Senja itu, jingga menua di ufuk barat, melukis siluet pepohonan kelapa. Angin berbisik pelan, membawa aroma tanah basah bercampur sisa asap. Bagi Kirana, keindahan itu terasa hambar, bahkan menyakitkan.
Sudah lima tahun. Lima tahun sejak senja yang sama merenggut segalanya. Bukan hanya keceriaan, tapi juga alasan untuk ia terus tersenyum.
Ingatannya melayang pada wajahnya. Adik kesayangannya. Kini hanya bisa ia pandang dalam bingkai foto usang di nakasnya. Wajah lembut dengan mata berbinar penuh tawa.
Tawa itu kini telah digantikan kesunyian menusuk, menggema dalam relung hatinya. Ia ingat janji-janji di bawah bintang, tentang masa depan yang akan mereka rajut berdua.
Semuanya hancur lebur. Bukan takdir, bukan musibah. Tapi keserakahan manusia berwujud Argus.
Argus adalah pria berkuasa dengan tangan besi dan moral sebatang kara. Namanya selalu disebut dengan nada gentar di desa-desa sekitar.
Ia menginginkan lahan warisan keluarga Kirana. Sebidang tanah subur yang telah dipertahankan turun-temurun.
Ketika bujukan uang tak mempan, Argus menggunakan kekerasan. Malam itu, Kirana menyaksikan langsung rumahnya dilalap api.
Dan lebih dari itu, ia kehilangan orang paling dicintainya, adiknya, dalam kobaran api yang sama. Adik yang ia janji akan selalu ia lindungi.
Sejak saat itu, hidup Kirana berubah total. Tak ada lagi tawa riang. Tak ada lagi mimpi-mimpi sederhana. Hidupnya kini hanya memiliki satu tujuan: membalas dendam.
Ia menolak tenggelam dalam kesedihan melumpuhkan. Setiap tetes air mata yang jatuh, ia jadikan bahan bakar untuk api dendam di dadanya.
Ia tidak ingin menjadi korban lemah. Ia ingin menjadi kekuatan tak terduga. Ia mulai belajar.
Ia mengamati setiap pergerakan Argus. Setiap kelemahannya, setiap orang yang berhubungan dengannya.
Ia menyusun rencana, dengan sabar, teliti. Seperti seorang penenun merajut benang demi benang, menciptakan pola rumit namun mematikan.
Kirana tidak memilih jalan kekerasan. Ia tahu, kekerasan hanya melahirkan kekerasan lain. Ia memilih jalan kecerdasan.
Ia memutuskan memasuki dunia Argus. Menyusup ke lingkaran dalamnya, memulai dari posisi terendah.
Ia melamar pekerjaan di salah satu perusahaan Argus. Awalnya sebagai staf biasa, perlahan naik jabatan.
Ia mempelajari setiap seluk-beluk bisnisnya, setiap celah keamanan siber, setiap informasi rahasia.
Argus, yang congkak dan merasa tak terkalahkan, tak pernah curiga pada gadis pendiam dengan tatapan mata tajam yang kini bekerja untuknya.
Ia hanya melihat Kirana sebagai karyawan efisien dan tak banyak bicara.
Malam ini adalah puncaknya. Argus mengadakan pesta besar merayakan kesuksesan terbarunya. Proyek ambisius yang mendatangkan keuntungan berlipat.
Gedung megah miliknya, didesain modern dan mewah, dipenuhi tawa riang tamu penting. Musik klasik mengalun lembut.
Kirana, mengenakan gaun malam hitam elegan, bergerak di antara keramaian. Tampak seperti salah satu tamu terhormat.
Senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum dingin yang menyembunyikan niat mematikan yang telah ia simpan bertahun-tahun.
Di sudut ruangan, Argus tertawa renyah, memegang gelas sampanye kristal. Punggungnya tegak, menunjukkan dominasi.
Matanya bertemu dengan mata Kirana. Ia mengangguk singkat, sebuah tanda pengakuan acuh tak acuh pada stafnya yang dinilai cakap.
Kirana membalas anggukan itu. Di matanya, sekilas kilatan dingin menusuk melintas. Terlalu cepat untuk ditangkap.
Kilatan itu menceritakan kisah dendam yang panjang.
Tugas resmi Kirana malam itu adalah memastikan sistem keamanan siber perusahaan bekerja optimal. Ironis, bukan?
Ia memang memastikan itu. Tapi untuk tujuannya sendiri. Beberapa jam sebelumnya, dengan keahlian otodidak, ia menanamkan virus ke dalam jaringan pusat server Argus.
Virus itu bukan perusak data. Melainkan program dirancang untuk membuka semua pintu menuju rahasia kotor Argus.
Semua bukti manipulasi, korupsi besar-besaran, praktik ilegal, dan kejahatannya, yang selama ini tersimpan rapat, kini akan terkuak ke publik.
Tepat tengah malam, ketika denting jam besar di aula berbunyi nyaring, Kirana menekan tombol terakhir di tabletnya.
Dan kegelapan turun.
Listrik di seluruh gedung tiba-tiba padam total. Teriakan kaget dan panik memenuhi ruangan. Musik berhenti. Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan bau ketakutan.
Detik berikutnya, cahaya menyala kembali. Namun bukan cahaya lampu biasa.
Layar-layar besar yang tersebar di seluruh ruangan pesta, yang tadinya menampilkan logo perusahaan Argus, kini mulai menampilkan serangkaian dokumen dan rekaman.
Tidak hanya di layar, tetapi juga diproyeksikan ke dinding-dinding putih bersih, memenuhi setiap sudut pandang.
Sebuah suara menggema melalui sistem pengeras suara. Itu suara adik Kirana, dalam rekaman yang diambil sebelum tragedi, memohon agar tanah mereka tidak diambil. Suara ceria yang tiba-tiba dipenuhi ketakutan.
Kemudian, rekaman-rekaman audio transaksi ilegal, bukti transfer uang suap, foto-foto pertemuan rahasia, dan dokumen-dokumen kontrak fiktif terpampang jelas. Semuanya dengan nama Argus sebagai dalangnya.
Bisikan-bisikan riuh berubah menjadi gumaman tak jelas, kemudian keheningan total yang mencekam.
Tawa Argus terhenti seketika. Wajahnya yang semula memerah karena alkohol, kini memucat pasi, bibirnya bergetar.
Ia melihat apa yang terpampang di layar. Nama baiknya, reputasinya yang dibangun di atas kebohongan, kekuasaannya yang tak terbatas, semua runtuh di hadapan matanya sendiri.
Ia menunjuk-nunjuk layar dengan gemetar, mencoba berteriak, "Ini palsu! Ini fitnah!"
Tapi suaranya tenggelam dalam riuh rendah tamu-tamu. Mereka kini saling berbisik, kaget dan jijik. Mereka melihat wajah asli sang penguasa.
Para tamu mulai mengeluarkan ponsel mereka, merekam apa yang terjadi, dan dengan cepat menyebarkannya. Skandal itu menyebar lebih cepat dari api yang dulu membakar rumah Kirana.
Kirana berdiri tak jauh darinya, menatap Argus dengan tatapan tanpa ekspresi. Tidak ada sorakan kemenangan meledak-ledak. Tidak ada kepuasan menggebu-gebu. Hanya kelegaan yang dingin.
Dendam itu telah terbayar. Bukan dengan api dan kehancuran fisik, melainkan dengan kebenaran yang membebaskan. Kebenaran yang akan menjebloskan Argus ke penjara dan menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Argus jatuh terduduk, pandangan matanya kosong. Kekuasaannya, kini hanya tinggal puing-puing.
Ketika polisi datang, disusul awak media berkerumun, Kirana melangkah keluar dari kerumunan. Menghilang di antara bayangan malam yang gelap.
Tak ada yang menyadari kepergiannya. Langit telah gelap sepenuhnya, bintang-bintang berkelip di angkasa, seolah tersenyum padanya.
Kini, ia bisa bernapas lega. Beban bertahun-tahun di pundaknya terangkat.
Sensasi dingin di dadanya yang selama ini menjadi bara api dendam, mulai mencair. Digantikan oleh kekosongan aneh, namun tidak menyakitkan.
Apakah ini akhir dari segalanya? Ia tidak tahu. Perjalanan ini telah mengubahnya. Ia tidak lagi gadis lugu yang dulu.
Tapi setidaknya, ia bisa menatap langit senja esok hari. Tanpa bayangan kelam yang menghantuinya.
Senandung dendam telah selesai, dan kini, mungkin, senandung baru—senandung kehidupan yang damai—bisa dimulai.