"Kadang yang paling kita takuti bukan kehilangan, tapi keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya.”
-Revan sang malam
*・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿
aku selalu duduk di bangku taman yang sama setiap sore, menunggu langit perlahan berubah warna menjadi jingga kemerahan. Baginya, senja adalah waktu paling jujur—saat terang perlahan mengaku kalah pada gelap, tanpa pura-pura.
aku duduk setiap hari nya sepulang sekolah, tak pernah absen dari bangku taman itu, selalu menatap langit dan sesekali menangis agar aku lega sesaat
menurut ku duduk di taman sambil menatap langit adalah hal yang sangat ku sukai..
tenang.. sejuk, dan cantik.
semua rasa salah, marah dan kecewa bisa ku rasakan di sana.
- - - - - - - - - - - -☽༓・*˚⁺‧͙
hari itu, aku duduk seperti biasa, di bangku taman saat sore, menunggu senja berubah menjadi malam, ku tatap langit dengan senyuman, ku rasakan setiap indah nya warna yang muncul di atas sana.
Indira tak sendiri. Di ujung bangku yang sama, duduk seorang laki-laki. Ia mengenakan jaket gelap, matanya teduh, tapi tak pernah benar-benar menatap Senja.
Namanya Revan.
Mereka tak banyak bicara. Hanya saling berbagi diam yang anehnya terasa nyaman. Mulai dari situ, setiap hari, Indira datang lebih awal, berharap Revan juga datang. Dan setiap hari, Revan memang selalu muncul—duduk di ujung bangku, menatap langit seolah menunggu sesuatu yang tak pernah tiba.
‧͙⁺˚*・༓☾- - - - - - - -☽༓・*˚⁺‧͙
Suatu sore, Indira memberanikan diri membuka suara.
“Kau selalu datang… hanya saat senja.”
Revan hanya tersenyum tipis. “Dan kau juga.”
Jawaban itu membuat hati Indira bergetar. Entah sejak kapan, ia mulai menunggu Revan lebih dari langit senja itu sendiri. Ia mulai bercerita tentang kecelakaan adiknya yang berpapasan dengan putus nya hubungan nya tahun lalu, ia merasa hancur, ia di landa perasaan sepi yang menelan nya diam diam.
Revan mendengarkan, selalu diam, hanya sesekali mengangguk. Tapi ada sesuatu di mata Revan yang Senja tak mengerti: semacam penyesalan yang menua bersama setiap kata Senja.
---
Hingga pada senja melanjutkan cerita berikutnya, kebenaran akhirnya muncul—bukan karena Indira bertanya, tapi karena Revan tak sanggup lagi diam.
“Aku ada di sana,” bisik Revan, nyaris tak terdengar di antara desau angin sore.
“Di tempat adikmu meninggal… Aku melihat semuanya, dan akulah yang tak sengaja menabrak adik mu begitu saja..., aku takut. Aku… tak melakukan apa-apa, maaf kan aku.”
Senja terdiam. Dunia seolah membeku. hujan turun tiba tiba, jatuh lebih deras, menelan detak jantungnya sendiri.
“Apa?” suaranya pecah, gemetar.
“Aku sudah lama ingin bilang. Tapi aku takut. Maafkan aku, Indira…” kata Revan, suaranya patah.
Indira tak tahu harus merasa apa. Marah? Sedih? Atau kecewa karena ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini sebab dari kematian adik kesayangan nya itu, terlebih, ia membawa potongan luka masa lalunya? Dadanya sesak, seperti langit yang kehilangan cahaya.
---
Revan berdiri, hendak pergi. “Aku tak pantas duduk di sampingmu,” katanya pelan.
Langkahnya berat, seolah menahan seluruh rasa bersalah yang selama ini ia sembunyikan.
Indira menunduk. Tangannya menggenggam erat buku catatannya, seperti hendak meredam tangis.
Dan di balik air matanya, ia menyadari satu hal.
Revan bukan hanya seseorang yang ia tunggu setiap sore. Revan adalah penyesalan itu sendiri—datang terlambat, tinggal sebentar, lalu pergi meninggalkan gelap.
---
Indira mengangkat kepala. Langit tak lagi jingga. Hari berubah menjadi malam, sama seperti dulu saat segalanya berakhir.
Tapi kali ini, ia membiarkan Malam pergi.
Dan di dalam hatinya, ia berbisik:
"Terima kasih sudah jujur, meski kau terlambat. Aku akan belajar memaafkan. Pelan-pelan, seperti senja yang selalu belajar merelakan siang."
Indira bangkit dari tempat duduk nya, meninggalkan taman begitu saja, ia mengepalkan tangan nya dan berjanji tak akan datang lagi ke bangku taman itu, ia pulang ke rumah nya dengan hati hancur dan air mata yang terus menetes dari mata nya, ia membenci malam yang seakan datang seperti Revan, menyesal menceritakan itu kepada Revan.
andai ia tak menceritakan itu, mungkin saja mereka masi bisa bersama menikmati langit tanpa tau kebeneran masing masing.
ՏᗴᒪᗴՏᗩI...☾ ☆