Langit kerajaan Arventilous tampak kelabu saat pemakaman Duces Athalla berlangsung. Gerimis turun perlahan, seolah ikut berduka atas kepergian seorang wanita paling cemerlang di tanah itu. Semua orang menunduk, tetapi seorang gadis kecil berambut perak, berdiri tegak di antara orang-orang berkabung, gaunnya hitam legam, wajahnya tanpa air mata.
Dia adalah Viviane, putri sah dari Duke Caelum, duke yang saat ini memegang kekuasaan di wilayah timur Arventilous dan Duces Athalla yang telah mangkat. Sejak kecil, nama Viviane sudah dikenal karena kecerdasannya yang melampaui anak seusianya. Tapi apa arti kejeniusannya bila setiap malam ia tidur tanpa kasih sayang, hanya ditemani sunyi dan pengkhianatan?
Viviane masih ingat, saat usianya delapan tahun, ayahnya pulang membawa seorang wanita asing dan seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun. Anak itu memiliki mata dan garis wajah yang mirip dengan Duke Caelum. Orang-orang memanggilnya "anak dari pernikahan sebelumnya sang wanita", namun Viviane tidak bodoh. Ia hanya menatap mereka dengan mata datar, ekspresi kosong seperti permukaan cermin tanpa retakan.
Ia tak menangis. Tak bertanya. Tak menyambut saudara tirinya. Ia hanya membungkuk kecil dan mengucap salam, seolah tak memahami luka yang disayatkan ke dalam hidupnya.
Padahal sejak usia enam tahun, ia telah menyadari bahwa ayahnya bukan pria yang baik. Ia melihat perubahan ibunya, Duces Athalla, yang dahulu cerah dan tajam menjadi seperti boneka hidup yang tersenyum hampa, terus mengejar perhatian Duke Caelum, bahkan saat pria itu jelas-jelas tak menginginkannya.
Viviane mulai mencurigai sesuatu.
Ia sering menyelinap diam-diam ke balik pintu kamar orang tuanya, hanya untuk mendengar ibunya diperlakukan seperti budak cinta, dikecilkan, dimanipulasi. Suatu malam, ia melihat sendiri ibunya mengemis untuk tidur bersama Duke, namun pria itu mendorongnya dan memanggil wanita lain di belakangnya. Viviane bergetar, tapi tak menangis. Hanya menatap, menghafal, dan menyimpan dendam dalam diam.
Hari itu ia mendengar suara teriakan hebat. Pintu terbuka, dan seorang pria tua yang datang membawa penawar ramuan cinta dilempar ke lantai, lalu digiring keluar oleh para ksatria. Ia dieksekusi malam itu juga. Ibunya yang sempat sadar dari pengaruh ramuan, kembali dicekoki minuman yang sama. Sejak saat itu, Viviane tahu: ibunya bukan lemah ibunya dijerat oleh sihir cinta.
Duke Caelum, pria yang konon memesona karena kecerdasan dan ketampanannya, ternyata hanyalah pengecut yang menginginkan kekuasaan. Ia menikahi Duces Athalla bukan karena cinta, melainkan karena ia ingin menduduki posisi Duke. Athalla, yang dulunya dicintai banyak bangsawan, hanya memilih satu pria: pria yang justru menghancurkannya.
Dua tahun setelah malam kelam itu, Duces Athalla ditemukan meninggal secara misterius. Kata para pelayan, ia jatuh dari balkon saat termenung. Tapi Viviane tahu lebih dari itu. Ia tahu ibunya tidak pernah ceroboh. Ia tahu, kematian itu bukan kecelakaan melainkan pembunuhan yang tersamar.
Dan saat peti jenazah ibunya masih diturunkan ke liang tanah, Duke Caelum telah berdiri bersama wanita barunya di sisi kanan altar, mengenakan jubah abu-abu aristokrat. Wajahnya tak menampakkan kesedihan, hanya senyuman samar penuh kemenangan. Di sampingnya berdiri anak laki-laki yang dua tahun lebih tua dari Viviane, saudara tirinya yang kini diperkenalkan sebagai "anak Duke yang lain."
Orang-orang bergumam. Beberapa memalingkan wajah, tapi tak ada yang berani menentang Duke Caelum. Mereka terlalu takut. Terlalu tunduk pada kekuasaan.
Viviane hanya berdiri. Memandang lurus ke arah ayahnya dan wanita itu. Wajahnya tetap tenang. Tak ada air mata. Tak ada protes. Ia seperti patung kecil berbalut kesedihan yang membatu.
Namun dalam hatinya, badai sudah bergemuruh.
Ia mengingat semua luka yang terukir sejak kecil. Ia mengingat wajah ibunya yang kehilangan cahaya. Ia mengingat senyum palsu ayahnya, tawa hambar wanita simpanan itu, dan tatapan licik sang kakak tiri yang kini berjalan bersamanya di istana yang dulu dibangun dari cinta ibunya.
Viviane tahu, dunia bangsawan dipenuhi kebohongan dan kepalsuan. Tapi ia bukan anak kecil lagi. Ia bukan boneka yang bisa diputar untuk bersikap patuh.
Dia adalah darah daging Duces Athalla seorang jenius, terlahir dari kehormatan dan luka. Dan suatu hari, dunia akan menyadari bahwa senyum datar seorang putri bukan berarti kebodohan.
___
Roda kereta bangsawan berderak lembut melewati jalan batu berlumut menuju kediaman keluarga Duke Caelum. Di dalamnya, duduk seorang wanita muda bergaun biru gelap berhias sulaman perak, rambut peraknya terurai rapi dengan sanggul kecil di belakang. Mata kelamnya menatap keluar jendela, namun pikirannya tak berada di sana.
Viviane Caelum kini telah berusia 19 tahun.
Gadis jenius yang kembali ke rumah masa kecilnya, bukan lagi sebagai anak terluka yang dipinggirkan, melainkan sebagai lulusan terbaik Akademi Aetheron, pemegang nilai tertinggi sepanjang sejarah akademi tersebut. Namanya dielu-elukan para profesor, dihormati oleh bangsawan muda, dan ditakuti oleh pesaingnya.
Namun, dalam diamnya, Viviane tidak berpikir tentang prestasi. Ia kembali mengingat peristiwa saat usianya 16 tahun.
Malam itu, udara musim panas begitu lembap di kediaman Duke. Viviane baru saja keluar dari ruang belajar ketika Leonhart, saudara tirinya, menghadangnya di lorong gelap. Tatapan matanya tidak seperti biasanya. Penuh niat. Penuh nafsu.
“Kenapa, adik cantikku? Tidak ingin dipuji atas tubuh yang sudah tumbuh indah?” ucapnya sembari menempelkan tangan ke dinding, memerangkap Viviane.
Viviane tak menjawab. Ia tak menunjukkan ketakutan, namun di balik ketenangan wajahnya, ia merasa jijik. Saat Leonhart menyentuh pundaknya, Viviane meraih gelas anggur dari meja hias di belakang dan menghantamkan tepat ke pelipisnya.
Darah mengalir dari pelipis Leonhart. Tapi ia hanya tertawa, lalu berlari sambil berteriak-teriak, menyusun kebohongan.
“Viviane mencoba membunuhku!”
Tanpa sempat memberi penjelasan, Duke Caelum langsung menjatuhkan vonis. Ia menyuruh pengawal mengurung Viviane di kamar, tanpa makanan selama tujuh hari. Saat akhirnya pintu kamarnya dibuka, Viviane hanya tertunduk, tubuhnya kurus, tapi matanya membara.
Seminggu kemudian, ia dikirim ke Akademi Aetheron, bersama Leonhart.
Hari-hari pertama menjadi neraka. Leonhart mempermalukannya di aula, menyebarkan cerita palsu tentangnya, mencoba menjatuhkan kehormatannya. Tapi yang tidak ia perhitungkan adalah bahwa Viviane... telah berubah.
Hanya dalam tiga hari, Viviane menguasai seluruh materi dasar, menyalip semua siswa. Dalam seminggu, ia memenangkan debat filsafat magis melawan siswa tahun terakhir. Dalam sebulan, ia menjadi asisten laboratorium arcane.
Leonhart? Dia menjadi bahan ejekan karena bodohnya mencampur dua ramuan yang meledak di depan profesor. Ia dikenal bukan sebagai penerus Duke, melainkan bayangan dari Viviane sang jenius.
Namun Viviane belum puas. Ia tidak ingin menang. Ia ingin membalas.
Ia mulai sering menyendiri di laboratorium saat ruangan kosong. Di sanalah ia meracik sebuah ramuan dari akar Vrasta, minyak Alluria, dan tetesan serum pemanggil Laxorith sejenis serangga kecil beracun dari hutan timur, berwarna merah gelap, yang menyerang feromon khusus.
Viviane menyimpan ramuan itu dalam botol kristal kecil. Ia menunggu waktu yang tepat. Dan waktu itu datang pada Festival Perburuan Akademi.
Hari itu, sebelum Leonhart menaiki kudanya untuk memasuki hutan, Viviane berjalan melewatinya. Tanpa ia sadari, Viviane menyentuhkan saputangannya ke bagian belakang kerah jubah berburu Leonhart dan menyemprotkan cairan itu.
Ramuan itu meresap diam-diam.
Tak lama setelah Leonhart masuk ke dalam hutan, langit mendung berubah gelap. Dari balik dedaunan, segerombolan Laxorith keluar mengejar feromon pada pakaiannya seperti obsesi. Leonhart panik, kuda meringkik liar. Ia memacu hewan itu tanpa arah, menerobos semak dan akar hingga tergelincir ke jurang dangkal berbatu.
Ia ditemukan tengah malam dengan tubuh penuh luka dan satu kaki remuk. Setelah diperiksa tabib istana, kesimpulan pun datang:
Leonhart Caelum tak akan pernah bisa berjalan normal lagi.
Ia dipulangkan ke kediaman Duke sebagai pemuda cacat, tanpa kejayaan, tanpa harga diri.
Di akademi, Viviane hanya mengangkat bahu saat mendengar kabar itu. Ia terus belajar, terus bersinar, seolah tak tahu menahu. Tapi dalam hatinya, api pembalasan telah menyala.
Kini, tiga tahun kemudian, ia kembali ke rumah yang dulu menjadi penjara sunyinya.
Kediaman Duke terlihat megah seperti biasa, namun bagi Viviane, itu hanya reruntuhan tipu daya yang diselimuti kemewahan.
Ia turun dari kereta, disambut para pelayan yang ketakutan menatap matanya yang tajam. Di atas tangga utama berdiri Duke Caelum dan wanita simpanannya. Leonhart duduk di kursi roda di belakang mereka, wajahnya masam dan matanya penuh benci.
Viviane tersenyum. Senyum tenang dan manis.
Namun di baliknya, tersembunyi rencana yang telah matang.
Waktu istirahat selepas makan malam selalu menjadi saat paling sunyi di kediaman Duke. Para pelayan mulai menghilang ke sudut-sudut kastil, api perapian mengecil, dan hanya suara jam antik yang berdetak pelan di lorong-lorong marmer.
Malam itu, Viviane melangkah perlahan ke arah ruang kerja sang ayah. Gaunnya berdesir ringan di lantai batu, langkahnya tenang tapi matanya menyala dengan sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri.
Namun langkahnya terhenti.
Pintu ruang kerja sedikit terbuka. Dan dari celah itu, Viviane melihat pemandangan yang membuat dadanya mual.
Di dalam ruangan, sang ibu tiri tengah duduk di pangkuan Duke Caelum, menyandarkan kepala ke bahunya dengan manja. Wajahnya bersolek berlebihan, suara tawanya kecil dan menjijikkan.
“Aku hanya ingin Leonhart mendapat apa yang seharusnya jadi haknya,” bisik wanita itu manja. “Dia pewaris darahmu, dan Viviane hanya anak dari masa lalu yang kelam.”
Viviane menahan napas. Matanya menusuk ke arah keduanya. Bibirnya mengatup. Ia tidak terkejut. Hanya muak. Seperti biasa, sang ayah membiarkan kebohongan duduk di pangkuannya.
Ia kembali ke kamarnya, menutup pintu, lalu menguncinya rapat. Di balik keheningan, ia duduk di meja belajar, menyalakan lampu sihir kecil, dan mulai membuka kotak kayu gelap berisi bahan-bahan yang ia bawa dari Akademi.
Bunga Nokturna, serbuk akar Vareth, tetesan tinta mimpi dari gua Lunare, dan esen kabut hitam dari Lembah Umbra; semuanya ia racik perlahan, dengan tangan tenang dan pikiran tajam.
Ramuan itu dinamainya: Noctis Veritas Ramuan Halusinasi Kebenaran.
Ramuan ini tak membunuh. Tapi menelanjangi jiwa. Menyiksa batin lewat mimpi buruk, delusi, dan wajah-wajah masa lalu. Dalam dosis tepat, penderita akan mengalami mimpi buruk berulang, melihat bayangan-bayangan menyeramkan bahkan saat terjaga.
Tengah malam, Viviane menyelinap ke dapur.
Ia sudah tahu jadwal para dayang, dan menunggu saat satu dayang membawa botol anggur untuk disajikan ke kamar Duke. Saat sang dayang lengah mencuci gelas, Viviane bergerak cepat, meneteskan Noctis Veritas ke dalam botol anggur, lalu kembali ke kamarnya seperti bayangan.
Malam itu, anggur diminum. Dan teror pun dimulai.
Duke Caelum bermimpi Athalla berdiri di ujung tempat tidurnya mengenakan gaun pernikahannya yang berdarah. Tawa Athalla menggema saat ia berkata, “Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir aku bisa kau kubur bersama kebohonganmu?”
Saat terbangun, Duke melihat puluhan sosok Athalla di setiap sudut ruangan. Mereka tertawa, mencibir, menangis, dan menjerit sekaligus. Bahkan istrinya sendiri terlihat seperti Athalla, memeluknya dengan senyum mengerikan.
Malam-malam berikutnya, Duke tak lagi tidur. Matanya cekung, tubuhnya gemetar, namun ia tak berani berkata apa pun. Ia merasa waras tapi dunia sekitarnya perlahan berubah menjadi neraka pribadi.
Namun Viviane belum selesai.
Tiga hari setelahnya, ia kembali ke meja raciknya. Kali ini, ia menciptakan ramuan baru dari akar Drellis, air otak hewan Shurkin, dan jelaga tanaman Hypnosia, ramuan yang ia beri nama Sibilare Mentis.
Ramuan ini membungkam saraf, memperlambat transmisi otak, membuat pikiran kabur dan kecerdasan melemah. Tanpa warna, tanpa bau, mustahil dideteksi jika dicampurkan ke makanan.
Pagi itu, saat sarapan, Viviane duduk anggun di meja makan panjang. Ibu tirinya tertawa lebar sambil membual tentang pesta dansa kerajaan. Saat seorang pelayan meletakkan semangkuk sup hangat di hadapannya, Viviane mengangkat cangkir tehnya dan dalam satu gerakan nyaris tak terlihat, meneteskan beberapa tetes ramuan itu ke dalam mangkuk sang ibu tiri.
Enam jam kemudian, efeknya mulai terlihat.
Wanita itu mulai berbicara sendiri, menyanyikan lagu masa kecil dengan nada sumbang. Lalu ia berdiri di kursi, berteriak, “Aku ratu peri! Lihat! Aku punya sayap!”
Tanpa aba-aba, ia melompat dari balkon lantai dua, mengepakkan lengannya seperti sayap khayalan. Tubuhnya menghantam lantai marmer lantai satu dengan suara yang mengerikan. Tulangnya remuk. Tengkoraknya pecah. Darah mengalir membentuk lingkaran tragis di bawahnya.
Kematian itu... dinyatakan sebagai kecelakaan akibat delusi mendadak. Tabib keluarga menjelaskan bahwa kondisi mental sang istri Duke tiba-tiba runtuh. Tidak ada yang mencurigai Viviane. Semua menatapnya dengan iba, mengira dia sebagai anak yang kehilangan lagi sosok ibu.
Namun kastil Duke kini diliputi kehancuran. Leonhart cacat. Istri Duke mati dengan mengerikan. Dan Duke sendiri dihantui arwah istrinya yang dulu ia bunuh perlahan.
Beberapa hari kemudian, utusan dari kerajaan datang. Dengan pengawal bersenjata dan surat titah resmi.
“Atas prestasi, kecerdasan luar biasa, dan kontribusinya yang besar dalam mengharumkan nama kerajaan Arventilous, Raja menetapkan Viviane Caelum sebagai Duces baru menggantikan ayahnya.”
Seluruh ruangan terdiam.
Viviane berdiri, menerima lambang Duchess di dadanya dengan anggukan hormat. Ia menatap ayahnya yang duduk pucat, dengan mata kosong penuh kegilaan yang mulai merayap. Tidak ada kemarahan di wajah Viviane. Hanya ketenangan dan kemenangan.
Sebab, inilah duchy baru. Dibangun bukan dengan darah bangsawan, tetapi dengan kecerdasan seorang putri yang pernah diabaikan.
Selama menjabat sebagai Duchess, Viviane mengurung ayahnya di dalam ruangan gelap, dan terus memberikan ramuan Noctis Veritas untuk menyiksa ayahnya. Selain itu, dia juga menjual Leonhart sebagai budak di pasar gelap. Hingga pada suatu hari, Mantan Duke akhirnya menyayat lehernya sendiri dengan pisau buah karena tak sanggup menahan teror dan mimpi buruk.
_____
Note : Cerita ini terinspirasi dari Lagu Golden Brown.