergerak gesit seperti penari di atas air. Makhluk lumpur itu kesulitan mengejarnya di medan berlumpur. Saat salah satunya mencoba melompat, Kian menembakkan semprotan kabut pekat yang membutakan matanya, lalu ia menindaklanjuti dengan semburan air murni yang lebih kuat, membuat makhluk itu buyar. Yang terakhir mundur, mendesis ketakutan. Kian pun melangkah cepat, sesekali menciptakan kabut tipis untuk menyamarkan dirinya, bergerak di antara pepohonan bakau yang tumbuh di tepi sungai, menghindari tarikan lumpur hisap yang mematikan.
Setelah berhasil keluar dari cengkeraman Sungai Lumut, Kian melangkah ke area yang terasa lebih kering, di mana udara dingin dan hampa kelembaban menusuk tulangnya. Di depan matanya terbentang mulut Gua Desir Angin, sebuah labirin gelap yang tampak menelan semua cahaya. Keraguan sempat menyergapnya, namun dorongan untuk menemukan Mata Air Kehidupan jauh lebih besar.
Begitu masuk ke dalam, kegelapan pekat menyelimuti. Kian meraba dinding gua yang lembap namun kering. Lalu, ia merasakan kehadiran. Dingin. Bukan dingin udara, tapi dinginnya kekosongan yang menguras. Dari kedalaman gua, melayanglah Roh-roh Haus, entitas transparan yang tampak seperti riak air kosong, meliuk-liuk di udara. Mereka tidak menyerang fisik, melainkan melayang mendekat, mengeluarkan bisikan-bisikan keputusasaan yang menusuk pikiran, dan mencoba menguras kelembaban dari tubuh Kian.
Kian merasakan tenggorokannya kering, otot-ototnya melemas, dan pandangannya mulai berkunang-kunang. Sensasi haus yang membakar ini mengancam akan menghabisinya, seolah setiap tetes air dalam dirinya ditarik keluar paksa.
"Tidaaaak!" erangnya, menjatuhkan diri berlutut, mencoba menahan tarikan energi yang mengerikan itu. Gambar pipa-pipa air yang bocor dan kota yang kehausan di duniaku melintas di benaknya, memberikan kilatan ingatan yang anehnya menguatkan tekadnya. Ia teringat pelajaran Kael tentang air sebagai kehidupan, tentang esensi yang memberi makan segala sesuatu.
"Kalian butuh air... bukan mengurasnya!" Kian berteriak, suaranya bergetar. Ia berjuang, memusatkan sisa energinya, dan membiarkan air dalam dirinya bangkit. Lambang ombak di tangannya berpendar terang. Ia mengangkat tangannya, memancarkan Gelombang Pemurnian—bukan untuk menyerang, tapi untuk membersihkan. Gelombang air jernih yang memancar dari Kian menyebar, tidak melukai Roh-roh Haus itu, tapi membersihkan kekeruhan yang mengikat mereka. Riak-riak transparan itu mulai bergetar hebat, bisikan mereka mereda menjadi dengungan lembut, bahkan ada beberapa yang seperti suara lega, dan perlahan menghilang menjadi uap bersih, seolah akhirnya menemukan kedamaian yang mereka cari. Kian terengah-engah, butiran keringat dingin membasahi dahinya, tubuhnya terasa ringan, tapi ia berhasil. Keheningan yang damai mengisi gua setelahnya.
Kian melanjutkan perjalanannya yang melelahkan, melewati reruntuhan kuno yang diselimuti tanaman layu dan patung-patung dewa air yang lapuk, hingga akhirnya tiba di Reruntuhan Kuno Aquaria, tempat Mata Air Kehidupan berada. Tempat itu suram, dengan genangan air keruh dan bau busuk yang menyengat, udara terasa berat dengan kehadiran jahat yang menekan. Di sana, ia bertemu dengan Guardian terakhir: Parasit Air Busuk, makhluk-makhluk menjijikkan yang terlihat seperti gurita raksasa terbuat dari air keruh dan berlendir.
Saat Kian melangkah mendekat ke tengah reruntuhan, lima Parasit Air Busuk muncul dari genangan, tentakel mereka melesat cepat seperti cambuk, menembakkan gumpalan air beracun yang menguarkan asap asam. Salah satu gumpalan air beracun nyaris mengenai wajah Kian.
"Aku tidak akan membiarkanmu meracuni sumber ini!" teriak Kian, melompat menghindar. Ia tahu pertarungan ini bukan tentang kekuatan kasar; ini tentang kemurnian, tentang esensi.
Ia mulai bergerak mengelilingi mereka, mencari celah. Saat Parasit Air Busuk melancarkan rentetan tentakelnya, Kian melesat gesit, menciptakan pusaran air murni di sekelilingnya, dinding air yang berputar cepat, menjaga jarak dari sentuhan koruptif mereka. Dua tentakel berhasil menyentuh pusaran airnya dan langsung mengerut, mendesis kesakitan seolah terbakar asam. Satu Parasit yang lebih besar menerjang maju, membuka mulutnya yang bergigi tajam. Kian harus bertindak cepat.
"Ini untuk Aeridor!" seru Kian, matanya berkobar tekad, memantulkan cahaya biru samar dari lambang di tangannya. Ia merasakan keberadaan Mata Air Kehidupan, denyutnya yang sangat lemah di balik lapisan parasit yang mengerikan itu, memohon pertolongan. Mengumpulkan seluruh kekuatannya, Kian memfokuskan niatnya untuk memurnikan. Ia mengulurkan kedua tangan ke depan, merasakan energi air dari seluruh tubuhnya berkumpul, membentuk sebuah bola cahaya biru yang berpendar kuat di telapak tangannya. Bola itu membesar, berdenyut dengan kekuatan murni.
"Murnikan!" Dengan raungan penuh tekad, ia melepaskan Badai Pemurnian—sebuah gelombang air jernih raksasa yang berputar kencang, memancarkan cahaya biru terang, menghantam kelima Parasit Air Busuk sekaligus. Badai itu menelan mereka. Air murni itu tidak hanya membakar tubuh mereka yang korup, tapi juga membersihkan setiap sel, hingga mereka menjerit melengking kesakitan, tubuh mereka mencair dan lenyap menjadi buih-buih bersih yang perlahan menghilang ke udara. Bau busuk pun lenyap seketika, digantikan aroma segar tanah basah yang menenangkan. Kian terhuyung, berlutut, napasnya tersengal, namun sebuah senyum puas terukir di wajahnya.
Di tengah reruntuhan, kini yang tersisa hanyalah sebuah kolam kecil yang airnya keruh dan nyaris kering, hanya menyisakan genangan lumpur yang menguap. Inilah Mata Air Kehidupan. Kian mendekatinya dengan hati-hati dan menyentuh permukaannya. Rasa sakit yang memilukan menjalar di tangannya, rasa sakit dari air yang terkontaminasi dan sekarat, seolah ia merasakan penderitaan seluruh sungai yang mengering di dunia ini. Ia menutup mata, menyalurkan seluruh energi kemurnian yang ia miliki. Ia membayangkan sungai-sungai di duniaku yang mengalir deras, danau-danau yang jernih, setiap tetes air yang pernah ia petakan dan lindungi. Ia membiarkan energi elemen Air dalam dirinya mengalir bebas, tak terbatas, menyatu dengan Mata Air Kehidupan.
Perlahan, kolam itu mulai bergejolak. Warna keruh menghilang, digantikan oleh biru kristal yang memancar dengan cahaya surgawi. Airnya mulai naik, meluap dari kolam, mengalir deras, menciptakan kembali aliran sungai, memulihkan danau di Desa Awanbiru, mengisi kembali sungai-sungai yang kering, dan membuat pepohonan di sekitarnya kembali hijau. Gelombang kehidupan menyebar jauh, membersihkan setiap sudut yang terjamah oleh stagnasi air.
Kael dan penduduk desa, yang entah bagaimana merasakan gelombang kehidupan yang mendalam, berkumpul di tepi danau yang kini penuh dan jernih, wajah mereka dipenuhi kelegaan dan kebahagiaan yang meluap-luap.
"Kau telah menyelamatkan kami," kata Kael, membungkuk hormat, air mata membasahi pipinya yang keriput. Kian tersenyum tipis, kelelahan, tapi juga merasakan kedamaian yang mendalam di hatinya. Di sini, air bukanlah data atau masalah yang perlu diselesaikan. Air adalah kehidupan itu sendiri, dan ia, Kian, adalah bagian tak terpisahkan darinya.
Meskipun Kian rindu peta-peta rumit dan hiruk pikuk kota asalnya, gemericik air di sekelilingnya, memberinya rasa tujuan yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Ia tahu ia masih harus belajar, masih banyak rahasia Aeridor yang menunggu untuk diungkap. Petualangannya sebagai Penjelajah Air Aeridor baru saja dimulai, dan di suatu tempat, mungkin ada Penjelajah lain, menunggu untuk ditemukan, menunggu untuk bersatu melawan ancaman yang lebih besar.