Hujan turun deras sore itu. Di dalam rumah kecil di ujung gang sempit, Luna duduk memeluk lutut di tepi ranjang. Matanya sembab, bekas tangis yang tak lagi bisa ia tahan. Sudah pukul delapan malam. Mas Kemal belum juga pulang.
Di atas meja makan, sepiring nasi dingin menunggu. Seperti malam-malam sebelumnya, Luna selalu berharap suaminya datang tepat waktu. Namun kenyataan selalu menghempas harapan itu dengan kejam.
Luna bangkit, mengambil handuk kecil, mengelap air hujan yang menetes dari genting bocor. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kecewa yang terlalu sering datang bertamu.
Masih terngiang pertengkaran semalam.
“Mas, tolong… berhenti berjudi,” katanya waktu itu dengan suara tercekat.
Kemal hanya tertawa. “Luna, kamu pikir hidup ini semudah itu? Aku capek kerja terus hasilnya segitu-gitu aja. Judi ini cara cepat. Sekali menang bisa balik modal lima kali lipat.”
“Tapi berapa kali menang, Mas? Yang ada uang kita habis terus. Kamu janji, Mas. Dulu kamu janji cuma iseng. Sekarang malah tiap malam keluar rumah. Kamu tega ninggalin anak kita cuma buat duduk di meja judi?” Luna menangis sambil menahan amarah.
Kemal diam. Lalu seperti biasa, keluar tanpa sepatah kata.
Sejak saat itu, Luna merasa seperti bicara dengan tembok. Mulutnya rasanya mau robek, tapi suaminya seperti tuli. Tuli akan semua harapannya.
Luna tidak ingin jadi istri yang cerewet. Tapi ia juga manusia. Ia lelah menambal luka yang tak pernah sembuh. Ia bukan marah karena suaminya mencari hiburan. Tapi kalaupun berjudi itu hobi, tidakkah suaminya pikir, apakah ada orang yang benar-benar kaya karena judi?
Yang ia lihat hanya satu: suaminya makin jauh, rumah makin dingin, dan anak mereka bertanya, “Ayah mana, Bu?”
Luna duduk di kursi reyot, memandangi foto keluarga mereka yang sudah berdebu. Di sana, Kemal tersenyum sambil menggendong anak mereka yang masih bayi.
“Mas…” bisik Luna pelan. “Aku cuma minta satu. Jadi ayah yang baik buat anak kita. Jangan ajari dia dengan ketidakhadiranmu. Jangan biarkan dia belajar bahwa rumah tangga itu hanya tempat untuk pulang tanpa kehangatan.”
Tangis Luna pecah lagi. Tapi ia buru-buru mengusap air matanya saat anak mereka, Arka, bangun dan berjalan tertatih dari kamarnya.
“Ibu nangis?”
Luna memaksakan senyum. “Enggak sayang, Ibu cuma ngantuk.”
Anak kecil itu memeluk Luna. “Ayah ke mana, Bu?”
Pertanyaan itu seperti belati. Luna menggigit bibirnya. “Ayah kerja, Nak. Nanti malam pulang, nak”.
Padahal ia sendiri tak yakin.
Setelah Arka kembali tidur, Luna menulis surat. Ia tak tahu akan diberikan atau tidak. Tapi ia menulis sebagai pelarian:
~~ Mas Kemal,
Aku tahu hidup tidak mudah. Aku tahu Mas capek, merasa gagal, merasa tertekan. Tapi ketahuilah, aku pun capek.
Aku tidak ingin Mas sempurna. Aku tidak butuh suami yang kaya raya. Aku hanya butuh suami yang mau berjuang bersama. Yang pulang tiap malam dan bertanya apakah kita sudah makan. Yang memeluk anak kita sebelum tidur.
Mas, berjudi bukan jalan keluar. Itu hanya memperpanjang kesakitan. Kalau Mas bahagia saat berjudi, aku akan diam, meski aku tahu itu salah. Tapi tolong, pikirkan kami. Tidak ada yang kaya karena judi. Yang ada hanya penghabisan tanpa sisa.
Aku tidak minta rumah besar atau emas di leher. Aku cuma minta Mas pulang dan bekerja keras demi keluarga ini.
Jadilah suami untukku, dan ayah untuk Arka. Jangan biarkan anak kita tumbuh tanpa arah.
Pulanglah, Mas. Sebelum rumah ini benar-benar jadi asing untukmu.
Dari Istrimu Luna ~~
Ketika Kemal akhirnya pulang pukul dua dini hari, Luna sudah tertidur dengan mata bengkak. Surat itu tergeletak di meja, di samping dompet Kemal yang sudah kosong.
Kemal membaca dalam diam. Tangannya gemetar.
Pagi harinya, Luna terbangun dan menemukan piring kotor di wastafel. Segelas teh manis yang ia buat semalam sudah habis. Dan di tempat duduknya semalam, terlipat rapi secarik kertas
~~Aku baca semuanya, Lun. Maafkan aku.
Hari ini aku mulai kerja lagi di bengkel Pak Haris.
Aku mau pulang. Pulang dengan benar.
Suamimu Kemal~~
Luna memeluk surat itu. Untuk pertama kalinya dalam sekian bulan, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Harapan itu, yang hampir mati, kini bernafas lagi.
Sudah sebulan sejak Kemal pulang. Bukan sekadar pulang fisik, tapi juga pulang hati. Setiap pagi ia menyiapkan bekal untuk Arka, lalu mencium kening Luna sebelum berangkat kerja.
Ia belum sepenuhnya sempurna—kadang masih lelah, kadang masih diam. Tapi kini Luna tahu, diamnya bukan karena ingin berjudi, tapi karena sedang belajar bertahan.
Di suatu sore, Luna melihat suaminya tertidur di lantai ruang tamu, dengan Arka meringkuk di dadanya. Tangannya yang dulu menggenggam kartu kini menggenggam buku cerita bergambar. Luna tersenyum pelan.
“Kalau rumah ini adalah kapal, akhirnya kita bisa belajar mendayung bersama…” ~Luna