Rania menatap keluar dari jendela besar yang menghadap ke taman luas. Dari sana, pohon-pohon besar dan rumput hijau yang terawat tampak seperti bagian dari lukisan. Rumah mewah ini seharusnya menjadi simbol kebahagiaan, namun baginya, itu lebih seperti penjara emas yang membungkus kesepian.
Setelah kedua orang tuanya bercerai, semuanya berubah. Ayahnya pergi entah ke mana, terbang ke luar negeri untuk mengejar kesuksesan yang katanya masih bisa didapatkan di sana. Ibunya, lebih memilih tenggelam dalam dunia kerjanya, berpindah dari satu acara sosial ke acara lainnya, tak pernah pulang lebih dari seminggu.
Rania, yang dulu selalu didampingi oleh kedua orang tuanya, kini hanya dikelilingi oleh harta benda yang tidak pernah memedulikannya.
Tidak ada lagi suara tawa, percakapan hangat, atau pelukan dari ibu yang biasanya menenangkannya setelah hari-hari penuh stres di sekolah.
Semua itu digantikan oleh hening yang menyakitkan. Semua pelayan, pengawal, dan satpam yang dulu ada, kini pergi—mereka hanya bekerja di rumah ibu, rumah yang lebih besar, lebih megah, dan lebih sibuk.
“Rania, kamu baik-baik saja?” tanya suara telepon dari ibunya, hampir seperti suara otomatis, tanpa emosi.
“Baik, Bu,” jawab Rania, meski hatinya terasa kosong. Sudah berbulan-bulan sejak percakapan mereka yang sebenarnya lebih seperti formalitas itu terjadi.
Setiap malam, Rania tidur sendirian di kamar besar dengan dinding-dinding yang terlalu tinggi, mengingatkan dia pada rasa keterasingan yang semakin dalam. Rumah ini terasa besar sekali untuk hanya satu orang. Makanan sudah tersedia di meja makan yang luas, namun tidak ada yang menyantapnya bersamanya. Semua itu seperti sebuah skenario yang sempurna, namun tanpa pemain yang peduli.
Suatu sore, saat hujan mulai turun dengan derasnya, Rania duduk di kursi sudut yang menghadap kolam renang. Ia memandangi air yang bergerak perlahan, sementara pikiran-pikiran yang lebih gelap datang menghampiri. Mengapa kedua orang tuanya lebih memilih untuk melanjutkan hidup mereka tanpa mempedulikannya? Apakah ia benar-benar begitu tak berarti?
Rania teringat masa kecilnya yang lebih hangat. Ia masih ingat bagaimana dulu ayahnya selalu menyempatkan diri bermain bersama, dan ibunya, meski sibuk, selalu punya waktu untuk mendengarkan cerita-cerita kecilnya. Namun sekarang, hanya ada kesepian yang menggantung di udara.
Sekali lagi, Rania mengangkat teleponnya. Kali ini, ia menghubungi temannya, Dira.
“Dira… Aku nggak bisa lagi seperti ini. Rumah ini, semuanya terasa asing. Aku merasa sendirian,” ujar Rania, suaranya bergetar. Ada rasa kesedihan yang mendalam, tapi juga sedikit harapan.
Dira terdengar terkejut. “Rania, aku tahu kamu merasa kesepian, tapi jangan biarkan itu mengendalikan kamu. Kamu berharga, lebih dari apa yang bisa dilihat orang lain. Kamu berhak untuk merasa dicintai dan dihargai. Mungkin kamu bisa mulai mencari cara untuk berdamai dengan dirimu sendiri dulu, baru orang lain.”
Rania terdiam, menatap bayangannya yang terpantul di permukaan air kolam. Perlahan, ia mulai menyadari sesuatu—bahwa meskipun orang tuanya tidak ada di sana, ia masih memiliki diri sendiri. Ia masih bisa memilih untuk tidak tenggelam dalam kesedihan yang seakan mengelilinginya.
Dengan langkah yang lebih pasti, Rania mulai mengeksplorasi bagian-bagian dari dirinya yang selama ini terabaikan. Ia mulai menulis di jurnalnya, mengekspresikan perasaan yang selama ini ia pendam. Ia juga memulai hobi baru—melukis. Setiap goresan kuas di atas kanvas adalah cara baru baginya untuk berbicara dengan dunia yang lebih luas, yang tak selalu bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.
Suatu pagi, saat ia melangkah ke luar rumah untuk melihat taman bunga yang tumbuh di belakang, Rania menyadari bahwa meskipun segala sesuatunya berubah, ia tidak perlu merasa terkekang. Rumah yang dulu terasa seperti penjara kini tampak sedikit lebih ramah, lebih seperti tempat yang ia tinggali dengan pilihan dan kendali penuh atas kehidupannya.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hubungan antara dirinya dan orang tuanya. Tapi satu hal yang pasti—ia mulai belajar untuk memupuk cinta untuk dirinya sendiri, bahkan jika itu berarti harus memulai kembali dari awal.