Cangkir Kopi dan Rahasia Kayu Kuno
Mentari pagi di Desa Lumina selalu terasa seperti cat air yang lembut, memudar dari jingga ke emas di balik puncak gunung. Di sana, tersembunyi di balik jalan berliku dan hutan pinus, ada sebuah kafe buku tua bernama "The Whispering Pages". Aroma kopi arabika bercampur dengan bau buku-buku usang yang membaur dengan tenang. Di sanalah, setiap pagi, Aruna duduk di sudut, buku sketsa di pangkuan, mencoba melawan monster tak kasat mata bernama art block.
Aruna, dengan rambut hitam lurus sebahu dan sepasang mata yang selalu tampak ragu, adalah seorang pelukis. Atau setidaknya, ia ingin menjadi pelukis. Dulu, sketsanya mengalir seperti air, menangkap setiap nuansa alam dan emosi. Tapi kini, halamannya kosong, jiwanya buntu. Sudah berbulan-bulan sejak ia bisa melukis apa pun yang benar-benar memuaskan hatinya. Ia merasa seperti kehilangan sentuhan.
"Kopi susu hangatmu, Nak," suara lembut Nenek Elara menginterupsi lamunan Aruna. Nenek Elara, pemilik The Whispering Pages, adalah sosok yang menenangkan. Rambutnya seputih kapas, senyumnya hangat, dan matanya selalu memancarkan kebijaksanaan yang mendalam. Ia tak punya siapa-siapa lagi kecuali Aruna, cucu kesayangannya yang memilih tinggal di desa terpencil ini demi mencari ketenangan.
"Terima kasih, Nek," balas Aruna, pipinya sedikit merona. Ia memang pemalu, bahkan terhadap neneknya sendiri.
Nenek Elara meletakkan cangkir kopi di meja kayu di depan Aruna, lalu tangannya menyentuh punggung tangan Aruna yang dingin. "Masih dengan lembaran kosong itu, sayang?" tanyanya lembut.
Aruna mengangguk pelan, menunduk. "Aku tidak tahu, Nek. Rasanya seperti ada yang hilang. Semua inspirasiku menguap begitu saja."
Nenek Elara tersenyum misterius. "Terkadang, yang hilang itu tidak benar-benar pergi. Hanya bersembunyi di tempat yang tak terduga." Ia lalu beranjak menuju rak-rak buku tua yang berdebu. Jemarinya yang keriput menyusuri punggung-punggung buku, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat.
Mata Aruna mengikutinya dengan penasaran. Nenek Elara berhenti di sebuah rak tersembunyi di balik tumpukan peta kuno. Ia menarik sebuah buku tua tanpa judul, sampulnya dari kayu yang diukir rumit. Debu bertebaran.
"Kau tahu, Aruna," kata Nenek Elara, menyerahkan buku itu pada Aruna. "Buku ini ada di kafe ini bahkan sebelum Nenek lahir. Kata kakek buyutmu, buku ini tidak boleh dibuka kecuali oleh seseorang yang jiwanya sedang mencari sesuatu yang sangat mendesak."
Aruna menerima buku itu. Beratnya mengejutkan, dan ukiran di permukaannya terasa aneh di bawah sentuhannya—pola spiral yang tak berujung, seperti labirin. "Apa ini, Nek?"
"Sebuah teka-teki, mungkin," jawab Nenek Elara sambil tersenyum penuh arti. "Atau mungkin, sebuah kunci."
Aruna membolak-balik buku kayu itu. Tidak ada halaman, hanya ukiran di permukaannya. Di tengah ukiran spiral itu, ada sebuah cekungan kecil berbentuk bintang. Aruna penasaran. Ia mencoba menekan, memutar, tapi tak ada yang terjadi.
Beberapa hari berikutnya, buku kayu itu menjadi obsesi Aruna. Ia membawanya ke mana-mana, mengamatinya di bawah cahaya matahari, di bawah cahaya lampu temaram kafe. Art block-nya masih ada, tapi kini ada satu misteri lain yang menyita pikirannya. Ia menggambar pola ukiran itu di buku sketsanya, berharap menemukan petunjuk.
Suatu sore yang cerah, saat Aruna sedang melamun di tepi danau yang berkilauan di belakang kafe, ia melihat sebuah batu kecil berbentuk bintang yang aneh. Bentuknya persis seperti cekungan di buku kayu itu. Dengan jantung berdebar, ia mengambil batu itu dan kembali ke kafe.
Dengan tangan gemetar, Aruna meletakkan batu bintang itu ke dalam cekungan di buku kayu. Klik! Sebuah suara pelan terdengar, dan ukiran spiral di permukaan buku itu mulai bergerak, perlahan-lahan membentuk pola baru. Cahaya keemasan tipis memancar dari celah-celah ukiran yang kini terlihat seperti sebuah peta.
Nenek Elara yang baru saja keluar dari dapur dengan nampan kue, tersenyum melihat Aruna. "Sudah ketemu kuncinya?" tanyanya.
Aruna ternganga. "Nenek tahu?!"
"Setiap orang yang mencari jiwanya akan menemukan jalannya, Nak," Nenek Elara mengusap rambut Aruna. "Ikuti peta itu, Aruna. Peta itu menunjukkan jalan ke tempat di mana imajinasi bersemayam."
Aruna menatap peta di buku kayu itu. Polanya menunjukkan jalur tersembunyi di dalam hutan pinus yang jarang dijelajahi. Ada simbol-simbol yang belum pernah ia lihat: bunga-bunga bercahaya, kupu-kupu raksasa, dan sebuah danau yang memantulkan langit malam di siang hari. Ini lebih dari sekadar peta biasa. Ini adalah peta ke tempat fantasi.
Dengan hati yang berdebar antara takut dan gembira, Aruna memutuskan untuk mengikuti peta itu keesokan harinya. Ia menyiapkan perlengkapan dan melukis peta itu di buku sketsanya, merasakan percikan inspirasi yang sudah lama hilang mulai menyala kembali. Ukiran di buku kayu itu seperti sihir, perlahan menghidupkan kembali imajinasinya.
Keesokan paginya, Aruna berangkat. Ia mengikuti jalur yang ditunjukkan peta, melewati pepohonan tinggi dan semak belukar. Hutan itu terasa berbeda, lebih hidup. Ia melihat bunga-bunga dengan kelopak yang berkelip seperti permata, mendengar bisikan angin yang terasa seperti melodi kuno.
Akhirnya, ia sampai di sebuah danau kecil yang tersembunyi. Danau itu tidak memantulkan langit biru, melainkan pantulan galaksi bintang yang gemerlap, seolah danau itu adalah jendela menuju alam semesta lain. Di tepi danau itu, tumbuhlah pohon-pohon dengan daun yang memancarkan cahaya lembut, dan di antara cabang-cabangnya, kupu-kupu raksasa dengan sayap transparan beterbangan, meninggalkan jejak cahaya.
Aruna terpaku. Ini adalah tempat yang hanya ada dalam mimpinya, dalam imajinasinya yang dulu. Ia merasakan semua batasan dalam pikirannya pecah. Ia mengeluarkan buku sketsanya, dan kali ini, tangannya bergerak sendiri. Warna-warna mengalir, garis-garis menari, menangkap keindahan danau bintang dan kupu-kupu cahaya. Art block-nya lenyap, digantikan oleh gelombang inspirasi yang tak terhentikan.
Ketika ia kembali ke kafe menjelang senja, wajahnya berseri-seri. Nenek Elara menyambutnya dengan senyum hangat. "Sudah menemukan jiwamu lagi, Nak?"
Aruna mengangguk, memeluk neneknya erat. "Lebih dari itu, Nek. Aku menemukan dunia yang selama ini tersembunyi."
Malam itu, Nenek Elara dan Aruna duduk di depan danau kafe, memandangi pantulan bintang yang kini tampak sedikit lebih terang dari biasanya. Aruna tahu, benda misterius itu bukanlah sekadar kunci untuk menemukan tempat ajaib, tapi kunci untuk menemukan dirinya sendiri, dan membuka gerbang imajinasinya yang tak terbatas. Dengan Nenek Elara di sisinya, ia tahu petualangan baru dalam seni dan kehidupan baru saja dimulai. Ia bukan lagi gadis pemalu yang buntu, tapi seorang pelukis yang siap membawa keajaiban ke dalam setiap guratan kuasnya.