Suara notifikasi dari HP membuat Riani mengangkat kepala dari buku pelajaran. Jam sudah menunjukkan pukul 23.11. Rumah sunyi. Papa pasti masih di ruang kerja bawah, mungkin belum tidur. Ia mengambil ponsel dan melihat pesan dari Maikel:
> “Aku udah di luar jendela. Buka.”
Riani menahan napas. Matanya langsung melirik ke arah jendela yang tertutup tirai. Tangannya gemetar. Ia berjalan pelan, hati-hati seperti pencuri di rumah sendiri. Begitu ia membuka sedikit tirai, terlihat sosok Maikel—berdiri di luar dengan hoodie hitam, matanya berbinar meski samar dalam gelap.
Dengan cepat, Riani membuka jendela.
“Kamu gila!” bisiknya nyaris tak terdengar.
Maikel hanya menyeringai. “Kangen berat. Biar cuma sebentar.”
Sebelum Riani bisa menolak, cowok itu sudah mulai memanjat teralis kecil di tembok. Dalam hitungan detik, tubuh tinggi besar Maikel sudah melompat masuk dan berdiri di tengah kamar. Riani buru-buru menutup jendela dan menarik tirai.
“Kalau Papa tahu—”
“Dia nggak akan tahu. Aku cepet, janji,” gumam Maikel. Ia mendekat. Tangannya menyentuh pinggang Riani, menarik tubuh gadis itu ke pelukannya.
Pelukan itu hangat, kuat, dan lama-lama Riani merasa seluruh tubuhnya lemas. Wajah Maikel turun mendekati lehernya. Hidungnya mengendus kulit Riani, lalu bibirnya mencium pelan.
“Wangi kamu bikin aku gila, Ri…”
Riani menggigit bibir bawah. Napasnya mulai berat. “Jangan sekarang…”
“Kenapa? Kamu nggak mau?” bisik Maikel, menatapnya dalam.
Riani tidak menjawab. Tapi ia tidak melepaskan pelukan. Ia hanya memejamkan mata saat Maikel mencium bibirnya, kali ini lebih dalam. Tangan cowok itu menyusup ke bawah kaos tidurnya, menyentuh kulit hangat di perut, perlahan naik ke dada.
Riani terkejut. Tubuhnya refleks menegang, tapi tidak menolak. Ia malah membiarkan Maikel melanjutkan, membiarkan kancing atas kaosnya dibuka satu per satu.
Bibir Maikel turun, menjelajah leher, dada, sementara Riani membisik pelan, "Pelan-pelan…"
Kaos tipis itu akhirnya terlepas, jatuh ke lantai, disusul celana pendek. Riani kini hanya berbalut celana dalam kecil yang nyaris transparan. Maikel menatapnya, matanya penuh nafsu bercampur rasa sayang.
“Kamu cantik banget, Ri. Sumpah…”
Dengan sigap, ia membuka hoodie dan kaosnya, menampakkan dada bidang dan tubuh kekar yang selalu membuat Riani gugup. Celana jeans dan boxer segera menyusul. Kini mereka sama-sama telanjang, sama-sama saling menatap tanpa kata.
Maikel mendorong Riani pelan ke ranjang. Ia mencium tubuh Riani seperti membaca doa. Setiap inci dilewati lidahnya, membuat tubuh Riani melengkung, mengejang, mendesah lirih.
"Maik..." desah Riani, malu-malu tapi tak lagi mampu menahan gelombang kenikmatan yang menjalar naik.
Tangan Maikel menyusup ke bawah, membelai lembut di antara paha Riani yang mulai terbuka. Jari-jari itu bergerak perlahan, bermain di antara kelembapan yang sudah mengalir deras.
"Aku mau masuk," bisik Maikel, menatap wajah Riani yang memerah.
Riani mengangguk. Tubuhnya bergetar, tapi hatinya yakin.
Maikel masuk perlahan, mendorong pelan, membuat Riani menggigit bibir, menahan sensasi pertama yang membuat seluruh sarafnya seakan meledak. Ia menggenggam tangan Maikel kuat-kuat.
Pelan… lalu lebih dalam… lalu mulai mengayun ritme.
Maikel bergerak seperti menari, dengan irama yang membuat Riani mendesah tanpa suara. Keringat mereka bercampur. Nafas saling bertukar. Bunyi ranjang yang berderak pelan bersaing dengan degup jantung mereka.
"Aku suka banget kamu, Ri... Aku gila kalau nggak bisa punya kamu terus."
Riani merintih kecil, menggeliat di bawah tubuh Maikel, menikmati setiap dorongan, setiap sentuhan. Ia tidak tahu berapa lama mereka bercinta. Mungkin hanya menit. Tapi rasanya seperti malam yang panjang dan tak berujung.
Sampai akhirnya, tubuh mereka sama-sama mencapai puncak. Maikel menahan napas, lalu melepaskan, bersamaan dengan pelukan erat Riani yang menjerit kecil di lehernya.
Tubuh mereka jatuh bersama di atas ranjang, lelah dan berkeringat.
Sunyi.
Hanya napas mereka yang saling bersahutan.
Maikel mencium kening Riani, membelai rambutnya. “Kita udah terlalu jauh ya…”
Riani tersenyum, lelah tapi bahagia. “Tapi aku nggak nyesel.”
Malam itu, mereka tak bicara lagi. Hanya saling peluk, membiarkan kehangatan tubuh menutupi segala ketakutan yang mungkin datang saat pagi tiba.
Dan saat Maikel pergi sebelum subuh, turun lewat jendela seperti pencuri, Riani tahu... ia sudah menyerahkan seluruh hatinya. Dan tubuhnya.
---
[END]