Setelah menyelesaikan kuliah sarjananya di kota, Nabila pulang ke kampung halaman dengan hati penuh semangat. Ia diterima bekerja sebagai guru honorer di salah satu SMA Negeri. Meski gaji tidak seberapa, Nabila bahagia. Ia mengajar dengan hati, bertemu siswa-siswi yang semangat, dan dikelilingi rekan kerja yang baik. Rasanya, ia menemukan panggilannya.
Satu tahun berlalu, kehidupan Nabila berubah. Ia menikah dengan Fikri, kekasih yang telah menemaninya selama lima tahun. Pernikahan itu sederhana namun penuh cinta. Setelah pernikahan, Nabila memutuskan untuk resign dan ikut suaminya pindah ke luar kota. Ia rela melepaskan pekerjaannya demi mendampingi Fikri, dan tak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putri mungil yang mengubah segalanya.
Tiga tahun pun berlalu. Hidup Nabila fokus pada rumah, dapur, dan mengurus anaknya, Alya. Ia menikmati perannya sebagai ibu, meskipun kadang merasa rindu berdiri di depan kelas, mendengar tawa siswa-siswa yang meramaikan pagi hari.
Saat Alya mulai bisa dititipkan kepada neneknya, Nabila mencoba kembali ke dunia pendidikan. Ia melamar ke sebuah sekolah swasta dan diterima. Namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Gaji yang hanya empat ratus ribu rupiah sebulan membuatnya berpikir ulang.
"Mas, kayaknya aku resign aja deh. Buat ongkos bensin sama jajan aja nggak cukup," keluh Nabila pada Fikri suatu malam.
Fikri mengangguk. "Kamu yang jalanin, kamu yang tahu. Kalau nggak cocok, nggak usah dipaksain."
Seminggu kemudian, Nabila berhenti. Tak lama, datang tawaran mengajar di SMA swasta lain dengan gaji lebih baik. Ia menerima tanpa pikir panjang. Kali ini ia berharap semuanya akan berjalan lancar.
Namun setahun kemudian, datang dilema baru. Alya akan masuk TK. Tidak ada yang bisa mengantar-jemput, sementara Fikri sibuk bekerja.
"Kayaknya aku harus berhenti lagi, Mas," ucap Nabila pelan.
"Kamu yakin? Padahal kamu baru mulai nyaman."
"Alya lebih penting. Aku nggak mau dia harus naik ojek sendirian."
Dan Nabila pun kembali melepaskan pekerjaannya.
Waktu berlalu. Alya tumbuh, masuk SD, dan akhirnya naik ke kelas dua. Di saat itulah Nabila mendapat telepon dari sekolah dasar swasta. Tawaran kerja datang lagi. Kali ini, Nabila merasa waktunya pas. Ia kembali bekerja dengan semangat, berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan.
Namun setelah setahun, muncul kabar tak mengenakkan. Sekolah tempatnya mengajar akan tutup karena masalah keuangan. Gaji sudah sering terlambat. Kegiatan belajar pun mulai kacau. Akhirnya, tak hanya Nabila yang memilih mundur, tapi juga tiga rekannya.
Dan begitulah, sejak saat itu, tiga tahun sudah Nabila menganggur.
Ia sudah berusaha mencari pekerjaan lagi. Melamar ke berbagai sekolah, mengirim berkas ke yayasan, bahkan sempat mempertimbangkan ikut les online agar bisa mengajar dari rumah. Tapi tak satu pun membuahkan hasil.
Setiap malam, Nabila duduk di beranda rumah, memandangi langit dan bertanya dalam hati: Apa benar ini takdirku?
Alya kini sudah kelas empat SD dan sebentar lagi naik ke kelas lima. Ia mulai mandiri, bisa pergi dan pulang sekolah sendiri, sudah bisa membantu ibunya di rumah. Tapi hati Nabila kosong. Ia merasa seperti kapal yang kehilangan arah.
Pagi-pagi, saat suaminya berangkat kerja dan anaknya ke sekolah, rumah terasa terlalu hening.
Kadang ia mengingat hari-hari di mana ia sibuk menyiapkan RPP, menyusun nilai, mengurus murid-murid yang bandel, dan bercanda dengan rekan guru. Semuanya kini hanya kenangan.
Setiap ada lowongan kerja, ia antusias. Tapi ujung-ujungnya kecewa. Banyak sekolah mencari guru muda, yang "enerjik", yang bisa multitasking, yang bisa pakai teknologi terbaru. Nabila merasa tersisih, padahal usianya belum empat puluh.
"Saya hanya ingin kembali mengajar," katanya suatu kali saat wawancara.
Tapi dunia berubah cepat. Dan Nabila merasa tertinggal.
Akhirnya, ia pasrah.
"Mungkin memang takdirku bukan untuk bekerja di luar rumah lagi," ucapnya pada sahabatnya lewat telepon. "Mungkin memang jalanku cuma jadi ibu rumah tangga."
Meski begitu, di dalam hati kecilnya, ia tahu—cintanya pada dunia pendidikan tak akan pernah padam. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, takdir mengantarkannya kembali ke ruang kelas, dengan papan tulis, dan murid-murid yang berseru,
"Bu Nabila, selamat pagi!"
Sampai hari itu tiba, ia akan terus menjadi ibu terbaik bagi Alya. Karena kadang, mengajar satu anak dengan sepenuh hati—lebih berarti dari seratus murid di ruang kelas.
---
Tamat