Dulu, tak ada yang mengingat namaku. Atha. Biasa saja. Duduk di barisan tengah kelas, nilai sedang, wajah pas-pasan, tak pernah jadi pusat cerita.
Yang mereka ingat: Laras. Senyumnya cerah, rambut panjang yang diikat sembarangan, dan tentu—rumah dua lantai dengan garasi kaca dan taman mungil yang selalu dirapikan tukang.
Ayahnya pengusaha distributor, ibunya meninggal waktu Laras SMP. Orang bilang itu membentuk karakternya: mandiri, kuat, berkelas.
Sedangkan aku, tinggal di rumah petak yang kamar mandinya bocor. Bapak pemabuk, Ibu sudah lama kabur.
Aku bangun dan tidur ditemani bau solar dari bengkel tetangga.
Tapi aku tak pernah diam. Aku membaca. Psikologi dasar, persuasi, teori kepribadian.
Aku tahu satu hal: dunia milik yang bisa membaca emosi, bukan yang dikuasai emosi.
Dan aku membaca Laras seperti buku terbuka.
Dia menyukai perhatian, tapi tak suka dikasihani.
Dia suka perasaan aman, tapi gengsi mengaku takut.
Dia memilih orang yang "membuat dia merasa spesial"—tapi bukan yang terang-terangan mengejarnya.
Semuanya tercatat. Semuanya dipelajari.
Aku tahu aku tak bisa merebut Laras dengan pujian atau hadiah.
Terlalu banyak yang mencobanya dan gagal.
Dia butuh trauma.
Butuh kekosongan.
Dan aku… aku akan jadi orang yang mengisi kekosongan itu.
Tapi trauma harus datang dari luar dirinya.
Sesuatu yang tak bisa dia kendalikan.
Sesuatu... seperti kehilangan rumah.
Aku tidak bodoh. Membakar rumahnya bukan hal sepele.
Aku harus pastikan dia tidak di dalam saat itu terjadi.
Harus pastikan tidak ada yang curiga padaku.
Harus pastikan bukti bisa dialihkan.
Langkah pertama: aku ikut seminar penanggulangan kebakaran gratis di kota. Aku pelajari titik-titik lemah struktur rumah biasa. Termasuk ventilasi api, celah gas, dan bagaimana nyala kecil bisa jadi ledakan.
Langkah kedua: aku mulai dekat dengan Yudha, satpam kompleks rumah Laras. Aku pinjamkan dia rokok dan cerita soal "adik sepupu" yang tinggal di blok dekat rumah Laras. Obrolan-obrolan receh. Tapi semua itu untuk satu hal: tahu jadwal jaga dan kapan ia lengah.
Langkah ketiga: aku sewa seseorang. Bukan pembakar profesional, tapi cukup mudah diarahkan—tukang servis yang juga nyambi jadi "cleaner" kasus-kasus kecil.
Dia hanya perlu satu tugas: nyulut api di tumpukan kardus di garasi belakang. Rumah kosong. Laras di dalam, tapi aku pastikan jendela kamarnya terbuka dan alarm asap akan berbunyi cepat.
Aku ada di ujung jalan malam itu. Ponselku sudah menyetel alarm.
02.57 pagi. Dua menit kemudian, api menyala. Tiga menit kemudian, aku lari ke rumah Laras.
Gedebuk. Pintu kutendang.
Asap menebal.
Aku teriak, panik palsu yang kuolah sejak seminggu sebelumnya di cermin.
Aku tarik tangannya keluar. Ia batuk-batuk, menangis. Kupeluk bahunya. "Kamu selamat… aku lewat nggak sengaja. Tuhan… aku kira aku terlambat…"
Itu malam di mana aku bukan Atha si biasa. Tapi Atha si penyelamat.
Media lokal menulis kisahku: "Pemuda Tak Dikenal Selamatkan Putri Tunggal Pengusaha".
Aku menolak semua wawancara. Gaya sederhana, enggan sorotan, malah makin membuat orang simpati.
Laras mulai menggantung padaku. Aku antar dia ke tempat relokasi sementara. Aku bantu dia urus surat-surat penting.
Saat dia menangis karena tak ada kenangan tersisa di rumah itu, aku duduk diam… lalu menawarkan HP lamaku tempat aku simpan fotonya waktu sekolah dulu.
"Aku masih simpan ini," kataku pelan.
Matanya berkaca-kaca.
Skakmat.
Tapi cinta tidak cukup. Aku ingin penguasaan. Dan itu datang dalam bentuk kontrol halus: membuatnya merasa bahwa aku satu-satunya yang tersisa.
Aku ciptakan konflik antara dia dan teman-temannya secara perlahan—tanpa terlihat mencampuri.
Seorang teman Lamanya tiba-tiba "lupa" membalas pesan saat Laras butuh bantuan.
Teman lainnya "nggak sengaja" bercerita soal gosip simpati palsu yang katanya dibuat-buat.
Padahal? Aku semua.
Akun palsu. Pesan anonim. Fitnah kecil yang tertanam di waktu yang pas. Semua untuk menciptakan isolasi sosial. Dan aku? Aku tetap jadi satu-satunya bahu yang tersedia.
Segalanya sempurna… sampai Gangga muncul.
Relawan pembangunan ulang rumah Laras. Tinggi, murah senyum, dan naif. Tapi celaka: dia tulus. Dan Laras mulai tertarik.
Aku tak bisa menjatuhkan Gangga dengan fitnah.
Karakternya terlalu bersih.
Jadi aku dekati ibunya.
Lewat akun palsu, aku buat grup diskusi komunitas tempat Gangga aktif.
Masuk diam-diam, pura-pura jadi donatur kecil. Kukorek kebiasaannya. Kelemahannya.
Dan kutemukan satu: Gangga punya adik dengan gangguan bipolar yang dirahasiakan keluarga.
Aku sebar rumor setengah benar ke media kecil—cukup buat menggoyang reputasinya di komunitas.
Tapi Gangga malah mengakuinya dengan jujur di depan semua orang. Dan Laras malah makin jatuh cinta.
Naif itu ternyata memikat.
"Aku sayang kamu, Atha… tapi perasaan itu beda dari dulu," katanya, suatu malam.
Aku hanya diam. Pura-pura memahami.
Padahal dadaku sesak. Bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kalah dalam permainan yang kuciptakan sendiri.
Aku berpikir akan mengakhiri semuanya. Seret Gangga dalam skandal. Fitnah dia terlibat dalam kebakaran rumah. Tapi aku sadar… itu justru akan menyeretku.
Aku kalah. Di medan perang yang aku desain sendiri.
Laras menikah dengan Gangga setahun kemudian.
Aku datang. Memberi senyum. Mengucap selamat.
Orang-orang menyapaku sebagai "penyelamat masa lalu".
Mereka tidak tahu.
Mereka tidak akan pernah tahu.
Tiap malam aku berjalan ke depan rumah Laras yang baru. Temboknya putih bersih. Taman bunga kembali tumbuh. Tapi aku tahu—dinding itu pernah luluh jadi arang karena aku.
Aku nyalakan korek. Menatap nyala api kecil.
Aku tidak pernah membakar rumah itu karena cinta.
Aku membakarnya karena aku ingin jadi Tuhan dalam hidup seseorang. Dan Tuhan tak pernah dicintai. Ia hanya disembah… lalu dilupakan.