Aku bertemu Anindya di dalam bemo reyot yang saban pagi berjuang menembus jalanan berdebu menuju sekolah. Bemo itu bukan tempat pertama yang kau kira akan menumbuhkan kenangan, tapi bagiku, di sanalah semuanya berakar.
Dia duduk di sudut, dekat jendela. Cahaya pagi sering menari-nari di pipinya, membuatnya tampak seperti rahasia yang sedang dijaga semesta. Rambutnya selalu dikuncir longgar, dan jemarinya sibuk menulis di buku kecil yang sering ia buka bahkan saat bemo masih melaju pelan.
Aku tak pernah berbicara padanya. Hanya diam di kursi yang sama setiap hari, dua baris darinya. Tapi entah mengapa, diam itu tak pernah hampa. Ia penuh oleh getar yang tak sempat menjadi kata.
Aku menghafalnya seperti orang menghafal arah pulang—tanpa sadar, tapi selalu pasti.
Kami naik bemo yang sama hampir setiap hari. Kadang, aku mendahuluinya. Kadang, dia lebih dulu duduk. Tapi mataku selalu mencarinya tanpa perlu perintah. Dan saat tak menemukannya, hari terasa ganjil, seperti pagi yang kehilangan embun.
Anindya sering menulis di bukunya. Aku tak tahu apa isinya, tapi dari cara ia menatap halaman, aku bisa menebak: itu bukan sekadar catatan. Mungkin sajak. Mungkin doa. Atau mungkin seseorang, yang pernah hadir sebelum aku punya cukup keberanian untuk mengetuk ruang di hatinya.
Satu kali, bukunya jatuh saat ia hendak turun. Aku memungutnya, dan untuk pertama kalinya, kulit tanganku bersentuhan dengan kulitnya.
"Terima kasih," ucapnya pelan, suaranya setenang langit yang belum memilih warna.
Aku hanya tersenyum. Kata-kata macet di tenggorokan, seperti selalu.
Sejak itu, entah bagaimana, tatapan kami mulai saling mengenali. Tidak mencuri, tidak pula memaksa. Hanya saling singgah sebentar, seperti burung yang tak ingin tinggal, tapi juga tak sanggup benar-benar pergi.
Ada yang tumbuh di dadaku, pelan-pelan. Bukan cinta yang terburu-buru, tapi rasa yang tahu bagaimana cara sabar. Perasaan yang tak berani meminta, tapi diam-diam terus mendoakan.
Dan tanpa sadar, aku mulai menyebut namanya dalam doaku. Tak lantang, hanya lirih di antara jeda sujudku. Anindya. Nama yang tak pernah kusebutkan langsung padanya, tapi begitu sering kuperdengarkan pada Tuhan.
Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang tak bisa kulewati. Sebuah jarak yang tak terlihat tapi terasa nyata. Ia menyebut nama Tuhan yang berbeda. Membaca kitab yang tak sama. Dan meski bibirnya tersenyum saat menatapku, aku tahu, ada dinding sunyi yang membatasi.
Aku tidak tahu bagaimana cinta bisa begitu indah tapi juga tak mungkin. Tapi di sinilah aku, jatuh pada seseorang yang hanya bisa kusayangi dalam diam. Karena aku tahu, bahkan semesta pun enggan merestui kami berjalan di jalan yang sama.
Tapi aku tetap datang setiap pagi. Naik bemo yang sama. Duduk di tempat yang sama. Dan menunggu keajaiban yang tak kunjung datang.
Karena kadang, cinta bukan tentang memiliki. Kadang, ia hanya tentang mengenal, mendoakan, dan merelakan—semuanya tanpa suara.
---
Sejak hari itu, pagi-pagiku terasa seperti puisi yang belum rampung. Ada jeda yang tak terucapkan, ada harapan yang tak berani disematkan. Anindya tetap seperti biasanya—senyumnya tenang, langkahnya ringan, seolah hidup bukan sesuatu yang berat untuk dipikul.
Tapi bagiku, setiap kali mata kami bertemu, dunia terasa lebih lambat. Seperti waktu sengaja memberi ruang agar aku bisa mencatat setiap detail: cara dia menyibak rambutnya yang tertiup angin, cara dia menggigit bibir bawahnya saat berpikir, cara suaranya terdengar saat menyapa sopir bemo dengan sopan.
Kadang dia membacakan puisi kecilnya kepada temannya, dan aku duduk beberapa kursi di belakang, pura-pura tak mendengar. Tapi sebenarnya, telingaku merekam segalanya.
> “Aku suka hujan,” katanya suatu pagi, kepada temannya.
“Kenapa?”
“Karena dia datang tanpa janji tapi selalu menyentuh tanah dengan setia.”
Aku ingin bilang: aku suka kamu, karena kamu hadir tanpa tahu betapa banyak ruang yang mulai kamu isi di hatiku. Tapi tentu, kata-kata itu hanya tertinggal di tenggorokanku, seperti ribuan kata yang tak pernah berhasil kupindahkan ke dunia nyata.
Beberapa kali aku melihat dia menatapku. Bukan tatapan yang lama atau penuh teka-teki, hanya sekilas—cukup untuk membuat dadaku bingung harus bersikap apa. Apakah itu sapaan? Apakah itu kebetulan? Atau jangan-jangan, dia juga menunggu sesuatu yang sama?
Kami tetap tak bicara. Tapi aku mulai sering berada di dekatnya. Di kantin, aku mengambil meja yang tidak terlalu jauh dari tempat duduknya. Di perpustakaan, aku diam-diam memilih rak yang tak jauh dari sudut favoritnya. Aku ingin lebih dekat, tapi tak ingin mengganggu.
Mendekat, tapi tetap menjaga batas. Karena aku tahu, semakin aku mendekat, semakin besar risiko aku jatuh pada sesuatu yang tidak boleh aku genggam.
Sampai akhirnya, suatu siang sepulang sekolah, langit sedang biru-birunya, dia duduk sendiri di halte kecil dekat taman. Tak ada bemo, tak ada teman. Hanya dia, dan angin yang meniup helai rambutnya ke arah wajah.
Aku berhenti. Menimbang ribuan kemungkinan. Tapi untuk pertama kalinya, kakiku melangkah tanpa banyak berpikir.
“Sendiri?” tanyaku, pelan.
Dia menoleh. Matanya menyipit karena matahari, tapi bibirnya tersenyum seperti biasa. Lembut. Ramah.
“Iya. Teman-temanku tadi buru-buru pulang,” jawabnya. Suaranya masih suara yang sama, tapi kini tak lagi dari jauh.
Aku mengangguk. Duduk di bangku yang sama, menjaga jarak cukup agar tak disangka lancang, tapi cukup dekat untuk merasa bahwa ini nyata.
Hening sebentar.
“Aku sering lihat kamu nulis puisi,” kataku, akhirnya.
Dia tertawa kecil. “Kelihatan ya?”
“Sedikit,” jawabku, pura-pura santai.
Dia membuka bukunya, menunjukkan satu halaman. Tinta biru, tulisan tangan yang miring tapi rapi. Puisinya pendek, tapi ada kesedihan yang samar di sana.
> Beberapa hati tak pernah berani tumbuh, bukan karena tak cinta,
tapi karena mereka tahu: bunga di taman yang salah akan layu lebih dulu.
“Milikmu?” tanyaku pelan.
Dia mengangguk, lalu menatapku sejenak. “Kamu suka puisi juga?”
Aku mengangguk. “Tapi belum seberani kamu untuk menuliskannya.”
Dia tertawa lagi, lebih hangat dari tadi. Lalu diam. Lama. Seolah sedang menimbang sesuatu.
“Kamu tahu,” katanya, menunduk menatap jemarinya yang memainkan ujung bukunya, “kadang... aku menulis supaya bisa mencintai dari jauh tanpa menyakiti siapa pun.”
Kalimat itu menghantamku. Tak keras, tapi dalam. Dan entah kenapa, aku merasa seperti dia sedang bicara tentang sesuatu yang aku juga rasakan.
Kami diam lagi. Tapi kali ini, diamnya tidak canggung. Diam yang membuat waktu melambat, membuat langit terasa lebih lebar, dan jantung berdegup lebih keras dari biasanya.
Dalam diam itu, kami tahu: ada sesuatu di antara kami yang tak bisa diucapkan. Bukan karena tak ingin, tapi karena dunia ini belum tentu siap mendengarnya.
> Dan mungkin, begitulah nasib cinta yang tumbuh di antara dua sujud:
indah, tapi tak pernah benar-benar sampai pada akhir.
---
Hubungan kami tak pernah bernama. Tapi setiap kali mataku menangkap bayangnya, setiap kali suaranya menyusup di antara riuh dunia, aku tahu: ada yang sedang tumbuh—pelan-pelan, dalam, dan tak terelakkan.
Anindya semakin sering duduk di halte itu, seolah diam-diam tahu aku akan datang. Kami mulai bicara lebih sering, meski tak pernah panjang. Kadang hanya soal cuaca, soal guru yang terlalu cepat menjelaskan, atau soal langit yang tampak lebih jernih hari itu.
Namun ada jarak yang tak bisa kami hapus, meski tubuh kami hanya sejengkal.
Jarak itu bernama keyakinan.
Pernah suatu siang, aku melihatnya membuka dompet kecil dan mengambil tasbih mungil. Jarinya menyusuri manik-manik itu dengan gerakan yang tenang, bibirnya berkomat-kamit lirih, matanya tertutup. Ada damai yang menyelubungi wajahnya.
Dan aku hanya bisa menunduk. Takir, takjub, sekaligus patah.
> Sebab bagaimana bisa aku mendekap seseorang yang sujudnya tak menuju arah yang sama?
Hari itu, langit mendung. Tapi bukan awan yang memberatkan dadaku. Melainkan kenyataan bahwa tak semua rasa yang tumbuh boleh hidup bebas.
“Warisma,” katanya suatu saat, “kamu pernah jatuh cinta diam-diam?”
Aku menoleh, terkejut. Tapi dia tak menatapku. Matanya menatap jalan raya, tempat bemo-bemo berlalu, membawa penumpang yang tak tahu betapa rumitnya sebuah perasaan.
“Pernah,” jawabku. “Masih.”
Dia tersenyum. Tidak menyelidik. Tidak juga terkejut.
Lalu katanya, lirih, “Kadang, diam-diam itu cara kita menjaga sesuatu agar tetap suci. Karena saat dibuka, ia bisa pecah. Bisa rusak.”
Aku mengangguk. Tak mampu berkata apa-apa. Karena apa yang bisa kukatakan pada seseorang yang perlahan sedang menjadi semestaku, tapi tak bisa kutulis dalam rencana masa depanku?
Aku ingin menulis puisi untuknya, tapi takut jika bait-bait itu terlalu jujur. Takut jika akhirnya dia tahu, bahwa setiap kata yang kukumpulkan diam-diam adalah tentang dia. Tentang matanya, tentang tawanya, tentang doa yang selalu kuucapkan—meski tahu Tuhan kami mungkin tak bersedia saling menyeberang.
Malam-malamku penuh gelisah. Aku menatap langit-langit kamar, bertanya dalam sunyi: apakah cinta ini sebuah dosa, atau justru doa yang salah alamat?
> Kadang cinta tak butuh restu dari semesta. Tapi jika semesta menolaknya, mungkinkah ia tetap layak diperjuangkan?
Anindya tetap menjadi cahaya di hari-hariku. Tapi aku mulai menjaga langkah. Tak lagi duduk terlalu dekat. Tak lagi membalas semua senyum. Bukan karena aku tak ingin, tapi karena aku mulai takut mencintainya lebih dalam dari yang seharusnya.
Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam, dia berkata, “Kalau suatu hari kita nggak bisa sering ketemu lagi, kamu akan lupa aku, ya?”
Aku menatapnya. Di wajahnya tak ada gurau. Hanya gurat serius yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Nggak. Mana bisa.”
Dia tertawa kecil. “Kamu terlalu jujur.”
Aku tersenyum tipis. “Dan kamu terlalu indah untuk dilupakan.”
Kami diam. Lagi-lagi. Tapi diam kami seperti musim gugur yang menunggu reda: tahu bahwa semua akan luruh pada waktunya.
> Sebab, cinta ini seperti doa yang tak saling bertemu di langit yang sama.
Ia naik ke langit yang berbeda,
dan barangkali, tak pernah sampai pada tempat yang satu.
Hari-hari setelahnya terasa seperti menanti akhir yang sudah diketahui. Aku dan Anindya masih saling menyapa, masih bertukar senyum, tapi ada jeda yang pelan-pelan tumbuh di antara kami. Seperti tanah retak yang menunggu hujan, tapi tahu bahwa awan tak akan tinggal lama.
Aku mulai jarang ke halte itu. Bukan karena tak ingin, tapi karena semakin dekat aku padanya, semakin jauh aku dari ketenangan yang dulu kutahu. Di rumah, aku mulai lebih sering berdoa—meminta agar rasa ini berhenti, agar hati ini belajar melepaskan.
Tapi apa gunanya doa jika bayangannya justru hadir lebih sering dalam mimpi?
Anindya tampak tahu ada yang berubah. Suatu hari dia menatapku lama, saat di kelas bahasa. Matanya tak seceria dulu. Ada keraguan di sana, juga luka kecil yang mungkin tak sengaja kutanam.
“Warisma,” panggilnya pelan saat kami tak sengaja keluar bersamaan dari ruang perpustakaan.
Aku menoleh. “Ya?”
Dia menggigit bibirnya sebentar, menatap ujung sepatu. “Kamu... marah ya?”
Aku menggeleng. “Nggak.”
“Lalu kenapa kamu menjauh?”
Aku tak menjawab.
Bagaimana bisa kukatakan bahwa aku menjauh justru karena terlalu ingin mendekat?
Bahwa aku takut mencintainya sepenuh langit, sementara langit kami tak lagi bersisian? Bahwa semakin aku mengenalnya, semakin aku sadar: kami bukan tak cocok, hanya berada di rel yang tak pernah benar-benar berpotongan.
“Kadang,” kataku akhirnya, “ada hal-hal yang harus dijaga jaraknya agar tidak hancur.”
Dia menunduk. Tak berkata apa-apa. Tapi air matanya jatuh satu. Pelan. Diam-diam.
Aku hampir menyesal.
Hampir.
Tapi kuingat lagi semua perbedaan yang menjulang seperti menara—tidak bisa dipeluk, apalagi disatukan.
Kami duduk di taman belakang sekolah, tak lama setelah itu. Hanya berdua, ditemani angin sore dan senja yang mulai mengabur.
“Aku selalu tahu ini nggak akan mudah,” katanya. “Dari awal pun, aku tahu kita akan sampai di titik ini.”
Aku menatapnya. “Tapi kamu tetap datang.”
Dia mengangguk. “Karena kamu terasa benar, meski dunia bilang salah.”
Kata-katanya menamparku perlahan. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak. Aku ingin memeluknya. Ingin menyeka air matanya. Tapi tak ada hak di tanganku.
> Cinta ini, sejak awal, memang tak punya tempat untuk berteduh.
Ia tumbuh di tanah yang tak ramah,
disiram ragu, dan disinari matahari yang tak pernah menetap.
Kami tahu, ini bukan sekadar perbedaan. Bukan sekadar pilihan. Ini soal kehidupan yang tak bisa dipaksakan bersisian tanpa mengorbankan separuh jiwa.
“Aku pengen tetap temenan,” katanya lirih.
Aku mengangguk. “Aku juga.”
Tapi kami sama-sama tahu, itu bohong. Karena bagaimana mungkin hati yang pernah tumbuh bisa kembali ke semula?
Sore itu, kami berpisah dalam diam. Tak ada pelukan, tak ada kata perpisahan resmi. Hanya langkah yang menjauh, dan hati yang pelan-pelan retak di dalam dada.
Dan malamnya, aku menulis satu puisi terakhir untuknya:
> Kita adalah dua bintang yang bersinar di langit berbeda,
saling melihat tapi tak pernah bisa saling temani malam.
Dan mungkin, begitulah takdir menyelamatkan kita dari luka yang lebih dalam.
Tahun-tahun berlalu, seperti hujan yang tak sempat dihafal rintiknya. Aku dan Anindya tak lagi duduk di halte yang sama, tak lagi berbagi senyum di antara riuh bemo dan riang tawa SMA.
Tapi, kenangan, tak pernah benar-benar paham arti pergi.
Kadang, di tengah riuh kota yang asing, aku melihat bayangannya di antara kerumunan. Kadang, saat langit menjingga, aku masih ingat caranya memandang senja dengan tatapan seolah waktu bisa berhenti untuknya.
Anindya tak lagi bersamaku. Tapi sebagian dari diriku, entah kenapa, masih hidup dalam dirinya.
Aku pernah mencoba mencintai orang lain. Beberapa bahkan mendekat dengan tulus. Tapi setiap kali mereka tertawa, aku mencari tawa yang lain. Setiap kali mereka menggenggam tanganku, aku sadar genggamannya tak pernah kutemukan lagi.
> Sebab beberapa cinta tidak perlu bersama untuk terus tinggal.
Ia menetap di dada, tumbuh menjadi hening yang abadi.
Suatu sore, aku membuka media sosial yang dulu pernah kutinggalkan. Di sana, masih ada pesan terakhir dari Anindya. Sederhana, tapi membuat napasku tercekat.
"Semoga suatu hari kita bisa saling mendoakan tanpa rasa kehilangan.”
Seketika dadaku sesak. Aku membayangkan dia di tempat yang jauh, mungkin, sudah menemukan tempat bersandar yang bisa menampung lukanya lebih baik dari aku. Mungkin, dia bahagia, atau setidaknya—lebih damai.
Dan aku?
Aku tetap Warisma yang sama. Masih berjalan sendiri, masih berbicara dalam diam, masih menyebut namanya dalam doa-doa yang hanya Tuhan tahu arahnya ke mana.
Pernah aku duduk di musala kecil dekat stasiun, tempat yang dulu tak pernah kusinggahi. Di sana, aku tersungkur dalam sujud yang panjang. Tapi, kali ini, aku tak lagi memohon untuk bersama.
Aku hanya ingin ia baik-baik saja. Meski bukan bersamaku.
Sebab, cinta yang dewasa tahu:
> Bahagia tidak selalu tentang memiliki,
tapi tentang merelakan dengan ikhlas yang diam-diam mencintai lebih dalam.
Beberapa minggu kemudian, aku melihat namanya di kolom komentar salah satu unggahan buku yang kubaca. Ia masih menyukai puisi, masih mencintai kata-kata. Dan aku tahu, mungkin sebagian dari dirinya juga masih tertinggal di masa lalu.
Tapi, tak ada pesan kulayangkan. Tak ada “apa kabar” yang kuketik.
Kami telah menyelamatkan yang tersisa dengan diam. Dan, biarlah kenangan menjaga sisanya.
Malam itu, aku menyalakan lampu kamar dan menulis satu catatan kecil:
> Jika takdir pernah salah menempatkan kita,
semoga waktu memaafkan cinta yang pernah tumbuh begitu tulus,
meski tak bisa tinggal selamanya.
Hari itu hujan turun tanpa aba-aba. Deras, seperti rindu yang jatuh terlalu lama tertahan. Aku baru saja pulang dari kantor, langkahku lelah, tapi pikiranku kembali padanya—lagi.
Entah bagaimana, sepotong berita kecil menelusup ke layar gawaku. Seorang teman lama membagikan kabar yang membuatku berhenti menatap dunia untuk beberapa saat:
"Anindya telah berpulang. Doakan dia tenang di sisi-Nya."
Dunia tak harus runtuh agar manusia merasa hancur.
Aku duduk di bangku halte tua—tempat kami dulu pertama kali bicara. Bemo tak lagi seramai dulu, tapi suara kenangan tetap gaduh dalam kepala. Namanya kutulis lagi di udara, kutemukan kembali di setiap tetes hujan yang membasahi atap langit.
> Aku tak menangis.
Tapi jiwaku menunduk, lama sekali.
Tak sempat aku mengucap perpisahan, tak sempatku berkata “maaf,” atau sekadar “terima kasih karena telah hadir.” Hanya ada langit yang menjadi saksi, saat aku berbisik dalam hati:
"Andai aku tahu, aku akan memelukmu dalam doa lebih awal dari ini."
Kabar duka itu datang bersamaan dengan bulan Ramadan. Dan malam itu, di antara dua sujud yang lama, aku menyebut namanya perlahan.
Bukan untuk memanggilnya kembali.
Tapi untuk memastikan bahwa cintaku telah sampai.
> Tidak semua cinta berakhir dengan tangan yang saling menggenggam.
Beberapa cinta…
selesai dalam diam,
dan dikirim ke langit, melalui doa-doa yang tak pernah usai.
Anindya telah pergi. Tapi sebagian dariku tinggal bersamanya—pada tawa yang tak lagi terdengar, pada senja yang tak sempat kami lihat bersama, dan pada kisah yang selesai, meski tak pernah benar-benar tuntas.
Tahun-tahun akan terus berjalan. Aku akan terus hidup, dengan rindu yang tak meminta balasan. Dan jika kelak aku ditanya siapa yang pernah membuat hatiku tak bisa sepenuhnya pulih, aku akan menjawab tanpa ragu:
"Seorang perempuan bernama Anindya, yang kusebut namanya dalam setiap sujud terakhir malamku."
---
Epilog
Dari Warisma, bertahun-tahun setelah kepergian Anindya
Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi, tidak semua luka diciptakan untuk sembuh. Ada yang hanya ditenangkan, disandingkan dengan ikhlas, lalu ditinggalkan pelan-pelan di sudut hati yang tak pernah lupa.
Kini, aku hidup dalam hari-hari biasa, dengan rindu yang tidak lagi memaksa untuk kembali, tapi tetap hadir, di sela-sela doa dan senyap malam.
Namamu—Anindya—masih kusebut, bukan karena aku belum selesai mencintaimu. Tapi, karena aku tidak ingin dunia lupa, bahwa, pernah ada cinta seindah itu yang tumbuh di antara dua sujud.
Jika nanti kita dipertemukan kembali—bukan sebagai aku dan kamu, bukan sebagai Warisma dan Anindya. Semoga Tuhan mengizinkan kita duduk berdampingan. Tak lagi takut, tak lagi menyembunyikan nama dalam doa.
---
Catatan Penulis
Ada cinta yang ditulis bukan untuk dimiliki, tapi untuk dikenang.
Di Antara Dua Sujud adalah kisah tentang pertemuan yang singkat, tapi menetap lebih lama dari yang bisa dijelaskan logika. Sebuah kisah tentang Warisma dan Anindya—dua jiwa yang ditakdirkan bertemu, namun tidak ditakdirkan bersatu.
Cerita ini mungkin adalah fiksi. Tapi perasaan yang melandasinya… sangat nyata.
Untuk kamu yang pernah mencintai dalam diam, merelakan dengan ikhlas, atau kehilangan tanpa sempat berpamitan—semoga kisah ini menemanimu, dan memberi tempat bagi segala rindu yang belum sempat selesai.
Terima kasih telah membaca.
Ilyas, penulis kata yang mengendap di dada.