Sumba itu indah. Siapa pun yang datang, nyaris selalu jatuh cinta pada pemandangannya yang purba, padang-padang savana yang melambai, dan pantai-pantai sunyi yang serupa dunia yang belum selesai diciptakan.
Tapi bukan hanya alam yang jadi pesonanya, budaya Sumba adalah keindahan yang hidup. Megalitikum yang masih tegak, kain tenun dengan motif yang menyimpan kisah leluhur, hingga upacara adat yang penuh makna tentang hidup dan kematian. Warisan budaya itu kuat, terlalu kuat, hingga kadang membatasi gerak maju generasi muda.
Di balik semua keelokan itu, ada kenyataan yang membuat kita perlu berhenti sejenak dan berpikir ulang. Pendidikan di Sumba, sayangnya, belum menjadi panglima.
Di banyak desa, sekolah kalah penting dibanding pesta kematian. Anak-anak yang seharusnya masih sibuk mengeja huruf dan menulis cita-cita, justru harus terpatahkan dengan alasan tidak punya biayaya.
Akibatnya, tidak sedikit pula yang terpaksa berhenti sekolah karena keluarga lebih memilih membeli babi untuk keperluan adat ketimbang membayar seragam dan buku pelajaran.
Namun bukan hanya seragam sekolah yang kerap kalah dari sehelai kain adat. Di banyak kampung di pedalaman Sumba, anak-anak juga harus berbesar hati ketika masa depannya dikorbankan demi sekarung gengsi budaya yang tak pernah ditimbang ulang.
Setiap kali ada kematian, keluarga besar akan bergerak. Bukan hanya menangis dan mengantar jenazah, tapi juga menyembelih hewan dalam jumlah besar, babi, kerbau, kuda, bahkan sapi, sesuai tingkat status dan silsilah mendiang.
Tradisi ini bukan semata ritus perpisahan. Ia adalah panggung kehormatan, ajang menunjukkan derajat keluarga, sekaligus pembuktian pada dunia bahwa kita tak kalah martabat di hadapan kematian. Tapi pada kenyataannya, ini juga yang membuat banyak keluarga jatuh miskin setelah prosesi adat berakhir.
Tak jarang, demi menunaikan semua kewajiban budaya itu, keluarga terpaksa berutang besar-besaran. Kerbau digadai, tanah dijual, bahkan anak-anak pun harus putar haluan: berhenti sekolah, ikut kerja serabutan, atau merantau tanpa arah.
Karena ketika utang adat menumpuk, tak ada lagi ruang bicara tentang mimpi. Tak ada dana untuk membeli buku, apalagi membayar biaya masuk sekolah lanjutan. Anak-anak yang seharusnya punya masa depan cerah, akhirnya terjebak dalam siklus kemiskinan yang diwariskan turun-temurun.
Lalu kita bertanya: untuk siapa semua persembahan itu?
Penting untuk diingat, tak ada yang keliru dengan menghormati leluhur. Tapi bila demi sebuah upacara, satu generasi harus dikorbankan, maka warisan itu perlu ditinjau ulang. Budaya yang memuliakan kematian, tapi melupakan hidup anak-anak, justru menjadi beban sejarah yang tak lagi mendidik.
Solusinya bukan dengan menolak adat, melainkan menata ulang porsinya.
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah konkret. Buat regulasi yang membatasi jumlah hewan kurban dalam prosesi adat, terutama bagi keluarga miskin. Bukan untuk menistakan tradisi, tetapi menyelamatkan masa depan.
Libatkan para tetua adat dalam penyusunan panduan baru, bagaimana melaksanakan ritus dengan makna spiritual yang dalam, tapi tanpa beban ekonomi yang mencekik. Upacara duka harus dimaknai sebagai bentuk penguatan solidaritas, bukan ajang adu gengsi antar kerabat.
Di sisi lain, pendidikan publik juga penting. Kampanye budaya hidup sederhana dalam prosesi kematian harus masuk ke sekolah-sekolah, gereja, dan balai adat. Biarkan generasi muda tumbuh dengan kesadaran bahwa adat bisa berubah, selama esensinya tetap dijaga.
Karena adat sejatinya adalah cermin kehidupan, bukan beban hidup.
Sudah waktunya kita bertanya dengan jujur: apakah benar leluhur akan bangga jika demi menghormati mereka, kita malah menciptakan generasi yang hilang harapan?
Budaya yang besar tak diukur dari jumlah kerbau yang disembelih, tetapi dari seberapa bijak kita merawat kehidupan setelah kematian.***