Bayangan di Balik Cermin
★Sang Penjaga Waktu
Gunung Merapi, 1421 M.
Kabut turun perlahan, menyelimuti lereng hutan dengan hawa lembap dan dingin. Aroma tanah basah bercampur dengan asap dupa dari sebuah pondok bambu kecil di lereng timur. Di dalamnya, seorang perempuan duduk bersila di tengah lingkaran dari garam hitam dan serbuk kunyit tua. Api kecil menyala di sekelilingnya, berkerlip merah keemasan.
Namanya Ayudhia Sekar Langit—anak angkat Empu Rajendra, ahli alkemi istana, dan salah satu mata-mata kerajaan Majapahit yang dikenal hanya lewat bisikan: Bayangan Naga. Ia tak hanya ahli racik dan mantra, tapi juga pendekar silat yang menguasai teknik rahasia "Tapak Angin Lingsir", seni bertarung ringan seperti bayangan tapi mematikan seperti petir.
Kini, ia duduk di hadapan Cermin Lodra, peninggalan leluhur dari masa sebelum Majapahit berdiri. Legenda menyebut, cermin itu adalah gerbang waktu, dijaga oleh makhluk abadi bernama Penjaga Jalur.
Ayudhia bukan orang pertama yang mencoba mengaktifkannya. Tapi ia yang pertama memahami kode kimia yang tertulis dalam naskah tua: campuran sulfur merah, darah naga (ia gunakan darah ular besar), dan debu meteorit. Sambil membaca mantra dalam bahasa kuno, cermin itu mulai bergetar. Api di sekelilingnya padam serentak.
“Kalau aku tak kembali, sejarah akan menjagaku...,” gumamnya pelan.
Petir menyambar dari langit cerah. Kilatan putih menelan tubuhnya. Dunia berguncang. Ia tak sempat menjerit.
★. Jakarta, 2025
“Ciiitttt!”
Sebuah motor matic nyaris menabraknya. Pengendara muda berjaket ojek online menjerit, “Mbak, gila! Dari mana sih? Nyerobot kayak hantu!”
Ayudhia terjatuh di trotoar, tubuhnya masih dalam pakaian tempurnya: kebaya merah dengan celana hitam, sabuk kulit menyembunyikan pisau, jarum beracun, dan botol kecil berisi cairan pembeku. Matanya terbuka, terengah-engah.
Jakarta. Panas, bising, dan bau bensin menyengat.
Ia menatap langit: tak ada burung elang, tak ada bintang siang. Hanya awan abu-abu dan suara sirene bersahutan. Ini... bukan dunia yang ia kenal.
Selama tiga hari, ia bersembunyi di taman kota. Mengamati. Mempelajari. Membingungkan, tapi juga memesona. Ponsel dianggap jimat. Orang bicara pada layar. Gerobak menjual makanan aneh: sosis, burger, dan boba.
Di malam keempat, saat mencoba menyusup ke sebuah toko alat kimia, ia tertangkap oleh seorang gadis berjaket kuliah.
“Eh? Kamu cosplay ya? Bagus banget bajunya! Tapi… kamu lagi ngapain sih manjat gudang jam segini?”
Gadis itu bernama Laras Ayuningtyas, mahasiswi teknik kimia yang tinggal sendirian di rumah peninggalan neneknya. Daripada melapor ke polisi, Laras justru penasaran dan akhirnya mengajak Ayudhia pulang.
“Kalau kamu mau tinggal sementara, asal jangan bunuh aku ya,” candanya sambil menyeduh kopi sachet.
Ayudhia diam, lalu mengangguk. Mereka berdua tidak tahu, dunia mereka akan segera berguncang.
★★★
Dalam waktu dua minggu, Ayudhia belajar lebih cepat dari yang bisa dibayangkan. Ia menguasai cara kerja ponsel, mengenal teknologi dasar, bahkan mampu membaca kode kimia dalam skripsi Laras. Ia tertawa geli saat melihat film silat di YouTube, lalu menirukan gerakannya dengan lebih baik dari aktor mana pun.
Laras mulai curiga, tapi tidak pernah menanyai asal usulnya. Mereka menjadi sahabat.
Suatu hari, Laras menemukan cermin kecil retak yang selalu dibawa Ayudhia. Saat disentuh, kilatan kecil muncul. Laras tersentak.
“Kamu… bukan dari sini, ya?”
Ayudhia hanya menjawab dengan tenang, “Aku dari masa ketika nama Jakarta belum dikenal. Saat keris lebih tajam dari peluru.”
Laras membisu, menatap sahabatnya. Lalu tertawa.
“Ya udah. Tapi jangan balik dulu. Kita belum makan mie ayam bareng.”
★★★ Penjaga Jalur
Tapi cermin yang rusak itu memanggil sesuatu dari balik waktu.
Malam itu, langit Jakarta mendadak hitam. Petir menyambar tiang listrik di jalan depan rumah Laras. Lalu... sebuah bayangan besar muncul dari tengah jalan: tinggi tiga meter, wajahnya tertutup topeng perunggu, matanya api, suaranya seperti ribuan nyanyian keramat.
“Ayudhia Sekar Langit. Kau melanggar Jalur. Kau bawa sejarah ke masa yang tak seharusnya. Dunia ini akan retak. Kembalilah. Sekarang.”
Ayudhia berdiri di tengah jalan. Rambutnya tergerai, tangan kosong. Tapi tubuhnya menyala pelan, energi kuno bangkit dari dalam. Dengan silat lembut tapi cepat, ia menangkis pukulan makhluk itu. Tapi ini bukan lawan biasa.
Laras keluar, panik, membawa cermin kecil yang makin retak.
“Pecahkan ini! Kembali ke tempatmu!”
Ayudhia ragu. Tapi saat makhluk itu menyerang Laras, ia tahu: ia harus mengakhiri ini.
Dengan satu pukulan terakhir, ia dorong Penjaga Jalur ke belakang, lalu mengambil cermin dari tangan Laras.
"Maafkan aku. Tapi dunia ini milikmu, bukan milikku. Aku hanya bayangan yang melintas."
Cermin pecah dalam genggamannya. Ledakan cahaya memeluk seluruh kota. Lalu... sunyi.
★★★
Gunung Merapi, 1421 M.
Ayudhia terbangun. Di pondoknya sendiri. Asap dupa kembali mengepul. Segalanya seperti mimpi. Tapi saat ia membuka tangan, sebuah benda kecil jatuh ke lantai tanah—ponsel milik Laras, retak, tapi menyala.
Di layarnya ada pesan:
> “Kamu bukan sekadar bayangan masa lalu. Kamu adalah pelindung masa depan. Terima kasih. -Laras”
Ayudhia tersenyum, menyeka matanya. Ia kembali membuka kitab alkemi. Tapi kini, ia mencatat satu hal baru di sampulnya:
“Waktu bukan musuh. Ia adalah jembatan.”
Dan di kejauhan, di balik Merapi yang menjulang, bayangan masa depan perlahan menampakkan wajahnya.
---
~ Tamat