Hujan turun sejak pagi. Bukan hujan deras yang memaksa orang berteduh, tapi gerimis pelan yang turun seperti kenangan—diam-diam, tapi menyusup hingga ke dalam dada. Dari balik kaca jendela ruang kerjanya, Nadia menatap rintik-rintik yang menempel, seakan membaca pesan-pesan yang tidak tertulis di sana.
Di tangannya ada secangkir kopi yang sudah dingin. Tapi matanya tetap terpaku ke arah luar, seolah mencari sesuatu yang tak kunjung datang. Atau mungkin, seseorang.
“Dia akan datang jam sepuluh,” ujar Yuni, rekan kerjanya sambil menaruh berkas di meja. “Penulis baru. Namanya Raka Pratama.”
Nama itu menampar pikirannya. Seketika tubuhnya menegang. Dunianya berhenti. Nama itu terlalu akrab. Terlalu dalam.
“Nadia?” Yuni menatapnya heran. “Kamu gak apa-apa?”
Nadia buru-buru tersenyum. “Iya. Cuma… agak pusing aja.”
Yuni mengangguk ringan, lalu pergi. Tapi Nadia tahu, tak ada sakit kepala yang lebih menyakitkan dari luka lama yang tiba-tiba dibuka kembali tanpa peringatan.
Delapan tahun. Sudah delapan tahun sejak ia terakhir melihat Raka. Dan selama itu pula, ia mencoba menghapus jejak-jejak lelaki itu dari hidupnya. Tapi ternyata, tak semudah itu mengubur masa lalu.
---
Jam sepuluh tepat, pintu ruang rapat terbuka. Nadia duduk di sisi kanan meja panjang, tangannya mengepal di bawah meja. Lalu seseorang masuk—tinggi, tenang, mengenakan kemeja biru yang dulu sering ia kenakan saat mereka masih bersama.
Raka.
Waktu memang telah mengubahnya. Ada kerutan halus di bawah mata, dan rambutnya sedikit lebih tipis. Tapi tatapannya… tatapan itu masih sama. Hangat, dan penuh luka.
“Selamat pagi,” ucapnya pelan.
Nadia hanya mengangguk. Kata-kata terasa terlalu berat untuk keluar.
Mereka membahas rancangan buku selama setengah jam. Profesional. Datar. Seolah-olah tidak pernah ada kisah cinta yang patah di antara mereka. Tapi di dalam dada Nadia, ada gemuruh yang terus menekan.
Setelah rapat selesai dan semua orang bubar, Raka tetap duduk. Ia menatap Nadia dengan mata yang tak berubah sejak dulu.
“Aku ingin bicara. Kalau kamu mau,” katanya.
Nadia tak menjawab. Tapi ia juga tak berdiri. Dan itu cukup bagi Raka untuk melanjutkan.
“Aku tahu ini mendadak. Dan kamu mungkin marah. Tapi aku harus bilang sesuatu.”
Ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam map cokelatnya. Usang. Kertasnya sudah menguning di sudut-sudutnya.
“Aku pernah menulis ini. Dulu. Waktu aku harus pergi tiba-tiba.”
Nadia menatapnya dengan alis bertaut. “Pergi?” suaranya akhirnya keluar, pelan dan serak. “Kau menghilang tanpa sepatah kata. Kau pergi begitu saja.”
Raka menarik napas. “Waktu itu ibuku divonis kanker stadium lanjut. Aku harus menemaninya ke Belanda untuk pengobatan. Aku menulis surat buatmu. Tapi aku… aku titipkan ke seseorang. Dan sepertinya dia tidak pernah mengirimkannya.”
Nadia membuka amplop itu. Tangannya bergetar. Di dalamnya ada tulisan tangan yang ia kenal. Tulisan Raka. Surat itu bertanggal dua hari setelah mereka terakhir bertemu.
"Nadia, maafkan aku yang harus pergi mendadak. Aku tak sempat mengucap selamat tinggal, dan itu menyiksaku. Tapi aku tak punya pilihan. Ibuku sakit parah, dan aku harus pergi bersamanya ke Belanda. Aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Selalu. Dan jika kau masih menyisakan sedikit ruang untukku, aku akan kembali. Suatu hari."
Air mata Nadia menetes diam-diam. Delapan tahun. Delapan tahun ia menyimpan luka karena merasa ditinggalkan. Delapan tahun ia menyalahkan diri sendiri, merasa tidak cukup berharga untuk ditinggali penjelasan.
Raka menunduk. “Aku tidak berharap apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Karena sampai sekarang, aku masih belum bisa berdamai dengan perpisahan kita.”
Hening. Hanya suara hujan di luar yang terdengar. Seperti bunyi detik jam yang memaksa mereka mengingat bahwa waktu terus berjalan, meski hati mereka pernah terhenti di satu titik.
“Aku akan menikah, Raka,” ujar Nadia akhirnya. Suaranya bergetar. “Tunanganku orang baik. Kami… hampir bahagia.”
Raka tersenyum, tapi matanya basah. “Aku tahu. Aku tidak datang untuk mengubah hidupmu. Aku hanya ingin mengembalikan sesuatu yang dulu tak pernah sampai padamu—penjelasan.”
Nadia menatap surat di tangannya. Surat yang seharusnya datang di waktu yang tepat. Tapi hidup tak selalu tentang waktu yang ideal.
Terkadang, yang datang terlambat bukan untuk dimiliki kembali, tapi untuk menenangkan luka yang lama.
---
Sore itu, Nadia duduk di kamar apartemennya. Di sebelahnya ada foto dirinya dan tunangannya—Andre. Lelaki yang sabar, mapan, dan mencintainya tanpa syarat. Tapi di meja, ada surat dari masa lalu. Surat yang mengubah banyak hal di dalam dirinya.
Ia tahu, yang ia rasakan sekarang bukan lagi cinta pada Raka. Tapi juga bukan sekadar kenangan. Ada sesuatu yang masih tertinggal. Mungkin bukan untuk dilanjutkan, tapi juga bukan untuk dilupakan begitu saja.
Malam itu, Nadia menelepon Andre.
“Besok kita jadi lihat tempat resepsi?” tanya Andre, terdengar ceria.
Nadia terdiam sejenak. “Andre… aku mau jujur. Hari ini aku bertemu seseorang dari masa laluku. Dia… mantan. Dan aku baru tahu alasanku ditinggal dulu bukan seperti yang kupikirkan.”
Andre tak langsung menjawab. Lalu suaranya terdengar pelan. “Kamu masih mencintainya?”
Nadia menggeleng, meski Andre tak bisa melihat. “Tidak. Tapi aku harus jujur. Karena aku tidak mau menikah dengan hati yang masih menyimpan tanya.”
Hening sejenak. Lalu Andre menjawab, “Kalau kamu perlu waktu, aku bisa menunggu. Tapi kalau kamu memilih dia…”
“Aku tidak memilih dia,” sela Nadia cepat. “Aku memilih untuk berdamai. Dengan diriku sendiri. Dan dengan masa laluku.”
Suara Andre terdengar lega. “Kalau begitu, aku di sini. Menunggu kamu pulih sepenuhnya.”
Nadia menangis malam itu. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya ia bisa menangis dengan tenang. Tanpa dendam. Tanpa tanya.
---
Dua minggu kemudian, ia bertemu Raka di sebuah kafe kecil. Kali ini bukan untuk mengungkit masa lalu, tapi untuk menutupnya dengan tenang.
“Aku senang kau datang,” ujar Raka.
“Aku ingin bilang terima kasih,” jawab Nadia. “Karena kau sudah jujur. Dan karena sudah membuatku sadar… luka lama tidak harus jadi beban selamanya.”
Raka tersenyum. “Aku senang kau bahagia.”
Nadia membalas senyum itu. Dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, ia benar-benar merasa ringan.
Kembalinya masa lalu memang mengguncang, tapi juga membuka pintu menuju kedamaian. Karena kadang, yang kita butuhkan bukan melupakan—tapi menerima.
---