Renata tidak pernah menyangka hidupnya akan berakhir di tengah kebun herbal. Dulu ia membayangkan diri mengenakan jas putih, menyusuri lorong rumah sakit, menyebut istilah medis dengan percaya diri. Namun, hidup tak selalu mengikuti peta yang kita gambar saat remaja.
Ayahnya meninggal saat ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Ibunya menyusul tiga tahun kemudian. Rencana kuliah kedokteran terhenti. Ia kembali ke rumah nenek di desa, satu-satunya keluarga yang tersisa, dan terpaksa tinggal di rumah kayu berdinding anyaman bambu yang dikelilingi tanaman obat.
Setahun setelah kepergian sang nenek, Renata berdiri di kebun peninggalan itu, berhadapan dengan seseorang yang seharusnya tidak muncul lagi dalam hidupnya—Rayan Arsaputra.
"Masih keras kepala, ya?" ucap Rayan santai. Kemeja putihnya tampak terlalu bersih untuk kebun yang baru saja diguyur hujan semalam.
Renata menatap tajam. "Aku tidak keras kepala. Aku hanya tidak suka disuruh-suruh."
"Aku tidak menyuruh. Aku menawarkan kerja sama."
Renata menghela napas. "Aku tidak butuh apotek modern mencampuri warisan nenekku."
Rayan tersenyum kecil. Ia menyandarkan tubuh pada tiang bambu saung. "Produkmu bagus. Tapi tanpa distribusi dan izin edar, kamu akan kesulitan berkembang."
"Aku lebih memilih bertahan dengan pelanggan kecil daripada menjual nama nenekku."
Rayan mengambil botol kecil dari rak kayu. "Tahukah kamu? Nenekmu pernah menyelamatkan nyawa nenekku dengan ramuan pahit ini."
Renata menoleh cepat. “Kamu mengarang?”
“Tidak. Waktu itu aku berusia tujuh tahun. Aku tidak paham soal jamu, tapi aku tahu wajah panik orang tuaku. Lalu nenekmu datang membawa air rebusan daun dan akar yang baunya mengerikan. Beberapa hari kemudian, nenekku pulih. Sejak itu, aku percaya ... tidak semua yang pahit itu buruk.”
Renata terdiam. Kalimat itu seperti milik neneknya. Ia merasa diserang dari arah yang tak terduga.
"Aku ingat kamu," lanjut Rayan. “Juara lomba IPA se-kabupaten. Selalu membawa buku ke kanti dan selalu menjauh saat aku lewat.”
Renata mengerutkan alis. “Karena kamu menyebalkan, sombong, dan suka mengejek.”
Rayan tertawa. “Mungkin. Tapi kamu tetap ingat.”
Renata memutar tubuh, pura-pura sibuk merapikan toples-toples kecil. “Kenapa kamu tidak berhenti saja, Ray?”
"Aku ingin memastikan apakah kamu masih menyimpan mimpi yang sama."
Renata menunduk. Dulu ia ingin menjadi dokter agar bisa menyembuhkan orang. Kini, ia menyembuhkan juga dengan ramuan pahit, akar kering, dan daun-daun yang dikeringkan di bawah matahari. Bukan di rumah sakit, tetapi di kebun kecil warisan neneknya.
"Aku masih ingin menyembuhkan, tapi bukan lagi lewat stetoskop," jawabnya lirih.
Rayan mengangguk. “Kalau begitu, kita punya tujuan yang sama. Kamu tahu meramu, aku tahu mendistribusikan. Kenapa tidak kita padukan?”
Renata menatap proposal yang disodorkan Rayan. Logo perusahaan farmasi keluarga Rayan tertera di atasnya. Perusahaan itu dulu pernah ia benci karena dianggap memonopoli pengobatan mahal di kota.
"Aku masih tidak percaya kamu tulus."
"Aku juga belum percaya kamu akan setuju."
Mereka saling diam. Hening yang tidak asing, seperti sisa perdebatan lama yang belum selesai. Ketegangan itu bukan lagi benci, tapi belum cukup disebut rindu.
"Kalau aku memberikan jawaban yang sama, apa kamu akan berhenti?"
Rayan tersenyum. “Kalau kamu masih menolak, aku akan kembali lagi minggu depan.”
"Kenapa?"
Rayan menatap lurus. “Karena beberapa akar butuh waktu lebih lama untuk tumbuh, tapi ketika tumbuh mereka menembus tanah paling keras.”
Renata terdiam. Kalimat itu menusuk bukan karena menyakitkan, tapi karena terasa benar. Sejak neneknya tiada, ia merasa seperti akar yang terputus. Namun kini, ada yang mulai menumbuhkan kembali harapan itu.
"Rayan," gumamnya, "kamu tahu mengapa aku membencimu waktu SMA?"
"Karena aku menyuruh teman-teman cowok mengirimi kamu surat cinta yang sebenarnya kutulis sendiri?"
Renata melotot. “Jadi itu kamu?!”
Rayan tertawa kecil. “Kamu tidak pernah baca sampai akhir, ya? Di bagian penutup kutulis: ‘Kalau kamu membenciku, jangan bakar surat ini. Aku ingin tahu rasanya dibakar hidup-hidup tanpa benar-benar mati.’”
Renata memalingkan wajah, menahan senyum. “Itu ... bodoh.”
“Tapi jujur.”
Renata tak menjawab. Ia kembali menatap proposal di tangannya. Tapi pikirannya melayang—pada masa lalu yang pahit, dan kemungkinan masa depan yang masih mungkin tumbuh.
"Minggu depan," katanya akhirnya, "bawa surat baru. Bukan proposal."
“Surat apa?”
“Surat niat. Mau bantu kebun ini, atau ... bantu hatiku tumbuh.”
Rayan menatapnya lama. Tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melangkah pergi, meninggalkan aroma hujan, tanah basah, dan tanya yang menggantung di udara.
Ketika langkahnya hilang di tikungan, Renata menyentuh dadanya sendiri. Degupnya tak serapi biasanya. Ia tahu, sesuatu sedang tumbuh kembali di dalam dirinya.
Mungkin bukan impian lama. Tapi sesuatu yang lebih dalam—akar baru.
Dan akar itu belum selesai tumbuh.