[Lea]
Enam bulan. Aku hampir lupa rasanya disentuh.
Selama sepuluh tahun menikah, Roy adalah segala-galanya dalam hidupku—suami, sahabat, pelindung, dan satu-satunya tempat pulang. Tapi ketika aku menerima tawaran proyek besar di Bandung, kami sama-sama tahu: ini akan jadi ujian.
Kami mencoba. Video call setiap malam, kirim foto, voice note mesra, bahkan obrolan nakal saat malam sudah larut. Tapi semua itu tidak pernah cukup menggantikan pelukan. Tidak ada teknologi yang bisa menggantikan kehangatan kulit Roy saat memelukku dari belakang di tengah malam.
Hari ini aku pulang.
Di depan pintu rumah, jantungku nyaris pecah ketika Roy membukakan pintu. Tatapannya menusuk masuk ke bagian terdalam hatiku. Ia terlihat sedikit lebih kurus, rambutnya agak panjang, dan ada kantong mata yang tak biasa. Tapi matanya… mata itu masih sama. Hangat. Memelukku bahkan sebelum dia menyentuhku.
Tanpa banyak kata, aku masuk ke pelukannya. Dan di situlah air mataku jatuh.
[Roy]
Melihat Lea berdiri di ambang pintu seperti mimpi. Enam bulan ini aku belajar menjalani hidup tanpa separuh jiwaku. Rumah kami terasa sunyi, tempat tidur terlalu dingin, dan malam-malam terasa panjang tanpa dia mengoceh soal hal remeh sebelum tidur.
Tapi sekarang dia ada di sini. Wangi tubuhnya langsung menyusup ke dalam memoriku seperti narkotik. Aku ingin mengunci waktu. Menyimpan detik ini.
Tanganku mengusap rambutnya, lalu punggungnya, lalu pinggangnya. Aku memeluknya erat seolah takut dia menghilang lagi.
Kami masuk ke kamar.
Aku tidak ingin menunggu. Aku ingin merasakan istriku lagi. Tubuhnya, kulitnya, suara desahannya yang selama ini cuma bisa kudengar lewat rekaman. Dan ketika aku membuka bajunya, pelan-pelan, dia tidak mengucapkan satu kata pun—matanya cukup menjelaskan semuanya: dia merindukanku seperti aku merindukannya.
Kami bercinta seperti orang yang baru pertama kali bertemu. Tidak terburu-buru. Tidak serakah. Tapi penuh rasa. Tangannya memeluk leherku erat, bibirnya menempel di bahuku. Setiap gerakan kami menyatu, saling mencari, saling memenuhi.
"Aku kangen, Roy..." bisiknya lirih.
Hatiku nyaris meledak. "Aku lebih dari kangen, Lea. Aku setengah mati tanpamu."
[Lea]
Tubuh kami basah oleh peluh, tapi tak ada rasa lelah. Hanya puas. Aku berbaring di dadanya, mendengarkan detak jantungnya yang membuatku tenang. Jari-jariku bermain di dadanya yang bidang.
"Enam bulan," aku berbisik, "ternyata bisa terasa seperti enam tahun."
Roy tertawa kecil, tangannya mengelus pahaku yang masih telanjang di bawah selimut.
“Aku nggak akan izinkan kamu pergi sejauh itu lagi.”
Aku mengangguk. “Aku pun nggak sanggup.”
Kami tertidur sambil berpelukan. Tak ada yang bisa menyaingi keintiman setelah rindu. Tidak ada yang lebih menggetarkan dari menyatu setelah lama terpisah.
[Roy]
Pagi datang terlalu cepat. Tapi kali ini aku tak keberatan. Karena saat membuka mata, Lea masih di sisiku. Wajahnya damai, rambutnya berantakan, dan bibirnya sedikit bengkak karena terlalu banyak ciuman semalam.
Kupeluk dia dari belakang, mencium pundaknya.
“Selamat pagi, cinta.”
Dia menggeliat manja, lalu tertawa. “Aku kaku semua, Roy.”
“Kamu mau aku bantu stretching?” candaku sambil menggoda.
Dia mencubitku, tapi tidak menolak ketika aku membalikkan badannya dan menciumnya lagi. Mungkin kami tak akan keluar kamar seharian. Dunia boleh tunggu.
[Lea]
Hari ini kami hanya milik satu sama lain.
Kami sarapan di tempat tidur, mandi berdua, lalu kembali menyatu untuk kali kedua. Tapi tak ada yang vulgar dari semua ini. Cinta kami sudah terlalu dalam untuk sekadar nafsu. Ini tentang kedekatan jiwa yang terbelah selama enam bulan dan akhirnya pulih dalam satu malam.
Ketika malam kembali datang, Roy memelukku sambil berbisik, “Jangan pernah jauh-jauh lagi. Aku nggak kuat.”
Aku mencium bibirnya lembut. “Aku nggak akan kemana-mana, Roy. Rumahku cuma satu. Dan itu kamu.”
--- Selesai ---