Senja menggantung malu-malu di ufuk barat, menyiram langit dengan warna jingga keemasan. Angin sore berembus lembut menyapu dedaunan yang berguguran di pelataran taman kota. Di sanalah, Aksel pertama kali melihat Monia.
Aksel sedang duduk di bangku taman, ditemani buku catatan dan segelas kopi yang hampir dingin. Ia menatap kosong ke arah matahari tenggelam, saat seorang gadis dengan gaun biru muda berjalan pelan, matanya sibuk memandangi bunga-bunga yang tumbuh liar di pinggir jalan setapak.
Monia.
Mereka bertatapan sekilas. Hanya sedetik. Tapi cukup untuk membuat jantung Aksel berdegup lebih cepat. Dan entah bagaimana, Monia pun berhenti. Ia membalas tatapan Aksel, lalu tersenyum kecil — senyum malu-malu yang begitu tulus, seperti senja yang tak pernah memaksa langit untuk indah, tapi selalu berhasil melakukannya.
Aksel berdiri, gugup. “Hai,” katanya pelan.
Monia mengangguk pelan, “Hai...”
Hening sebentar. Tapi bukan hening yang canggung. Seperti dua jiwa yang sedang saling membaca, tanpa perlu kata.
“Aku sering ke sini buat nulis,” kata Aksel sambil menunjuk bukunya, mencoba mencairkan suasana.
Monia tersenyum lagi, kali ini lebih lepas. “Dan aku ke sini untuk diam. Aku suka mendengarkan taman bicara.”
Aksel tertawa kecil. “Berarti kita sama-sama mencari ketenangan.”
Hari-hari berikutnya, mereka mulai sering bertemu. Awalnya masih saling malu-malu, hanya menyapa dan duduk di bangku yang sama tanpa banyak bicara. Tapi lama-lama, pembicaraan tumbuh seperti bunga liar: tak terduga tapi indah. Dari hal kecil seperti warna senja yang mereka suka, hingga impian masa kecil yang belum sempat diraih.
Suatu hari, saat langit sore diguyur hujan gerimis, mereka tetap duduk di bangku taman itu, berbagi satu payung kecil.
“Hari ini langit kita basah,” kata Monia sambil memandangi awan.
Aksel menoleh padanya. “Tapi hatiku hangat.”
Monia tersipu. Ia menunduk, tak berani menatap Aksel. Tapi bibirnya membentuk senyum yang tak bisa disembunyikan.
Dan saat itu, Aksel tahu — cinta pertamanya bukan hanya tentang tatap pertama yang menegangkan, tapi tentang semua detik yang ia habiskan untuk mencintai dalam diam, lalu akhirnya berani bicara.