"Aku nggak bisa janji apa-apa, Delizia. Tapi aku harus pergi."
Kata-kata itu tak pernah benar-benar hilang dari kepala Delizia Seraphine Calista, bahkan setelah tiga tahun berlalu. Hari itu, Hanendra A. Maresya menatapnya dengan mata yang nyaris basah, tapi penuh keyakinan. Ia tidak memilih untuk pergi karena cinta mereka kurang, tapi karena ia merasa masa depan masih terlalu asing jika mereka bertahan bersama. Ia menerima tawaran kerja sebagai arsitek muda di Sumatera, ribuan kilometer dari Jawa, tempat Delizia tinggal.
Delizia berdiri di depan gerbang stasiun, menahan tangis. Ia tak merayu Hanendra untuk tinggal. Ia hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Kalau suatu hari kamu kembali, bukan untuk menebus, tapi karena kamu sungguh mau tinggal, aku akan dengarkan lagi ceritamu."
Sejak hari itu, hidup berjalan. Tanpa kabar. Tanpa pengganti. Hanya ada waktu, diam, dan luka yang belajar menutup pelan-pelan. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan desain freelance. Hidupnya mungkin terlihat biasa di mata orang lain, tapi di dalam, Delizia terus berproses untuk memulihkan hati yang pernah hancur dengan diam-diam. Teman-teman dekatnya tahu, tapi tidak pernah bertanya terlalu jauh. Hanya kadang, saat sedang makan siang bersama, salah satu dari mereka bergumam, "Kamu nggak pengin coba buka hati lagi, Del?"
"Bukan nggak pengin," jawabnya waktu itu. "Tapi aku belum menemukan yang membuatku ingin."
Delizia kini 22 tahun. Ia hidup sederhana di kota kecil di Jawa Tengah, kota kelahirannya yang juga menjadi saksi awal pertemuan mereka. Ia tidak lagi menunggu Hanendra. Ia memasak sendiri, tertawa saat menonton film, dan kadang menangis ketika hujan datang terlalu sunyi. Ibunya pernah berkata, "Ikhlas itu bukan berhenti berharap, tapi berhenti menggantungkan hidupmu pada harapan itu." Delizia mengerti. Maka ia melangkah. Kadang masih goyah, tapi tidak jatuh.
Ia menulis surat-surat yang tak pernah dikirim. Surat-surat itu hanya disimpan di laci kayu, ditulis dengan tangan yang dulu gemetar tiap kali menyebut nama Hanendra. Ia pernah menulis satu surat panjang setelah ulang tahunnya yang ke-21. Isinya bukan keluhan, tapi cerita. Tentang hari-hari biasa, tentang ibu yang mulai sering menyulam lagi, tentang dirinya yang akhirnya bisa tertawa tanpa merasa bersalah.
Sementara itu, di sebuah kota berkembang di Sumatera Barat, Hanendra tumbuh menjadi arsitek muda yang disegani. Ia tampak berhasil, tapi malam-malamnya hampa. Setiap proyek yang ia selesaikan, ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh pujian atau uang. Ia membaca ulang pesan-pesan lama dari Delizia. Tak ada satu pun yang ia balas, karena ia terlalu takut: takut Delizia sudah berubah, atau lebih buruk, sudah melupakannya.
Jarak antarpulau bukan sekadar angka di peta. Ada laut yang memisahkan, ada waktu yang memperlebar diam. Hanendra sempat beberapa kali menulis pesan, lalu menghapusnya. Ia tahu, sekali ia mengetuk kembali, hidup Delizia bisa terguncang. Dan itu bukan hal yang ingin ia lakukan kalau niatnya belum matang.
Namun pada suatu pagi yang lengang, saat ia menatap langit di balkon kosnya, ia merasa hampa itu sudah terlalu lama menetap. Ia memesan tiket pesawat ke Semarang. Tanpa rencana muluk. Ia hanya ingin tahu, apakah Delizia masih di sana, dan apakah hatinya masih sama hangatnya seperti dulu.
Warung kopi tua di pojok jalan itu masih ada. Delizia duduk sendiri, membaca ulang email pekerjaan. Ia tak menyangka Hanendra benar-benar datang. Tiba-tiba saja pria itu berdiri di depannya, masih dengan senyum yang dulu pernah menjadi alasannya percaya pada banyak hal.
"Delizia."
Ia mendongak. Hening. Lalu pelan menjawab, "Kamu pulang?"
"Pulang. Bukan buat menebus. Tapi karena aku pengin mulai sesuatu yang baru, dengan kamu, kalau kamu izinkan."
Mata Delizia tak berkaca-kaca. Tapi tangannya gemetar sedikit saat memegang gelas. Mereka bicara perlahan, penuh jeda, seperti sedang membaca ulang buku lama yang halaman-halamannya rapuh. Percakapan mereka tak selalu lancar. Ada jeda, ada ragu, ada luka yang belum sembuh sepenuhnya. Tapi mereka bicara. Mereka jujur. Hanendra tak datang membawa janji berlebihan. Ia datang dengan ketulusan baru.
"Aku nggak butuh kamu yang sempurna, Han. Aku cuma butuh kamu yang nggak pergi lagi tanpa bicara."
"Dan aku butuh kamu yang bisa marah, bukan cuma diam dan menerima."
Mereka tertawa. Tangis terselip di sela-sela tawa itu. Hari-hari setelahnya diisi dengan pertemuan kecil. Tidak setiap hari, tidak selalu romantis. Kadang hanya duduk berdua di taman tanpa bicara, kadang hanya kirim foto langit sore lewat chat.
Hubungan mereka dimulai lagi, tapi bukan dari awal. Dari titik baru, versi baru mereka. Delizia tak lagi gadis yang ingin diyakinkan. Hanendra bukan lagi pemuda yang mencari jawaban di luar dirinya. Mereka minum kopi bersama, saling mendengar tanpa mendikte. Mereka saling hadir, tanpa perlu menuntut banyak.
Suatu hari, Delizia mengajak Hanendra bertemu dengan ibunya. Awkward. Tapi hangat. Ibu Delizia hanya berkata, "Kalau kamu balik untuk jadi rumah, bukan hanya mampir, maka duduklah lebih lama."
Setahun setelah itu, di taman yang dulu pernah jadi tempat mereka berbicara sebelum Hanendra pergi, pria itu kembali berlutut—bukan dengan cincin mahal, tapi dengan selembar sketsa rumah kecil.
"Nggak muluk-muluk, Del. Tapi ini rancanganku sendiri. Kalau kamu masih mau, aku pengin bangun ini bareng kamu. Di sini. Di Jawa."
Delizia menatapnya. Matanya tak berkaca-kaca. Tapi ada kelegaan yang tak bisa dijelaskan. Ia mengangguk, pelan.
"Bukan karena kamu balik, aku menerimamu. Tapi karena sekarang, kamu tahu cara tinggal."
Mereka tak menikah secepat itu. Mereka tetap merancang hari-hari dengan realita, bukan fantasi. Tapi mereka tahu, kali ini, mereka sama-sama belajar mencintai dengan dewasa.
Hanendra memutuskan pindah ke Jawa, mencari pekerjaan yang mungkin tak sebesar proyeknya di Sumatera, tapi cukup untuk hidup bersama orang yang ia cintai. Ia mulai dari nol lagi, bertemu rekan-rekan baru, bahkan sempat merasa kehilangan arah. Tapi setiap malam, ada secangkir teh hangat dan tawa Delizia yang menyambutnya di beranda rumah kecil yang sedang mereka bangun perlahan-lahan.
Mereka mengalami pertengkaran kecil, seperti pasangan pada umumnya. Tentang siapa yang lupa beli gas, siapa yang lupa kunci pagar, atau siapa yang terlalu sibuk. Tapi mereka belajar membahasnya, bukan menghindar. Mereka belajar menyelesaikan, bukan menghindari. Mereka juga merayakan hal-hal kecil: kalender pertama yang mereka tempel di dinding, pot pertama yang ditanami lidah mertua, hingga satu dus hadiah dari teman-teman lama saat mereka resmi menikah secara sederhana.
Dan akhirnya, cinta yang pernah mereka ikhlaskan, kembali dalam bentuk yang lebih tenang. Tak terburu-buru. Tak saling menyalahkan. Hanya dua orang yang memilih satu sama lain, dengan cara yang paling manusiawi: jujur, pelan-pelan, dan sadar. Karena cinta bukan tentang siapa yang paling lama bertahan, tapi siapa yang tetap kembali, setelah tahu betapa rumitnya mencintai seseorang seutuhnya, meski dipisah oleh laut sekalipun. Dan ketika akhirnya mereka membangun rumah kecil itu bersama, di antara tawa dan tangis, mereka tahu: mereka pulang, bukan hanya pada tempat, tapi pada hati yang lama menunggu dengan sabar.