Kasus PRT Intan, Ketua Lembaga PP PMKRI Tagih Janji Prabowo Tuntaskan RUU PPRT
Indonesia kembali diguncang oleh tragedi memilukan yang mencerminkan pelanggaran berat terhadap norma kemanusiaan. Seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT), Intan (22), asal Sumba Barat, menjadi korban kekerasan berat oleh majikannya berinisial R (44) dan rekannya M (22) di kawasan elit Sukajadi, Batam.
Peristiwa ini menjadi sorotan publik, memantik kemarahan dan keprihatinan luas dari berbagai kalangan masyarakat. Bukan sekadar kecaman, tragedi ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah lama tertunda.
Salah satu suara lantang datang dari Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) St. Thomas Aquinas, Kristina Elia Purba. Ia mempertanyakan kembali urgensi dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan pembahasan RUU PPRT.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan PP PMKRI, berikut rincian fakta tragis yang dijadikan dasar desakan agar pemerintah segera mengesahkan RUU tersebut:
1. Korban mengalami kekerasan fisik dan psikis selama kurang lebih satu tahun, termasuk luka parah di seluruh tubuh dan trauma psikis berat. Ia bahkan dipaksa meminum air dari septitank dan makan kotoran anjing.
2. Video dan laporan warga yang tersebar di Facebook memicu penyelidikan aparat, yang akhirnya menetapkan majikan dan rekannya sebagai tersangka dan menahan mereka tanpa kemungkinan adanya perdamaian.
3. Korban kini dirawat intensif, baik secara medis maupun psikiatris, untuk memulihkan kondisi fisik dan mentalnya.
PP PMKRI menilai bahwa meskipun RUU PPRT merupakan kebutuhan mendesak, pembahasannya hingga kini masih tersendat. Mereka mempertanyakan janji Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa pembahasan RUU tersebut akan selesai dalam tiga bulan setelah Hari Buruh (1 Mei 2025).
"RUU PPRT telah diusulkan sejak lama (2004), masuk Prolegnas Prioritas 2025, dan diincar selesai pada 2025. Presiden Prabowo juga menjanjikan pembahasan usai Hari Buruh (1 Mei 2025) dan rampung dalam tiga bulan. Namun sampai hari ini, draf belum lolos tingkat II, dan penetapan politis serta kemauan legislasi masih dianggap kurang. Bahkan ada juga beberapa partai yang sempat menolak memasukkan RUU ini sebagai carry-over," tegas PP PMKRI dalam pernyataan resmi yang disampaikan kepada Koranrakyatntt, Rabu, 25 Juni 2025.
Mereka menekankan bahwa kasus Intan adalah gambaran nyata betapa rentannya posisi PRT tanpa perlindungan hukum yang tegas. PP PMKRI menolak jika RUU PPRT dipandang sebagai dokumen politik yang bisa diperlambat pembahasannya.
"Penganiayaan di Batam adalah gambaran nyata betapa rentannya posisi PRT tanpa payung hukum. RUU PPRT bukan hanya dokumen politik, melainkan instrumen krusial," lanjut pernyataan tersebut.
Tidak hanya menyampaikan kritik, PP PMKRI juga menawarkan poin-poin penting yang perlu diperhatikan pemerintah:
1. Memberi perlindungan legal pada PRT melalui kontrak kerja, upah adil, jam kerja wajar, dan hak atas istirahat.
2. Mencegah eksploitasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan.
3. Meletakkan dasar hukum bagi pemb
Atas dasar itu, PP PMKRI mendesak DPR RI untuk segera menuntaskan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT tahun ini. Pemerintah dan Badan Legislasi juga diminta mempercepat proses pembahasan dan, jika perlu, kembali memasukkan RUU PPRT sebagai carry-over dalam program legislasi.
Selain itu, PP PMKRI mengajak masyarakat dan media massa untuk aktif mengawal dan mendukung perjuangan agar PRT mendapatkan perlindungan hukum yang setara dengan profesi lainnya.
Tragedi yang menimpa Intan di Batam menjadi panggilan nyata bagi semua pihak, baik legislatif, eksekutif, maupun masyarakat bahwa tanpa payung hukum khusus, kekejaman serupa bisa saja terulang.
Tak ada ruang untuk penundaan lagi. Ini baru satu kasus yang terungkap. Masih banyak korban kekerasan PRT lainnya yang mungkin masih tersembunyi.***