Hari yang Sunyi.....
Perutku sunyi sejak siang kemarin. Tak ada yang singgah, tak ada yang mengisi. Seperti rumah kosong yang lupa bagaimana rasanya kehangatan. Aku mengaduk saku yang kosong, menggenggam udara seolah ada harapan yang bisa kuambil. Sepeser pun tak kupunya. Hanya sebutir telur dan sebungkus mie yang kupeluk, seperti menggenggam sisa-sisa harapan terakhir yang nyaris padam.
Dengan pelan, kubuka lemari. Di sana, tersimpan satu hal yang mungkin bisa menolongku: nasi semalam. Dingin, tapi masih utuh. Aku menelan ludah, mengayuh langkah menuju dapur yang hening dan dingin seperti hati yang sudah lama tak disentuh bahagia.
Kutatap telur itu. Kuterima ia seperti teman lama yang datang membawa kabar baik. Dengan hati-hati kutepuk kulitnya di tepi kuali. Retakan kecil mulai terbuka, namun bau busuk segera menyeruak, menusuk, menghantam hidungku tanpa ampun. Telur itu, tak layak disebut telur. Ia sudah mati, membusuk dalam diam. Harapanku, ikut terkubur bersama cangkangnya di saringan air.
Aku terdiam. Rasanya ingin marah, tapi kepada siapa? Kepada telur? Kepada dapur yang dingin? Atau pada diri sendiri yang terlalu sering bersahabat dengan kelaparan? Aku cuci kuali perlahan, mencoba menahan gejolak di dada. Setidaknya, masih ada mie. Masih ada yang bisa kupeluk, walau mungkin rasanya tak seindah yang kubayangkan.
Air mulai mendidih, uapnya menari-nari seperti mengejek. Kubuka bungkus mie dengan harapan kecil di dalam dada. Namun mataku sibuk mencari… bumbu. Mana bumbunya? Aku membongkar bungkusnya, mengguncangnya, mengoyaknya… kosong. Tak ada bumbu, tak ada rasa. Mie itu polos, hampa, seperti hidupku belakangan ini.
Aku tertawa kecil. Tawa yang getir. Tawa yang lebih mirip luka daripada bahagia.
Kutaburkan garam seadanya. Tak banyak, hanya cukup untuk mengingatkan lidahku bahwa dunia ini masih punya rasa, meski samar. Aku berbalik pada nasi semalam. Satu harapan lagi, mungkin bisa kuselamatkan. Tapi ternyata, harapan itu sudah basi. Bau asamnya menghantam seperti tamparan.
Hari itu, di dapur yang dingin, di rumah yang sunyi, aku hanya mampu mengunyah mie bergaram seadanya. Tak enak. Tak nikmat. Tapi aku makan juga, karena lapar tak pernah mau menunggu. Karena kadang dalam hidup, yang pahit pun harus kita telan. Kita tak selalu punya pilihan.
Hari itu, aku belajar, bahwa kadang hidup memang mengejek dalam diam. Tapi meski rasa tak lagi ada, kita tetap harus menelan.
Karena hidup, bagaimanapun getirnya, harus terus berjalan.