Kara memandangi pantulan wajahnya di cermin, wajah yang terhalang oleh rambut panjangnya yang kusut. Pagi itu, ia merasa lelah, bukan karena kurang tidur, melainkan karena perasaan yang terus membebani. Hatinya sedang berperang dengan dirinya sendiri, bertanya-tanya apakah ia masih bisa bertahan dalam hubungan ini.
Di luar, cuaca sedang mendung. Hujan gerimis turun perlahan, seolah mencerminkan suasana hatinya. Beberapa bulan terakhir, ia dan Devan, kekasihnya, sudah tidak lagi berbicara seperti dulu—ketika cinta mereka terasa segar, penuh semangat, dan penuh harapan.
Devan adalah pria yang menarik, dengan senyum yang bisa membuat semua orang jatuh hati. Tapi, seperti halnya semua hal yang tampaknya sempurna, Devan juga memiliki sisi gelap yang perlahan menggerogoti hubungan mereka. Ada ketergantungan emosional yang sulit untuk dihilangkan.
"Kenapa kamu gak bisa lebih peka, Kara?" kata Devan beberapa hari yang lalu. Suaranya rendah, penuh kekesalan, seolah-olah dia merasa kecewa dengan setiap langkah yang diambil Kara.
Kara menarik napas panjang. Ia tahu kata-kata itu keluar dari mulut Devan bukan karena cinta, melainkan karena kontrol. Devan, meski terlihat penuh perhatian, selalu ingin mengendalikan segalanya keputusan-keputusan kecil, kebiasaan sehari-hari, hingga cara Kara berpikir. Tak jarang ia merasa seperti bukan dirinya sendiri dalam hubungan ini.
"Apakah kamu masih mencintaiku?" tanya Kara, menggoda, meski ia tahu jawabannya. Tetapi, pertanyaan itu selalu muncul, seolah meminta kepastian yang tak pernah ada.
Devan menatapnya, sorot matanya mengindikasikan kelelahan. "Cinta itu lebih dari sekadar kata-kata, Kara. Cinta itu adalah kesetiaan. Aku merasa kamu mulai menjauh dariku. Apa aku harus menjagamu seperti anak kecil?"
Kara terdiam, merasa terjebak. Ia tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia merasa bebas dalam hubungan ini. Ada kalanya, Devan begitu protektif hingga membuatnya merasa seperti burung dalam sangkar. Terkadang, ia ingin melarikan diri, tetapi perasaan bersalah yang terpendam selalu menghalangi langkahnya.
"Devan, aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri," jawab Kara pelan, mencoba menjaga ketenangannya meski hatinya terasa sesak. "Aku juga ingin bisa bebas melakukan hal-hal yang aku suka tanpa merasa diawasi."
"Tapi, kamu kan tahu aku peduli padamu," Devan balas, suaranya lembut namun penuh tekanan. "Aku hanya tidak mau kehilanganmu. Aku ingin kita selalu bersama."
"Namun, terkadang, aku merasa terlalu banyak yang kamu ambil dariku. Cintamu terlalu berat," Kara berkata, melawan arus perasaan yang menggerogoti dirinya. "Aku ingin menjadi diri sendiri lagi."
Devan terdiam, seakan mempertimbangkan kata-kata Kara. Namun, ekspresinya tiba-tiba berubah tajam, penuh kemarahan yang seolah tersembunyi. "Jadi, ini salahku? Kamu yang ingin berubah, bukan aku?"
Kara merasa tenggelam dalam arus pertengkaran yang tak pernah berujung. Setiap kata yang keluar dari mulut Devan terasa seperti senjata yang melukai jiwanya. Seolah, dalam setiap kalimatnya, ada tuntutan yang tak bisa dipenuhi. Keinginan Devan untuk selalu mengontrol semakin mengekang kebebasannya, bahkan ketika mereka hanya berbicara tentang hal-hal kecil.
Hatinya retak, tapi ia tak tahu harus berbuat apa. "Aku hanya ingin kita berdua bahagia," kata Kara, matanya berkaca-kaca. "Aku ingin kita bisa saling mendukung, bukan mengontrol satu sama lain."
Devan memutar bola matanya, lalu mendekat. Wajahnya begitu dekat, nafasnya terasa hangat di wajah Kara. "Jika itu yang kamu inginkan, aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku lakukan untukmu."
Kara menatapnya, merasa terbelah. Cinta yang dulu terasa menghangatkan kini terasa seperti beban. Devan ingin mengendalikan dirinya, dan ia merasa dirinya semakin hilang dalam hubungan ini.
Hari demi hari, perasaan itu semakin menyesakkan. Tidak ada lagi percakapan ringan, tidak ada lagi kebahagiaan yang mengalir begitu saja. Hanya ada rasa sakit yang perlahan mengikis, membuat mereka berdua terjebak dalam lingkaran yang tak berujung.
Akhirnya, setelah lama mempertimbangkan, Kara tahu satu hal bahwa dia harus memilih untuk melepaskan dirinya. Cinta tidak seharusnya membuat seseorang merasa terkekang. Cinta harus membuat kita tumbuh, bukan membuat kita merasa kecil.
Dengan langkah yang berat, Kara memutuskan untuk pergi. Tidak ada drama besar, tidak ada pertengkaran yang melibatkan emosi yang meledak-ledak. Hanya keheningan yang mengiringi keputusannya. Ia tahu, bahwa meski perpisahan itu akan menyakitkan, tetapi itu adalah langkah yang harus diambil agar ia bisa kembali menemukan dirinya sendiri.